x

Iklan

M. Nur Kholis Al Amin

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 28 Oktober 2019

Selasa, 26 Oktober 2021 18:49 WIB

Renungan Bagi Para Pejalan Ketuhanan


Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Oleh: M. Nur Kholis Al Amin

Impian manis bagi para pejalan rohani (pejalan ketuhanan) adalah sampainya ia kepada tujuan utamanya, yakni ridha Tuhan atau yang lebih ekstrim dikenalkan dengan istilah wushūlillah, ma’rifat bi Allah. Karena sesungguhnya tempat kembali bagi pejalan rohani dalam meniti perjalanan kesempurnaan bagi diri pribadinya adalah kembali pada Allah, innā lillāhi wa innā ilaihi rāji’ūn (sesungguhnya kesemuanya dari Allah dan akan kembali kepada Allah).

Nabi Muhammad saw telah memberikan tauladan bagi para umatnya, nabi-nabi sebelumnya pun juga telah memberikan contoh perjalanan hidup yang penuh dengan kesabaran, keshalehan dan perjuangan dhahir bathin yang  kesemuanya bertujuan untuk mencapai (maqam) kedudukan yang di ridhai oleh Allah. Nabi Nuh yang diingkari oleh kaumnya, bahkan anaknya sendiri tidak menaatinya. Nabi Ayyub yang diberikan cobaan dengan kebangkrutan dan kesemuanya sanak familinya meninggalkannya, bahkan penyakit yang di deritanya pun sampai bertahun-tahun dan hanya satu permintaannya pada Allah, untuk dijaga hati nya agar selalu bersama Allah.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Nabi Ibrahim yang menentang orang tuanya demi kebenaran hakiki akan keberadaan Tuhan yang Haq, bukan tuhan fir’aun sampai Ibrahim pun di bakar hidup-hidup. Demi perjalanan kerohanian, tidak sedikit kisah dari para Nabi, shahabat, para wali dan para pelaku tasawuf yang dapat diambil sebagai teladan untuk mencapai munuju pada ridha Allah. Oleh karena itu, sebagian ahli tasawuf memberikan kunci untuk mencapai manisnya perjalanan sejati untuk menuju ridha ilahi, salah satunya adalah yang diajarkan oleh Syaikh Abu Bakar Al Ma’ruf dalam kitabnya kifāyatu al-atqiyā’ wa minhāju al-ashfiyā’ yang terumuskan dalam sebuah syair sebagai berikut:

إِنَّ الطَّريْقَ شَرِيْعَةٌ وَ طَرِيْقَةٌ * وَ حَقِيْقَةٌ فَاسْمَعْ لَهَا مَا مُثِلَا

Sesungguhnya jalan untuk mencapai Tuhan (wushulillah) adalah dengan Syariat, Thariqah dan Hakikat. Maka dengarkanlah (pelajarilah dan laksanakanlah) dari ketiga hal tersebut

فَشَرِيْعَةٌ كَسَفِيْنَةٍ وَ طَرِيْقَةٌ * كَالْبَحْرِ ثُمَّ حَقِيْقَةُ دُرٌّ غَلَا

Syariat bagaikan perahu, Thariqah bagaikan lautan, dan Hakikat bagaikan intan di tengah lautan yang sangatlah berharga

فَشَرِيْعَةٌ أَخْذٌ بِدَيْنِ الْخَالِقِ * وَقِيَامُهُ بِالْأَمْرِ وَ النَّهْيِ انْجَلَا

(lakukanlah) Syariat sebagaimana yang telah dijadikan oleh Allah (segala peraturanNya) dan bertetaplah pada apa yang telah diperintah-Nya serta tinggalkanlah (apa-apa) yang telah dilarang oleh-Nya

وَ طَرِيْقَةٌ أَخْذٌ بِأَحْوَطِ كَالْوَرَعِ  *  وَعَزِيْمَةٌ كَرِيَاضَةٍ مُتَبَتِّلَا

Thariqah adalah (belajar) untuk melaksanakan titah Allah dengan sangat berhati-hati, seperti dengan jalan wara’ (wira’i; meninggalkan sesuatu yang subhat/ samar), ‘azimah

وَ حَقِيْقَةٌ لِوُصُوْلِهِ لِلْمَقْصُدِ  *  وَمُشَاهَدُهُ نُوْرُ التَّجَلَّي بِانْجَلَا

Hakikat merupakan kedudukan pencapaian seorang hamba pada maksud utama yang ditujunya (ma’rifat), yakni dengan merasakan nikmatnya menyaksikan Nurullah, menyaksikan Dzat yang Maha Agung

Dalam bahasa ilmu nahwu, yang merupakan sebagian kunci mempelajari bahasa Arab, khususnya di dalam syair nadzom al-Fiyyah Ibnu Malik—yang kemudian di improvisasikan oleh H.Taufiqul Hakim dalam karyanya “amtsilatī”—memberikan nilai filosofis dari kandungan yang tersirat tentang kalimat Isim yang mempunyai makna untuk pencapaian derajat tinggi di sisi Allah sebagaimana dalam penjelasan syair dibawah ini:

بِالْجَرِّ وَالتَّنْوِيْنِ وَالنِّدَا وَ أَلْ  *  وَ مُسْنَدٍ لِلْإِسْمِ تَمْيِيْزُ حَصَلْ

Tanda Isim dengan Jer, Tanwin, Al, Nida’

Dan Musnad ilaih contoh fa’il, mubtada’

(حَصَلَ بِالْجَرِّ وَالتَّنْوِيْنِ وَالنِّدَا وَ أَلْ وَ مُسْنَدٍ لِلْإِسْمِ)

Derajat tinggi di sisi Allah dapat diperoleh dengan Jir (harus tunduk dan tawadhu’); karena jir merupakan tanda harokat yang selalu berada dibawah huruf hijaiyyah, sehingga maknanya pun harus tawadhu’. Sebagai seorang muslim, maka dalam hidupnya senantiasa untuk menjaga akhlak dengan cara tawadhu’, hal ini dalam tradisi masyarakat Jawa dikenalkan dengan istilah andhap ashor, sopan santun, tepa seliro, dan hal inilah yang merupakan budaya masyarakat Muslim dalam mencapai ridha Ilahi. Dengan tanwin (niat yang benar mencari ridha Allah), dalam ilmu nahwu, tanwin merupakan ‘alamat atau tanda i’rab rofa’ yang baik, sehingga hal ini menyiratkan bahwa dalam kehidupan ini, manusia senantiasa menanamkan dalam hatinya, niat yang baik, niat yang selalu menggantungkan pada ridha Allah. Dengan nida’ (berdzikir), nida’ mempunyai arti mengundang atau mengajak yang dalam bahasa nahwunya biasa di awali dengan frase “yaa”, di mana setiap Muslim menyerahkan dirinya hanya kepada Allah (Yaa Allah), hal inilah yang merupakan cerminan seorang Muslim untuk senantiasa berdzikir. Dengan al (berfikir), “al” dikenal sebagai tanda ma’rifat atau khusus (kebalikan dari nakiroh atau umum), kekhususan manusia sebagai makhluk hidup yang membedakan dengan makhluk hidup lainnya adalah salah satunya adalah dengan dibekalinya daya cipta (akal), sehingga sudah senyogyanya sebagai seorang Muslim harus senantiasa mendayagunakan daya berfikirnya supaya menjadi seorang yang “ulil albāb”. Dengan musnad ilaih (beramal nyata), pada dasarnya keseluruhan perbuatan yang baik tersebut tidak hanya sebatas dalam angan-angan belaka, namun harus disandarkan pada Allah dengan cara bertawakkal, beramal nyata.

Dari uraian di atas, sejatinya adalah untuk koreksi bagi diri pribadi penulis yang jauh dari kata sempurna. Sehingga, jika dalam uraian kontemplasi tersebut banyak kesalahan, itu semua adalah dari penulis dan apabila ada sesuatu yang dapat diambil manfaatnya, itu semuanya dari Allah yang Maha Haq dan Pemberi Petunjuk.

Akhir kata dalam untaian tulisan ini, penulis berpesan pada seluruh pembaca, khususnya pada diri pribadi penulis agar senantiasa ingat dan mampu mengamalkan sekelumit hadis yang mudah untuk dibaca namun belum pasti mudah untuk dilaksanakan dalam pengolahan diri pribadi seorang Muslim, khususnya bagi pejalan rohani. Sebagaimana ungkapan dalam hadis Rasulullah saw yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari berikut:

أَلَا وَإِنَّ فِي الْجَسَدِ مُضْغَةً: إِذَا صَلُحَتْ صَلُحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ, وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ اَلْجَسَدُ كُلُّهُ, أَلَا وَهِيَ اَلْقَلْبُ.

Artinya: Ketahuilah sesungguhnya dalam tubuh manusia itu ada segumpal daging, apabila ia baik maka berdampak baiklah pada seluruh anggota badannya, dan apabila ia buruk maka berdampak buruk pula pada seluruh anggota badannya, ketahuilah ia adalah hati.

Bagaimanakah dengan keadaan hati kita dalam menghadapi hidup dan kehidupan? Dan dalam memperjalankan pada jalan kerohanian? Semoga kita semua tergolong hamba yang di ridhai oleh-Nya. Amin…

Ikuti tulisan menarik M. Nur Kholis Al Amin lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler