x

Iklan

Mario Plasidius Manalu

JP Group Reporter
Bergabung Sejak: 20 Agustus 2019

Jumat, 12 November 2021 06:09 WIB

Ritus Kopi dan Koran

Cerpen

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Rintih hujan di pagi hari sinonim dengan senandung pilu di hati Marlina. Dari bibir jendela dapur matanya nanap mengamati bulir-bulir air jatuh dari langit. Timbunan daging mirip kantung, di atas tonjolan tulang pipinya, dibentuk oleh goresan-goresan duka yang kerap meluruhkan air mata, dalam penantian panjang tanpa ujung.

Tapi pagi itu dia menahan diri untuk tidak menangis kendati kenangan akan putranya tergambar semakin jelas dalam mosaik bulir-bulir hujan. Hujan pagi selalu mengingatkannya pada hari paling malang dalam hidupnya.

Lebih dari 20 tahun lalu, pada pagi berhujan, dia diberitahu bahwa putranya diculik orang-orang tak dikenal dalam perjalanan pulang ke rumah.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

 “Bintang.......” dia menjulurkan tangan pada siluet pemuda berambut ikal di tengah hujan.

Angin mendesah di dinding sebelum mengacak-acak rambut putih Marlina. Beberapa helai menutupi matanya, mengaburkan gambar ilusi yang dibentuk garis-garis hujan. Angin kemudian menerjang, membanting daun jendela. Dia spontan mundur satu langkah. Ketika jendela terbuka kembali, bayangan putranya telah lenyap. Dia berbalik.

Hidup harus terus berlanjut.

Dia membatin. Tapi godaan untuk mencari bayangan putranya di tengah hujan, datang kembali. Dia memejamkan mata, melawan godaan itu.

Uap yang membubung dari ceret di atas kompor menguatkan hatinya untuk tetap menyeduh kopi kesukaan putranya, kendati koran akan datang terlambat karena hujan.

Seekor kucing belang-belang, bernama Rambo, menggeliat di atas keset abu-abu, membentuk gelombang-gelombang pada bulu-bulunya, beratraksi untuk menarik perhatian Marlina. Kepalanya digoyang-goyang sambil sesekali mengeong.

Marlina mengguyur kopi dalam gelas tembikar dengan air panas. Rambo mengeong semakin nyaring. Gerakannya lebih bervariasi. Marlina menoleh, menghadiahi sahabat setianya itu sesungging senyum.

“Kau hebat, Rambo. Pintar”

Rambo mendekat, mengeong manja sambil menggosok-gosokkan kepalanya ke kaki Marlina. Aroma kopi menyeruak dari gelas tembikar ketika Marlina mengaduknya. Dia menghela nafas, membuka lebar-lebar rongga-rongga hidung untuk menyerap aroma segar dari kopi sebanyak mungkin. Meniru kebiasaan putranya saban pagi sebelum hilang.

Kelir putih gelas tembikar itu telah memudar. Gagangnya patah. Padahal Marlina  merawatnya dengan sangat hati-hati. Sebelum hilang, putranya selalu menyesap kopi pagi dari gelas itu sambil membaca koran dan dari putranyalah dia belajar cara membuat kopi dengan benar.

Kopi mesti diaduk terlebih dahulu dalam air panas sebelum ditaburi gula, agar aromanya lebih kuat. Perpaduan rasa pahit dan masam kopi akan maksimal dalam gelas tembikar.

Semakin tua gelas tembikar, semakin nikmat kopi yang diseduh di dalamnya. Dia mengenang kata-kata yang diucapkan putranya ketika pertama kali memamerkan gelas tembikar bekas yang didapatnya dari pasar loak.

Saat memindahkan gelas tembikar berisi kopi panas ke meja makan, Marlina mengenang perubahan rutinitas dan selera putranya di tahun terakhir sebelum hilang.  Dari seorang pemuda rumahan pecinta teh, putranya tumbuh menjadi aktivis mahasiswa penikmat kopi, yang kerap melontarkan kritik pedas kepada penguasa.

Hari-hari terakhir sebelum hilang, putranya selalu bangun terlambat karena mengetik semalaman, atau karena berdiskusi dengan teman-teman aktivisnya di kamar depan hingga larut malam. Marlina dengan senang hati menyiapkan sajian termewah untuknya sebelum berangkat mengais rejeki di pasar. Tak ada sajian lebih mewah dari kopi dan koran di pagi hari bagi seorang pemuda yang begitu antusias terlibat mendorong perubahan di negerinya.

Marlina berjongkok, mengelus bulu-bulu Rambo penuh kasih sayang. Gemerisik hujan di atap telah hilang. Awan mulai beringsut di luar dan cuaca perlahan semakin cerah. Marlina membuka tudung saji, mengeluarkan makanan Rambo.

Dari balik pagar seorang pria tua berseru-seru. Marlina bergegas keluar, mengambil segulung koran yang diapitkan di sela-sela jeruji pagar dalam bungkus plastik.

Dia meletakkan koran di samping gelas tembikar,  kemudian bersiap berangkat ke pasar. Dari tas berwarna hitam dia mengeluarkan buku catatan belanja dan penjualan baju di kiosnya. Dia berjalan sambil mengamati coretan-coretan di buku. Berhenti sejenak di depan kamar putranya, menarik pintu.

 “Bintang, Mama berangkat, ya. Kopi dan koranmu sudah di atas meja makan. Jangan terlambat ke kampus”

Kata-kata itu mengalir begitu saja dari mulutnya, seperti mantra yang telah dia hafal luar kepala dan dirapalkan setiap pagi. Di atas tumpukan koran di kamar itu, dia melihat wajah putranya tertidur lelap. Koran-koran itu masih dalam gulungan, tanpa pernah dibuka satupun.

Marlina menuju ujung gang, ke perhentian angkot yang akan membawanya ke pasar Senen. Dia berpapasan dengan pria tua mengayuh sepeda, tukang antar koran langganannya.

“Bu....”

“Ya, Om Berlan....”

Mereka berukar senyum dan anggukan. Om Berlan masih setia mengantar koran kendati pelangganya terus berkurang.

Berlan adalah singkatan dari Berita Berjalan. Gelar itu disematkan orang-orang sekitar sejak lebih 20  tahun lalu. Bukan saja karena profesinya sebagai tukang antar koran, tetapi juga karena kegemarannya berbagai berita yang dia dapatkan dari koran-koran sebelum dia edarkan ke pelanggan. Kalau ada peristiwa penting di negeri ini, atau di belahan dunia lain, dia selalu menjadi orang pertama yang mengabarkannya, termasuk kepada orang-orang yang tak pernah membeli atau berlangganan korannya.

Dulu putra tunggal Marlina sering nongkrong di warung kopi belakang rumah untuk membaca koran atau mengobrol dengan Om Berlan. Karena itu dia putuskan untuk berlangganan koran agar putranya bisa menyimak berita dari rumah.

Zaman berganti,  orang-orang tidak lagi mencari Om Berlan untuk mendapatkan berita. Karena sebelum koran terbit orang-orang sudah tahu apa yang terjadi dan belum terjadi di dunia ini. Pelanggan korannya tinggal hitungan jari, namun tetap dia layani sepenuh hati dengan sepeda Onthel yang telah menua bersama dirinya.

Marlina membuka lagi buku catatan belanja dan penjualan saat angkot yang ditumpanginya terjebak dalam macet. Dia mencoret-coret dengan pulpen biru. Seorang wanita muda berseragam kerja, duduk di hadapannya, cemas melihat macet semakin parah dan sesekali menyumpahi kebisingan klakson yang sahut menyahut. Hawa mulai gerah.

Seorang remaja di sampingnya terkekeh memelototi layar handphone. Angkot bergerak perlahan, kemudian tiba-tiba berbelok cepat ke jalur khusus Trans Jakarta. Marlina berpegangan pada gagang pintu saat angkot itu berguncang sebelum melaju cepat menuju Senen.

Menenteng tas hitam, Marlina tertatih menaiki satu per satu anak tangga menuju lantai dua di pasar Senen. Sesekali dia berhenti, menegakkan badan, mengurut pinggang. Dia langkahkan lagi kakinya ke anak tangga berikut. Dia disambut riuh rendah suara-suara beragam logat di anak tangga terakhir. Para penjaga kios berlomba menawarkan baju-baju dagangan mereka ke pengunjung yang mulai ramai.

Marlina berjalan santai menuju kiosnya. Bau kain mengusir lelah dari tubuhnya. Setelah rumah, tak ada tempat di dunia ini yang begitu dia dambakan selain pasar kain Senen, yang telah memberinya penghidupan selama puluhan tahun. Dia perhatikan baju-baju jualannya terpajang rapi. Dua orang pejaga kiosnya sedang sibuk melayani pembeli.

Seorang pria setengah baya mendekat ketika Marlina memeriksa stok jualan di bagian belakang kios. Pria itu berkemeja  putih, mengenakan celana dan sepatu yang sama-sama hitam mengkilat. Dia berdiri ragu di belakang Marlina. Di wajahnya tergaris secuil cemas dengan mimik agak kaku, mengkahwatirkan sambutan dingin dari orang yang hendak disapanya.

“Ibu....”, suaranya penuh keraguan.

Marlina berbalik. Segera mengenali pria di hadapanya.

“Jay...ada apa, Nak? Sudah mau Pilpres lagi, kah?”.

Marlina memasang muka masam.

Jay adalah teman dekat Bintang semasa kuliah. Mereka sama-sama terlibat aktif dalam pergerakan mahasiswa, mendorong lahirnya Reformasi. Beberapa tahun lalu dia menemui Marlina di lantai dasar, di tengah musim kampanye Pilpres. Jay saat itu mengaku sebagai tim sukses seorang calon presiden yang berpenampilan sederhana dan tengah naik daun dengan citra kerakyatan. Dia meyakinkan Marlina bahwa calon presiden yang didukungnya merupakan tumpuan harapan terbaik untuk menyelesaikan pelanggaran-pelanggaran HAM masa lalu, termasuk menyelidiki hilangnya Bintang. Marlina percaya dan turut menggalang dukungan untuk calon presiden berpenampilan sederhana dan kerakyatan itu, hingga bermusuhan dengan beberapa tetangga dan temannya sesama pedagang. Keputusan itu  disesalinya kini.

 “Ibu, saya sedang mendampingi Bapak Presiden blusukan di seberang pasar ini. Saya sempatkan mampir untuk....”

“Sudahlah, Nak. Kau tak berhutang penjelasan apapun padaku”, Marlina memotong dengan ketus, seakan dapat menebak arah pembicaraan lelaki yang dulu sering menginap di rumahnya itu.

Jay salah tingkah. Dia menatap langit-langit kios, berpaling ke lalu lalang pengunjung pasar, kemudian menunduk.

“Saya sudah cukup paham sekarang untuk tidak memepercayai politisi manapun. Pulanglah, pasti banyak tugas negara yang perlu kau selesaikan”

Kata-kata ketus dan sikap dingin Marlina tetap menyayat hati Jay, sekalipun telah dia wanti-wanti sebelumnya. Dia membangun keberanian untuk melakukan percobaan terakhir.

 “Saya paham Ibu kecewa. Tapi ijinkan saya menjelaskan bahwa ternyata tak mudah....”

“Sudahlah, Nak.....”, Marlina kembali memotong, masih dengan sikap dingin dan intonasi ketus.

“Saya hanya pedagang sederhana. Otakku tak sanggup memahami kerumitan politik. Tapi pengalaman berdagang mengajariku arti penting menjaga kepercayaan. Kalau pemasok barang-barang daganganku tak memenuhi apa yang dia janjikan, saya akan meninggalkannya. Tuhan tidak melarang kita meninggalkan orang yang tidak memenuhi janji-janjinya”.

Jay diam. Marlina memalingkan tatapannya ke kios sebelah, kemudian berpaling kembali ke Jay menumpahkan amarahnya.

“Jay, saya tidak kecewa seperti katamu tadi. Tapi hancur. Sehancur-hancurnya. Mungkin tak ada manusia yang lebih hancur dari seorang Ibu yang tidak tahu keberadaan putra tunggalnya selama puluhan tahun, apakah masih hidup atau sudah mati. Di kampung halamanku, seorang Ibu yang ditinggal mati anak tercintanya masih bisa menghibur diri, dengan menghidangkan makanan di kuburan. Dia cukup terhibur membayangkan masakannya dinikmati arwah anak tercintanya. Saya jauh lebih malang, dan kemudian dihancurkan janji-janji palsu”.

Jay kehabisan akal. Dia tak mampu menemukan celah untuk memberi penjelasan pada wanita tua di hadapannya. Dengan kata-kata penutup lebih ketus dari Marlina, yang masih bergiang di telinganya, dia meninggalkan kios itu.

Suara-suara pengunjung pasar makin bergemuruh. Marlina kehilangan gairah melanjutkan pekerjaannya. Dia membaringkan diri di sela-sela tumpukan kain di kiosnya hingga sore.

Pulang ke rumah, Rambo menghiburnya dengan beragam atraksi sebelum melompat ke pangkuannya. Amarahnya di pasar perlahan terlupakan.

Menggendong Rambo, dia membuka penutup gelas tembikar berisi kopi dingin di atas meja makan.

“Bintang. Kau belum pulang, Nak. Saya minum kopimu, ya. Kalau kau pulang, Mama buatkan kopi enak lagi”.

Pelan-pelan, dia menikmati perpaduan rasa pahit, manis dan sedikit masam dari kopi dingin. Kemudian dia berjalan ke kamar depan, memasukkan koran, menambah satu gulungan baru ke tumpukan yang terhimpun melalui ritus harian dalam rangka menjaga ingatan akan putranya. Pikirannya tak mampu mengingat jumlah hari-hari yang telah berlalu sejak putranya hilang atau dihilangkan, tapi koran-koran itu akan mengingatnya.

Ikuti tulisan menarik Mario Plasidius Manalu lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB

Terkini

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB