x

Iklan

sangpemikir

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 6 Oktober 2021

Sabtu, 30 Oktober 2021 12:19 WIB

Puspita Bahari Penggerak Perubahan di Pesisir Demak

Di desa nelayan Morodemak Kecamatan Bonang, Demak, ada legenda hidup yang tak ada hentinya menorehkan cerita. Ia adalah Puspita Bahari (kembang laut), kelompok pemberdayaan perempuan desa, yang tak lelah berjuang. Cita-cita perjuangannya pun tak terlalu muluk, sekedar memperbaiki nasib diri, keluarga dan lingkungan masyarakat desanya.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Komunitas perempuan itu pun telah membentuk koperasi dengan nama yang sama: Puspita Bahari. Koperasi tersebut kini memiliki 148 anggota aktif, yang tersebar di tiga desa yang bertetangga yakni Morodemak, Purworejo, dan Margolinduk. Hampir semua anggota komunitas ini punya usaha mikro-kecil  yang dikerjakan secara pribadi atau berkelompok. Usaha mereka tidak jauh-jauh dari makanan hasil laut. Koperasi itu kini telah memiliki kantor sendiri, sekaligus show rooom, di Desa Purworejo.

Selama pandemi berlangsung, kegiatan koperasi ini mengendor karena serapan pasarnya menyusut. Seiring meredanya badai Covid-19, Puspa Bahari  menggeliat kembali.  Ia pun mengikuti bazar UKM  di pelataran Kartor Wilayah BRI di kota Semarang. ‘’Produk kami harus dikenal secara luas agar bisa diserap lebih banyak,’’ kata Masnuah, 47 tahun, inisiator gerakan perempuan desa nelayan Demak, yang berjuang lewat wadah Puspa Bahari itu.

Koperasi Puspa Bahari mulai berkiprah 2006, dengan modal iuran Rp. 1 juta yang dikumpulkan dari 30 orang, dan melayani anggotanya dalam bentuk koperasi simpan pinjam beras. Anggotanya, para isteri nelayan, yang kesulitan membeli beras, bisa meminjam 10 kg beras dan saat  mengembalikan memberi keuntungan ke koperasi Rp. 2.000.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Namun, Masnuah tak puas bila koperasinya hanya memberikan pelayanan beras, karena tidak bisa mendongkrak kesejahteraan keluarga nelayan. Ia ingin para isteri nelayan juga dapat menghasilkan rupiah. Pengalaman pribadinya, sebagai isteri nelayan yang penghasilannya tidak menentu, sangat sulit menjalani hidup. Ia sering bekerja di usaha pengrajin ikan asin milik tetangga, tapi hasilnya tak seberapa. Tak sebanding dengan curahan waktu dan tetangganya.

Industri Rumahan Ikan Olahan

Masnuah, yang hanya lulusan SD itu memutar otak. Memasuki 2009, ia mulai  bekerja sama dengan sejumlah LSM. Bersama teman-temannya ia memperoleh pelatihan keterampilan, dan akses modal murah meskipun kecil, dan akses pembinaan dari pemerintah daerah. Meski dia masih meraba-raba peluang apa yang  bisa diperoleh, Masnuah optimistis karena Puspita Bahari memiliki  sumberdaya khusus : bahan baku ikan yang melimpah di  sekitarnya.

Maka, setelah usaha koperasi simpan-pinjam beras itu bangkrut, ditinggalkan banyak  anggotanya, dan mengalami jeda  cukup panjang, ia memulai lembaran baru dengan usaha  produk olahan ikan laut. Koperasi Puspita Bahari tetap menjadi wadahnya. Mula-mula produknya sebatas ikan asin dan kerupuk  ikan. Usahanya mula i menggelinding.

Bukan hanya sebatas koperasi, Puspita Bahari juga bergerak melakukan gerakan sosial kecil-kecilan. Kelompok ini mendorong para isteri ikut membantu suaminya melaut, menjadi perempuan nelayan.

Gerakan kaum perempuan itu tidak lepas dari cibiran tetangga. Desa-desa nelayan di pesisir Demak itu secara umum  menganut budaya patriarkis, yang mengagungkan superioritas kaum lelaki dalam sistem tatanan sosialnya, termasuk di dalam rumah tangga. ‘’Kami dianggap melawan kodrat,’’ ujar Masnuah. Para isteri keluar rumah, pergi kesana-kemari, berkelompok, dan melakukan aktivitas di luar kebiasaan, dianggap tak menghargai kaum lelaki. Tak heran, bila Puspa Bahari ini juga kesulitan untuk menghimpun partisipasi perempuan secara masif.

Toh, Masnuah tak ambil pusing. Ia tetap mendorong perempuan melaut. Faktanya, dengan bantuan sang isteri, para nelayan kecil yang biasa melaut sendirian dengan perahu kecil bermotor 12 PK, bisa lebih produktif. Isteri pegang kemudi, suami fokus merentang jala, dan ia bisa lebih sering menebar jala. Hasil tangkapan lebih banyak. Bisa saja, suami mengajak kenek untuk melaut, tapi hasilnya akan lebih kecil, karena harus dibagi dua. Kontribusi perempuan isteri nelayan di sini jelas dan konkrit.

Mereka yang tidak bisa melaut, aktif di kegiatan pengolahan. Kini, ada empat sentra produksi yang dikelola Koperasi Puspita Bahari. Ada pengolahan ikan asin kering atau gereh di dalam bahasa Jawa, di sebuah area dekat Pelabuhan Morodemak. Ada pula tempat pengolahan  aneka hasil laut seperti kerupuk  ikan, kerupuk cumi, kerupuk udang, abon, dan dendeng, dan terasi,  yang tersebar di tiga dusun, yakni  Dusun Tambak Layur (Desa Morodemak); Kampung Bolang (Desa Margolinduk),  dan Dukuh Tambakmalang, (Desa Purworejo). Ada pula produk ikan segar, hasil tangkapan dari anggota Koperasi sendiri.

Perempuan Nelayan

Kini ada 32 orang anggota koperasi yang bekerja sebagai nelayan dengan perahu milik sendiri hasil  kredit bank. Koperasi memfasilitasi akses kredit usaha rakyat ke Bank BRI setempat. Masnuah dan teman-temanna perlu perjuangan hampir setahun demi membantu anggota meraih status sebagai nelayan, yang ditandai perubahan di KTP. Pada kolom pekerjaan, ada perubahan  dari “ibu rumah tangga” menjadi “nelayan”, termasuk pada KTP Masnuah.

Perubahan status itu terjadi 2017 lalu. Status nelayan itu, menurut Masnuah, diperlukan antara lain untuk urusan kredit bank. ‘’Juga untuk asuransi. Mereka juga telah  mendapat asuransi gratis pada 2019 lalu. Ketika itu, polis asuransinya diberikan langsung oleh Ibu Menteri Susi Pudyastuti,’’ tutur Masnuah. Nilai preminya Rp. 179 ribu setahun. Sayang, pada tahun 2020 dan 2021, asuransi gratis itu dialihkan ke  penanganan Covid-19.

Secara langsung, dampak kehadiran koperasi itu  tampak pada nasib anggotanya. Beberapa mereka memiliki perahu sendiri. Kehidupan mereka secara umum membaik, termasuk Masnuah. Bukan saja ia  bisa menyekolahkan anaknya ke jenjang perguruan tinggi, Masnuah  sendiri telah menyelesaikan pendidikan paket C, setara dengan SMA. Bahkan, ia pun bertekad menempuh pendidikan tinggi dan menjadi sarjana di usia 50-an.

Dampak lainnya, para  nelayan setempat juga punya opsi menjual hasil  tangkapannya ke koperasi Puspita Bahari. Meski serapannya tidak cukup besar, namun bisa berdampak pada kenaikan harga. Untuk ikan sriding, ikan selebar tiga jari yang menjadi salah satu produk andalan koperasi lantaran bisa diolah menjadi keripik gurih dan banyak disukai konsumen, dampak kenaikan harganya cukup signifikan, bisa Rp. 14.000 per kila di  tahun 2019 lalu.

Secara umum, kehidupan di Desa-desa pesisir Demak itu juga semakin dinamis. Meski tidak terkait langsung dengan Koperasi Puspita Bahari, kaum perempuan desa-desa tersebut pun makin banyak yang terjun di dunia usaha mikro atau bekerja di sektor isdustri rumahan.

Local Heroes

Sedikit banyak, perubahan sosial terjadi. Tak semuanya serba mulus. Konflik terjadi, dan ujungnya sering  terjadi tindak kekerasan, terutama di lingkungan keluarga. Komunitas Puspita Bahari itu tak tinggal diam. Mereka pun melakukan advokasi kepada perempuan yang menjadi korban kekerasan. ‘’Dari 200 kasus yang terjadi beberapa tahun terakhir ini, sekitar 75 persen adalah kekerasan dalam rumah tangga,’’ kata Masnuah dalam sebuah video yang diunggah di youtube..

Komunitas Puspita Bahari pun punya tenaga paralegal bernama Hidayah. Meski hanya lulusan SD, dan baru belakangan punya ijasah persamaan SMP, Hidayah rajin belajar soal hukum pada aktivis yang sering datang ke desanya. Paralegal berhak melakukan pendampingan hukum, karena cukup mengerti hukum, meski ia tak bisa berlaku sebagai pembela seperti halnya pengacara. Kehadiran Hindayah terbukti bisa menyelesaikan banyak kasus tanpa harus membawanya ke pengadilan. Tak heran bila ia pun menjadi ‘’Paralegal Terapik’’ pilihan LBH APIK 2020.

Dalam sebuah berita yang diposting di akun Facebook Puspita Bahari, Pemimpin BRI Cabang Demak Muhammad Nizar menilai, Masnuah merupakan tokoh masyarakat pesisir Demak yang tidak hanya mengadvokasikan kepentingan perempuan tapi juga memperkuat ekonomi para perempuan pesisir Demak.

"Kita menilai dia itu local heroes yang membantu komunitas nelayannya di Demak. Jadi, tak hanya sekedar dapat ikan kemudian dijual, tapi mereka olah lagi. Itu keren, apalagi perempuan. Biasanya perempuan kan tidak mau tapi mereka berani," ungkap Nizar.

Puspita Bahari terus bergerak. Sadar telah memasuki area usaha yang menuntutnya kompetitif, ia kini bekerja sama dengan Rumah BUMN. Sesi pelatihan berlanjut dengan urusan cteknik dan seni desain kemasan, manajemen keuangan ,dan marketing. Kegiatan CSR Bank BRI pun menyumbang barang modal berupa spinner, sealer, kompor, hingga wajan serbaguna.

Namun, desa-desa pesisir Demak itu belakangan makin sering terkena banjir rob. Bila bajir rob itu datang, jalan-jalan di Desa Morodemak terendam. Komunitas perempuan itu pun ikut mendukung upaya penebalan hutan magrove di pinggiran desa, di pinggiran tambak penduduk. Puspita Bahari juga turut mendorong agar Morodemak menjadi destinasi ekowisata. Sebuah transformasi budaya (lanjutan) sedang terjadi di sana.

Ikuti tulisan menarik sangpemikir lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB

Terkini

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB