x

Foto menggambarkan seorang ibu mengasuh anak

Iklan

Tsaqqifna Fadhlarrahman

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 9 November 2021

Rabu, 10 November 2021 13:01 WIB

Potongan Terakhir

Seperti potongan-potongan puzzle yang menghasilkan sebuah karya yang baik apabila dirangkai dengan benar. Kehidupan juga demikian. Ia akan terus harus selalu dirangkai dengan apik dalam setiap perjalanan. Cerpen ini menceritakan kehidupan seorang anak yang berjuang demi potongan puzzle paling berarti dalam hidupnya, sang ibu.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Bunda, sejatinya ia puan penipu daya

mereka semburkan tawa walau jiwa lara melanda

putus asa berkata bahagia

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

pun jika hatinya cedera bertingkah seolah tak apa-apa

 

Namanya Ali. Kini ia berada di bangku kelas 12 Sekolah Menengah Atas. Ali memang suka menulis. Ide-ide tulisannya ia dapatkan dari pengalaman hidupnya. Tulisan-tulisan itu turut menjadi motivasi bagi sang sahabat, Aga. Keduanya tengah serius mengamati brosur Pazulu. Pazulu, kompetisi puzzle digital, di mana peserta diharuskan menyelesaikan soal-soal Matematika dan Fisika untuk mendapatkan potongan-potongan puzzle. Jumlahnya empat ratus potong. Nantinya potongan-potongan itu disusun sedemikian rupa hingga menjadi suatu gambar.

Permainan ini dibagi menjadi dua babak. Babak pertama dilaksanakan pada hari pertama, berisi seratus soal Fisika dan akan mendapatkan dua potong puzzle tiap soalnya. Babak kedua sekaligus babak final dilaksanakan pada hari kedua, berisi dua ratus soal Matematika dan akan mendapatkan satu potong puzzle tiap soalnya. Pemain tidak boleh salah dalam menjawab soal. Bila salah, akan otomatis tereleminasi dari kompetisi. Waktu yang disediakan hanya dua jam untuk babak pertama dan empat jam untuk babak kedua. Hanya akan ada satu pemenang yang paling cepat menyelesaikan puzzle. Sedikit gila, tetapi menantang.

Ali termasuk siswa yang pintar. Ia kerapkali menjuarai olimpiade-olimpiade Matematika dan Fisika tingkat nasional, bahkan internasional. Uang-uang hasil memenangkan olimpiade digunakan untuk biaya perawatan ibunya yang menderita diabetes melitus. Ia juga bekerja paruh waktu menjadi guru privat untuk siswa Sekolah Dasar. Dengan segala keterbatasannya, Ali bercita-cita mendapatkan beasiswa untuk kuliah di Jerman.

***

“Bunda, kalau aku ikut ini, boleh?” tanya Ali sembari menunjukkan kertas berhalaman-halaman kecil yang diberikan Pak Jema tadi pagi. Wanita paruh baya yang kini terbaring di kasur rumah sakit itu membaca isinya sekilas.

“Nggak perlu, Ali. Bunda bisa jual cincin kawin Bunda buat bayar ini semua,” jawab Bunda sambil mengusap pipi Ali.

“Jangan, Bunda. Itu satu-satunya peninggalan dari Ayah.” Ruang Anggrek 3 itu tampak lengang. Ali peluk bundanya. Ia berusaha tidak membuat bundanya stres karena dirinya. Namun, Ali tetaplah Ali. Ia sangat teguh pada pendirian dan begitu keras kepala. Malam itu, di bawah cahaya rembulan nan utuh, ia putuskan untuk ikut Pazulu demi Bunda; potongan terpenting hidupnya.

Ketika matahari mulai tergelincir di ufuk barat – jam pulang sekolah, Ali mampir ke rumah Aga, meminjam laptop untuk mendaftarkan diri di perlombaan puzzle yang ia jumpai di brosur tempo hari.

Dua minggu sebelum kompetisi, Ali bergelut dengan buku-bukunya. Ia juga meminjam puzzle-puzzle manual milik Aga untuk berlatih, walaupun ia nanti menyusun puzzle secara digital. Setidaknya, ia mengerti trik-trik menyusun puzzle dengan cepat.

Tiga hari sebelum kompetisi berlangsung, hal buruk terjadi tanpa sepengetahuan Ali. Dokter bilang bahwa gula darah dan tekanan darah Bunda terus naik. Namun, Bunda tidak mengizinkan Aga untuk memberitahu Ali. Aga sangat frustrasi.

Hari ini, hari keberangkatan Ali. Saat cahaya matahari jingga mulai menyirami kota, Ali berpamitan dengan Bunda. Meminta izin dan doa restu agar kompetisinya tiga hari ke depan berjalan lancar.  Taksi telah datang. Aga antarkan Ali ke pintu depan, lantas berpelukan. Ali titipkan bundanya kepada Aga. Di perjalanan, Ali melamun, menatap panorama kota dengan pikiran yang hampa, mengkhawatirkan sesuatu hal yang ia sendiri tidak tahu apa.

Ali sampai di lokasi pukul enam petang. Mengikuti technical meeting pada pukul tujuh. Setelahnya, bergelut kembali dengan bukunya hingga larut malam, lalu berbaring dan membiarkan selimut menerkam tubuhnya.

Dari 516 peserta, dibagi menjadi 3 shift dengan kombinasi soal berbeda. Ali mendapat shift kedua – siang hari. Ali menghabiskan waktu sebelum shift-nya dimulai dengan beristirahat. Yang Ali tidak tahu, di sana bundanya sedang mengalami masa kritis. Besok pagi, Bunda harus dioperasi. Gula darahnya menyentuh angka 550.

Waktu mengerjakan dimulai tepat pukul dua belas. Ali mulai bergelut dengan seratus soal Fisika. Dengan kecepatan berpikirnya, Ali sudah selesai dengan 60 soal tanpa ada kesalahan menjawab. Puzzle-nya sudah hampir tesusun sepertiga.

Lima belas menit terakhir, hanya tersisa sepuluh orang yang bertahan – dari 172 peserta shift kedua. Ali hanya butuh menyelesaikan dua soal untuk mendapatkan empat potongan terakhir di babak pertama. Pukul dua kurang lima, Ali telah selesai dengan seratus soalnya. Dua ratus potong puzzle telah tersusun di media digital.

Ali kembali ke wisma setelah bergelut dengan seratus soal Fisika. Speaker di pojok-pojok lorong mengumumkan nama-nama yang lolos ke babak final, Ali salah satunya.

Ali membiarkan kembali selimut menerkam tubuhnya setelah ia bertatap dengan buku-bukunya. Wisma terasa sepi. Hanya tujuh orang yang lolos ke babak final besok, 509 peserta lainnya telah kembali ke rumah – tereleminasi.

***

Hari kedua kompetisi Pazulu. Ali sudah bangun pagi-pagi sekali, sebelum matahari menyapa di baris cakrawala. Tidak seperti hari kemarin. Langit tampak penuh, hanya butuh waktu agar isinya tumpah.

 Babak final hari ini dimulai pukul sembilan pagi. Ia segera menitipkan ponsel, lantas berlari memasuki ruang 01. Dua jam pertama, Ali berhasil menyelesaikan setengah dari jumlah soal. Sepuluh menit terakhir, hanya kurang satu potongan puzzle saja untuk mengantarnya ke garis finish. Sejauh ini belum ada yang menyelesaikannya. “Ayo, Ali, kamu pasti bisa. Satu soal lagi dan kamu akan dapatkan uang itu…“ katanya dalam hati, terputus suara salah seorang panitia yang menggelegar di ruang 01.

“Atas nama Rajawali Abimana?” Ali mengangkat tangan. Panitia tadi menunjukkan ponsel miliknya. Panggilan masuk dari Aga. Ali menerima ponsel itu, amarahnya meledak-ledak bak bom waktu yang tengah naik ke langit ketujuh.

“Boleh saya terima teleponnya, Ma’am?” Ali dipersilakan. Ali berlari ke belakang, lantas mengangkat telepon itu.

“Apa lagi, Aga?” tanya Ali dengan napas terburu-buru, ia marah.

“Pulang, Li!” Aga terdengar lemas di seberang sana.

“Aku gagal mendapatkan potongan terakhir. Semua karena kamu, Aga!”

“Kamu gagal jadi potongan terakhir bundamu, Ali. Bundamu cuma butuh potongan terakhir hidupnya, bukan potongan terakhir puzzle itu. Bunda kamu sudah berpulang sepuluh menit yang lalu. Tolong kembali ke sini, Ali. Maafkan aku…” kalimat Aga tersendat-sendat.

Tubuhnya lemas. Hatinya tak karuan. Gunung berapi seolah meledak dalam dirinya. Membuat hatinya, jiwanya, dan raganya hancur tak bersisa mendengar kabar buruk potongan terpenting hidupnya itu telah pergi.

“Kalau kamu bohong, aku pukul kamu sampai babak belur, Aga.” Panggilan ditutup. Ali berlari, tidak peduli dengan seruan panitia yang menunggu sedari tadi. Ia mencegat taksi, lalu bergegas menaiki. Tujuannya hanya satu, sang Bunda.

Hujan turun. Bumi ikut menangis seolah histeris. Jenazah bunda dimakamkan seusai hujan tadi. Acara pemakaman telah selesai sebelum senja bersembunyi. Ali masih meluapkan sendu pilunya, ditemani Aga. Ia telah mengikhlaskan potongan terakhir terpenting dalam hidupnya hari ini.

***

Ali dinyatakan menang dalam kompetisi itu, walaupun tidak berhasil mendapatkan potongan terakhir. Semua lawannya yang masih bertahan kala itu tereleminasi pada soal ke-197 dan soal ke-198. Hanya Ali yang bisa mencapai soal 199. Oleh karena itu, Ali dinyatakan menang. Ali berhasil mendapatkan uang itu, bahkan beasiswa S1-nya ke Jerman, negeri impiannya.

Danke, Aga.” Kini kedua sahabat itu berada di balkon kamar Aga.

“Iya deh, yang mau kuliah di Jerman, ha ha ha.” Mereka tertawa lepas bersama.

Ali menuliskan sesuatu di buku itu, tampak melanjutkan puisi tempo hari. Penanya menari-nari di atas kertas, memunculkan larik demi larik frasa.

 

terlihat teguh nyatanya runtuh

terlihat tak keruh ternyata jatuh

tampak tangguh rupanya luluh lepuh

alih-alih terus terang,

justru pilih tutup cangkang

tampakkan senyum di bibir

walau air mata mengalir

 

Bunda, tolong jadi terbuka

hari ini saja

di ulang tahun ke empat puluh lima

dengan Ali dan Aga

 

“Potongan terakhir puisi dari Rajawali. Seharusnya ini jadi hadiah untuk ulang tahun Bunda.” Ali tersenyum, lalu menatap langit yang mulai redup redum.

“Selamat ulang tahun, Bunda.”

 

-selesai-

Ikuti tulisan menarik Tsaqqifna Fadhlarrahman lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB

Terkini

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB