Anakku (Bukan) Maling

Jumat, 12 November 2021 16:53 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content0
img-content
Iklan
Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Anak lelakiku yang harus meregang nyawa demi menyambung kehidupan kami

Aku adalah lelaki tua renta, hanya bisa tergolek tak berdaya beralas tikar yang terbuat dari anyaman plastik dan berbantal lusuh. Isrtriku sudah lama pergi mendahuluiku untuk bertemu dengan Tuhannya. Di rumah yang aku kontrak ini, aku tinggal ber-empat dengan anak-anakku. Anakku yang sulung adalah laki-laki yang hanya tamat sekolah dasar, anakku yang nomor dua dan tiga adalah perempuan, mereka berdua penderita sebuah penyakit yang bernama kelumpuhan otak, sama seperti ku mereka berdua hanya bisa tergolek tak berdaya, karena penyakit itu.

Anakku yang sulung sudah sepuluh tahun, sejak aku menderita stroke, menjadi tulang punggung keluarga. Usianya sekarang dua puluh lima tahun, seharusnya untuk laki-laki seumuran itu, ia sudah menikah, namun karena pekerjaannya yang serabutan, kadang ada kadang nggak, serta statusnya sebagai tulang punggung keluarga, ia memutuskan untuk tidak menikah dulu. Di rumah, kami memanggilnya dengan sebutan abang.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Sepuluh tahun ini, abang terus berusaha mencukupi kebutuhan kami, makan kami, walau cuma sekali sehari, abang selalu cukupi, ditambah abang selalu berusaha untuk membeli obat untuk adik-adiknya saban bulannya, agar adiknya tidak kumat, jika kumat adik-adiknya kejang-kejang bahkan sampai membiru badan mereka.

Persis di sebelah rumah kontrakkan kami, berdiri rumah ibadah yang cukup megah, saban pekannya selalu mengumumkan bahwa rumah ibadah itu memiliki nominal saldo yang cukup besar. Jika di konversi kan, besaran nominal saldo rumah ibadah tersebut dapat menyokong kebutuhan keluarga kami seumur hidup.

Banyak pula tetanggaku yang berkehidupan lebih dari cukup, dapat terlihat dari rumah-rumah mereka dan jenis pekerjaan mereka, seperti pegawai negeri, manajer di sebuah perusahaan besar, dan lain sebagianya.

Seminggu yang lalu adalah hari di mana masa sewa rumah kontrakkan kami telah habis, si empunya rumah sudah menagih uang kontrakkan tiga kali dalam seminggu ini. Sementara, sudah sebulan ini abang tidak bekerja, makan kami sehari-hari selama sebulan ini mengambil dari tabungannya yang sedikit itu. Seminggu ini pula abang hilir mudik kesana-kemari untuk mencari kerja sambil mencari hutangan untuk membayar sewa rumah yang tidak seberapa besar jumlahnya itu, semua usahanya tidak berbuahkan hasil sama sekali, nihil.

Dalam keadaan lemah, malam itu abang mendatangiku dan bercerita,

“ayah, udah seminggu ini abang coba mencari hutangan ke sana- ke mari, pada sanak saudara, pada tetangga, bahkan pada pengurus rumah ibadah di sebelah rumah kita, untuk membayar sewa rumah ini, tapi semuanya tak berhasil, tak ada satupun yang bersedia meminjamkan kita uang, bahkan sampai sekarang pun abang juga belum dapat kerja”

Jawab ku,

“anakku besabar ya sayang, selalu berdo’a pada Tuhan semoga kita diberi jalan keluar untuk masalah ini”

Abang menjawab dengan lirih,

“Iya, ayah...”

Esok pagi nya di hari tepat dimana uang sewa rumah harus di bayarkan, jika tidak, kami akan di usir si empunya rumah, abang pamit pergi ke rumah temannya untuk berusaha kembali mencari hutangan. Sampai sore abang belum pulang juga, sementara si empunya rumah sudah datang kembali untuk menagih sewa rumah, dengan suara lantang berkata,

“mas Pri, jika sampeyan belum bisa bayar sewa rumah juga sampai malam ini, saya terpaksa ngusir sampeyan dan keluarga dari rumah ini, sudah ada orang yang bersedia menempati rumah ini, dan membayar dua kali lipat dari sampeyan”

Jawabku sedih,

“iya Ibu, ini si abang sedang berusaha, semoga ia mendapatan hasil agar dapat membayar uang sewa rumah ini”

Mendengar itu, si empunya rumah berkata,

“baik, saya tunggu sampai malam ini”

...sambil melongos pergi.

Tidak lama setelah pintu rumah kontrakkan tertutup, tiba-tiba aku mendengar pintu di gedor dan di dorong dengan cukup keras oleh beberapa orang sambil berteriak,

“mas Pri, anak sampeyan ketangkep nyolong di rumah ibadah sebelah rumah sampeyan, itu sedang di rame-ramein warga”

Demi mendengar itu, jantungku berdegup sangat kencang,

“apa benar anakku ketangkep nyolong di rumah ibadah sebelah rumahku?”

Spontan mereka menjawab dengan penuh kemarahan.

“benar, itu sedang dipukuli warga”

Aku memelas pada mereka,

“bapak-bapak, aku mohon selamatkan anakku, jikapun ia benar melakukannya, ia melakukan dengan sangat terpaksa, tidak ada pilihan lain”

Mendengar perkataanku itu, mereka malah semakin marah, lalu pergi sembari menghardik,

“he...dasar keluarga maling, sudah kita habisin saja itu orang yang berani berbuat kurang ajar di rumah Tuhan”

Selang satu jam dari kepergian warga itu, ada beberapa orang yang mengantar tubuh lemah anakku ke rumah kontrakkan kami, tubuh yang penuh luka-luka akibat hantaman berbagai benda, darah terus mengalir dari tubuhnya. Akibat terus kekurangan darah abang pergi menyusul Ibunya di sisi Tuhan, abang berhenti jadi tulang punggung keluarga kami, aku tak bisa berbuat apa-apa karena keadaanku ini, aku hanya mampu melihat tubuh lemah laki-laki semata wayangku itu sampai aku tertidur, tanpa air mata, sebab air matapun sudah tak sudi lagi untuk singgah di keluarga kami ini, sampai aku tak sadarkan diri.

Hingga malam tiba, si empunya rumah datang lagi dengan maksud nagih sewa rumah dan mengusir kami jika tak mampu bayar, tapi yang ditemuinya adalah empat orang yang tertidur, satu diantaranya adalah mayat. Si empunya rumah berteriak histeris, mendengar teriakannya itu aku terbangun dan kembali tersadar.

Si empunya rumah berteriak kepadaku,

“mas Pri, anak mu ini sudah mati, kenapa sampeyan hanya tertidur?”   

Aku menjawab,

“aku tidak tahu bagaimana caranya minta tolong lagi pada orang-orang”

Tidak menghiraukan jawabanku, si empunya rumah memanggil orang-orang yang kebetulan lewat di depan rumah, untuk mengurusi, jenazah anakku itu, malam itu juga abang dikuburkan tepat di sebelah makam Ibunya.

Keesokan paginya, si empunya rumah datang lagi, dengan suara tidak selantang kemarin,

“mas Pri, saya turut berduka, saya ikhlaskan uang sewa rumah setahun ini tidak perlu sampeyan bayar”

Sambil memberikan segantang beras, si empunya rumah pamit pulang.

Setengah jam setelah si empunya rumah pamit, datang seorang teman abang ke rumah,

“assalamualaikum, pak de, mas Fathul ada?”

Jawabku,

“walaikum mus salam, nak Ardi, masuklah dulu”

Setelah Ardi masuk rumah, aku ceritakan apa yang terjadi tadi malam tadi, Ardi menggenggam erat tanganku, lalu berkata,

“ya Allah, kemarin siang mas Fathul datang ke rumah saya, ingin meminjam uang untuk membayar uang sewa rumah, siang itu saya tidak memegang uang sepeser pun, namun saya berjanji meminjamkannya pagi ini, dan bilang padanya usahakan dulu dari yang lain besok bisa kamu ganti dengan uang dari saya ”

Mendengar itu, firasat ku mengatakan apa mungkin abang, dalam keputus-asaannya mengambil uang dari rumah ibadah itu untuk mendahulukan pembayaran uang sewa rumah, kemudian menggantinya jika sudah mendapat pinjaman dari Ardi ini, entah lah..

Anak laki-laki semata wayangku, telah sepuluh tahun kamu jadi tulang punggung kami, sekarang kamu berhenti melakoninya, kamu memilih untuk menemui Ibumu disisi Tuhan. Pergilah nak, semoga Tuhan berkehendak mempertemukan kita kembali di sana. Biarlah keajaiban lain yang mengurusi kami disini.

Seandainya saja, rumah ibadah itu peduli pada tetangganya, sudah tentu abang tidak menemui ajalnya dengan cara sebegitu perihnya. Seandainya saja, pepatah tetangga mu adalah saudara terdekat mu berlaku, tentu tak ada penderitaan seperti yang kami alami ini. Seandainya saja, manusia yang satu bisa memanusiakan manusia lainnya, tentu indah sekali hidup di dunia ini.

Bagikan Artikel Ini
img-content
Taufik Hidayat _

Penulis Indonesiana

0 Pengikut

Baca Juga











Artikel Terpopuler











Terkini di Fiksi

img-content
img-content
img-content
Lihat semua