x

Ilustrasi Debat. Gambar oleh Gerd Altmann dari Pixabay

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 6 November 2021 17:22 WIB

Menonton Debat Politisi Kita

Perdebatan antar politisi di hadapan publik tak mencerahkan masyarakat. Tak ada ada ide-ide menyegarkan, sudut pandang yang tidak terduga, dan terbukanya wilayah pemahaman baru. Yang kita saksikan justru saling membuka kelemahan masing-masing serta klaim-klaim prestasi yang membuat rakyat merasa geli.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Perdebatan antar politisi di ruang publik merupakan hal yang bagus bagi masyarakat, agar rakyat dapat memperoleh pencerahan pikiran, perluasan wawasan, merasakan aura semangat kebaruan, yang semuanya dimaksudkan untuk memperbaiki kualitas hidup rakyat. Tapi, seperti sudah jadi aturan hidup: yang namanya harapan tidak selalu terwujud.

Belum lama ini, media mempublikasikan perdebatan antar politisi dari partai yang berbeda—yang satu pernah memerintah, yang satu lagi sedang memerintah. Sebagai rakyat, kita ingin menyaksikan perdebatan dengan bobot yang membanggakan. Betapapun, debat di ruang publik itu—meski tidak tatap muka—rasa-rasanya dibaca dan dilihat oleh rakyat, bahkan juga oleh diplomat asing yang selalu memantau apa yang sedang terjadi di negeri ini.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Andaikan kecerdasan intelektual yang dikedepankan dengan substansi materi yang mencerahkan pikiran dan membentangkan horison wawasan, serta dilakukan dengan cara ekspresi bahasa yang memperlihatkan kedewasaan, rakyat bisa memetik manfaat dari debat itu. Sayangnya, perdebatan terkesan berlangsung emosional, dipenuhi klaim-klaim yang cukup menggelikan, serta substansi yang membuat masyarakat terheran-heran: yang seperti ini kok diperdebatkan?

Perdebatan di hadapan publik di antara politisi itu alih-alih mencerahkan masyarakat karena muncul ide-ide menyegarkan, sudut pandang yang tidak terduga, dan terbukanya wilayah pemahaman baru, apa yang kita saksikan justru saling membuka kelemahan masing-masing, ketidakmampuan masing-masing, serta klaim-klaim prestasi yang membuat rakyat jadi tahu oh segitu ya standar mereka. Bayangkan, mereka ribut membandingkan efektivitas rapat kabinet masing-masing.

Isu-isu penting seperti peta kekuatan geopolitik di Asia-Pasifik, ketegangan Cina-Taiwan, perubahan iklim, masa depan energi baru, ketersediaan lapangan kerja, utang yang terus bertambah, pertahanan maritim, hingga jaminan kesehatan bukan jadi substansi perdebatan. Isu-isu mutakhir tidak masuk ke dalam radar mereka. Fokusnya pada klaim-klaim capaian yang diraih oleh partai tempat para politisi itu bergabung, tentu saja capaian menurut pandangan masing-masing dan merendahkan capaian partai lainnya.

Politisi kedua partai cenderung bersikap defensif, sehingga debat ini lebih sebagai upaya menjaga citra partai di depan publik dan merendahkan citra partai lainnya—barangkali ancang-ancang 2024. Karena defensif, maka perdebatan begitu emosional, tidak substansial, dan menggelikan sebab diksi-diksi yang lucu lantas bermunculan. Alhasil, upaya menjaga citra partai justru malah membuat perdebatan mereka terlihat menggelikan di mata masyarakat.

Kebiasaan para politisi untuk mengembalikan beban persoalan kepada pemerintahan sebelumnya memang menggelikan. Mengapa? Karena pemerintahan yang baru itu dipilih rakyat untuk meningkatkan kualitas kehidupan rakyat, termasuk membereskan persoalan yang belum diselesaikan oleh pemerintahan sebelumnya. Lha kalau politisi pendukung pemerintahan yang baru selalu mengeluh dan menuding suatu persoalan merupakan warisan pemerintahan terdahulu, lantas buat apa ikut dalam kontestasi pemilu? Tugas pemerintahan baru akan enak dong jika pemerintahan terdahulu sudah membereskan semua urusan?

Berani mengikuti kontestasi pemilu—pileg, pilkada, maupun pilpres—berarti berani membereskan persoalan yang ditinggalkan pemerintahan terdahulu [tak peduli, siapapun pemerintahan terdahulu itu, di tingkat kabupaten, kota, provinsi, ataupun nasional]. Mereka terpilih karena dipercaya rakyat bisa membereskan persoalan yang belum tuntas. Jadi, bukan lantas mengeluh.

Tapi, jika politisi dari partai yang sedang berkuasa senang mengungkit-ungkit persoalan yang ditinggalkan pemerintahan terdahulu sebagai beban, politisi ini juga harus legowo seandainya nanti partai lain menang pilpres dan memerintah lalu menyebut-nyebut persoalan yang mereka hadapi merupakan warisan pemerintahan yang sedang berkuasa sekarang. Rakyat memilih yang baru karena berharap ada perubahan dan perbaikan dari yang lama. Tugas politisi terpilih untuk membereskan persoalan yang ada, entah persoalan baru ataupun persoalan lama.

Dari perdebatan antar politisi itu, yang kita saksikan adalah politisi yang lebih gemar mengeluh dan merasa terbebani ketimbang mencerahkan dan mencarikan solusi bagi rakyatnya. Kultur politik yang positif tidak akan pernah terbentuk di negeri ini apabila para politisinya hanya mampu saling klaim capaian, saling menimpakan persoalan sebagai beban warisan masa lalu, hingga membicarakan banyak hal yang tidak substansial bagi rakyat serta senang membuka aib sendiri maupun lawan politik.

Mutu perdebatan di hadapan publik itu mencerminkan seperti apa mutu politisi di negeri ini. Apabila situasi semacam ini terus berlangsung, maka bagaimana rakyat dapat berharap keadaan Republik ini akan bertambah baik. >>

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu