x

Iklan

Rian Harahap

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 11 November 2021

Minggu, 14 November 2021 05:24 WIB

Amir, Syair yang Terus Mengalir (Sebuah Resensi Pertunjukan Monolog Chicco Jericho)


Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Suara senandung panjang terdengar lirih. Lampu menyala. Seorang lelaki berpakaian putih, dengan peci di kepalanya, duduk di atas kursi. Ya, itu adalah satu dari empat bagian serial pertunjukan monolog di tepi sejarah. Sajian ini berhasil menukil sejarah dalam pertunjukan virtual Indonesia. Terlebih ketika menghadirkan tokoh yang sejatinya memang berada dalam tepi sejarah. Mereka yang jauh dari hingar bingar, catatan buku sejarah, atau bagian dari sekelumit sejarah negeri ini. Salah satunya ialah pertunjukan Amir Akhir Sebuah Syair, sebuah pertunjukan monolog yang hadir dengan nuansa baru. Pertunjukan yang disutradarai oleh Iswadi Pratama dan diperankan oleh Chicco Jerikho. Kedua nama yang sudah malang melintang dalam jagat dunia sutradara dan keaktoran.


Amir bukanlah seorang yang bermain dalam tepi sejarah, namun ia hadir sebagai tokoh yang selalu hidup (baca: Protagonis) dalam sejarah. Amir terus hadir dalam syair yang mengalir di buku sekolah, papan pengumuman, serta termaktub dalam pustaka digital berbagai situs. Amir adalah protagonis dalam sejarah sastra dan perjuangan Indonesia. Ia adalah diskusi-diskusi yang terus berlanjut dari kampus ke kampus, kota ke kota. Ia menjadi magnet untuk selalu diperbincangkan serta dikaji baik dari segi karya maupun daya jelajahnya dalam kebangsaan. Justru yang berada di tepi sejarah adalah cerita-cerita yang berada di belakang Amir. Orang-orang yang menjadi peristiwa sejarah (baca: saksi) lalu tidak pernah terungkap lewat dokumentasi, jauh dari pemberitaan. Inilah poin tepi sejarah yang dimaksud sehingga terang dan jelas, mengapa Amir kini menjadi sebuah menara ingatan yang hidup dari masa lalu, kini hingga masa depan. Pembacaan atas Amir mesti dikaji lewat tokoh Iyang, abdi dalam kesultanan, buruh ladang serta dari Amir sendiri.

Menonton pertunjukan ini seolah dibawa dalam gedung pertunjukan yang kedap suara, serta tata cahaya yang apik. Tata pentas yang dipakai seminimalis mungkin namun memiliki simbol-simbol yang kuat. Menghadirkan set kubur dari Amir, serta beberapa gundukan tanah, serta trap yang dipasang berkeliling di antara pilar-pilar bambu atau kayu. Seperti sebuah narasi panjang yang akan menceritakan banyak hal dalam pertunjukan, dan benar saja hal itu pun tersaji hingga pertunjukan berakhir.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Menonton pertunjukan Amir, kita harus melepaskan tokoh Amir yang pernah kita baca dari berbagai sumber, serupa dengan “gelas kosong”. Menakar rasa tentang apa yang Amir rasakan dan orang di sekitarnya. Sejatinya agar apresiasi yang timbul menjadi lebih jernih, suara yang keluar menjadi tertata dan tidak bersifat tendesius, menggurui serta tanpa alasan. Pentas ini dibagi menjadi enam bagian penting yang tidak bisa dihilangkan satu bagian pun. Jika satu bagian hilang, makna pentas akan kacau dan tidak jelas dramaturginya. Enam bagiannya saling berkelindan dan memunculkan beberapa pertanyaan besar yang mesti dijawab oleh kita (baca: penonton). Bukan oleh sutradaranya, atau pun Chicco yang dengan apik memainkan perannya.

Pada bagian pertama berjudul Selamat Tinggal Jawa. Hal ini berkaitan dengan refleksi Amir atas kesedihannya ketika dipanggil Sultan Langkat untuk pulang dan harus meninggalkan apa yang telah ia bangun di Pulau Jawa. Ragam kegelisahan yang muncul di kepalanya, tentang Armin dan Sutan Takdir, Pujangga Baru yang ia bangun berdarah-darah. Melawan hegemoni kekuasaan lewat kata-kata. Selain itu, asmaranya pun harus kandas dengan seorang gadis jawa yang bernama Ilik Sundari. Semua itu ia lakukan dengan ikhlas.

“Aku pulang ke Langkat atas nubuat takdir yang telah ditetapkan dan tak siapapun yang dapat mengelak”

Kalimat tersebut adalah sebuah pilihan diksi yang menarik yang telah dijalin dengan makna tersirat yang kuat. Penulis naskah berhasil membuat teks hidup di atas panggung. Begitu juga dengan analogi-analogi arjuna dan anak panahnya. Teks yang hidup dalam bagian ini sangat dominan bertaut pada kesedihan Amir yang telah lepas dari kehidupannya di Jawa. Menariknya di bagian ini musik yang dihadirkan sangat minimalis, penguatan Melayu Deli dengan bunyi nafiri membuat aktor berhasil masuk dalam konflik kebatinan. Amir yang dalam bagian ini beberapa kali pindah pada kursi dan gundukan tanah, seolah sedang mencoba membangun emosinya. Menjadi penting untuk diperhatikan adalah posisi kubur yang jelas terpampang pada bagian awal. Dimana Amir masih “hidup” dan membeberkan kegelisahannya. Seolah ada tumpukan seting yang belum terjamah dan penonton harus memaksakan dirinya menerima seting tersebut ada di tengah panggung pada bagian pertama. Pertanyaan yang muncul, apa yang Amir rasakan ketika kehilangan “bangunan kehidupan” di Pulau Jawa?

Pada bagian kedua, Buruh Kwala Begumit. Pergantian adegan dengan melepaskan simbol peci dan baju luaran serta mengambil sarung dan caping tani. Itu adalah simbol-simbol buruh yang ditawarkan sutradara dalam mempresentasikan pergulatan hidup buruh di Kwala Begumit. Pencantuman titi mangsa 3 Maret 1946 di Langkat menunjukkan situasi puncak dalam pergolakan sosial. Buruh ladang yang merasa bahwa feodalisme menghasilkan kesengsaraan di tanah Langkat. Kehidupan melarat yang ada adalah sisa-sisa dari hidup mewah para sultan. Pada bagian ini ada gerakan-gerakan tegas dari buruh. Sumpah serapah dan puncak amarah serta perencanaan gerakan penyerbuan. Dialog-dialog yang digunakan sedikit. Namun, belum munculnya dialek dan aksen melayu dalam bagian ini menjadi bagian yang menjadi tanda tanya. Apalagi, latar dan setingnya jelas di tanah Melayu Deli. Lalu pertanyaan besar bagian ini, mengapa akumulasi kemarahan buruh sangat besar dan tidak terbendung?

Pada bagian ketiga, Amir dan Kwala Begumit menjadi bagian fundamental menuju katarsis sebenarnya. Amir mencoba berlari dari sebuah penyerbuan. Ia beberapa kali jatuh di panggung sebagai simbol dari usaha untuk melarikan diri. Ia memanggil-manggil nama Tahura (anaknya) dan Tengku Kamiliah (istrinya) untuk bersembunyi dan lari. Ia ditangkap dan dihardik dengan panggilan, “Anjing Feodal”. Bagi mereka yang berada dalam lingkaran Melayu Deli mungkin ucapan ini terasa maknanya kasar. Namun, sepertinya sutradara sedang meramu situasi kekacauan pada akar rumput yang sudah tidak terelakkan lagi, kekalutan yang berdarah-darah. Dulu mereka mencintai kesultanan, lalu situasi berbalik menyiksa keluarga sultan. Memburu membabi buta, tanpa sisa perasaaan sebelumnya.

Amir digambarkan dengan baju yang lusuh, mengambil karung goni sebagai pakaiannya. Lagi-lagi pilar bambu atau kayu tersebut sebagai batas perpindahan dan pergantian dari satu karakter menuju karakter lain. Pilar tersebut didapuk sebagai ruang interpretasi pergantian dimensi waktu. Hanya saja perpindahan karakter pada pilar dilakukan berulang dan bisa ditebak.

Pada bagian ini Amir tampil apik dengan tubuh lemah dan ringkih. Seolah telah melakukan kerja paksa jangka panjang di Kwala Begumit. Bagian ini seolah menjelaskan kesedihan dan kepiluan yang Amir rasakan di ladang bekerja menggali lubang, sepi dan sendiri. Namun pada bagian ini ada gerakan yang cukup mengganggu, ketika seorang yang datang dari sayap panggung mengambil kursi, pertanyaaannya sedemikian daruratkah kursi itu harus keluar dan mengganggu simbol pertunjukan? Mata penonton sulit berterima dengan masuknya orang tersebut. Pertanyaan pada bagian ini, Marahkah Amir pada rakyatnya?

Pada bagian empat, Air Mata di Pusaramu. Judul ini dipilih karena begitu banyak air mata yang harus jatuh. Pencerita atau tokoh yang dihadirkan adalah saksi hidup yang ada ketika Amir masih hidup dan setelah wafat. Ia menjadi kunci dari lahirnya informasi dimana Tengku Kamiliah dan Tahura. Kabar bahwa Iyang yang membunuh Amir di Kwala Begumit divonis mati namun Tengku Kamiliah menolak menandatangani surat itu.

Lelaki tua itu dimunculkan dengan membawa payung hitam simbol kedukaan, kembang ziarah kubur. Lalu ia duduk tepat disamping pusara Amir. Ia menceritakan semua yang terjadi setelah pergolakan terjadi. Nasib masing-masing tokoh yang masih hidup. Ia dominan menceritakan Tengku Kamiliah yang kini hidup lebih ikhlas dan  bekerja sebagai pembersih rumah pejabat yang ada pada masa itu. Lelaki tua ini adalah pengabdi pada kesultanan. Ia adalah mata dan sudut pandang dari istana. Dialog-dialog yang dihadirkan pun tak kalah syahdu.

Pada bagian ini, ada beberapa hal esensial dan memang sangat menyentuh hati, sebab ini berkaitan dengan kenangan lelaki tua pada Amir. Terlebih lagi ada suara senandung yang muncul seolah dari dalam kubur dengan lirih. Lagi, teks menjadi kekuatan yang tak terbendung.

“Seekor burung, sepasang sayap, langit yang luas, tempat dia bebas”                            

Lelaki tua pun kembali pergi ke belakang, ke sebuah pilar dan melepas bajunya sebagai simbol perubahan karakter.

Bagian kelima, Iyang dan Segala Tentang Amir. Lagi-lagi pilar menjadi tempat pergantian aktor, lalu dengan suara tangis, aktor kini menjadi Iyang. Seorang lelaki yang merupakan guru silat Amir. Ia pula yang mengajak Amir untuk pergi mengaji ke surau. Ia adalah sosok dekat dengan Amir. Namun, di sisi lain sosok inilah yang menjadi algojo yang mengeksekusi Amir hingga tewas. Lewat sabetan parangnya Amir tumbang dan masuk ke dalam lubang.

Sutradara sengaja mengajak penonton masuk dalam masa kecil Amir yang lincah. Ia yang rajin mengaji ke surau, serta berlatih silat. Tawaran adegan silat yang dimainkan Iyang memang mencoba masuk pada masa kesultanan yang putranya wajib menguasai silat melayu. Apakah pesan silat melayu itu tersampaikan lewat gerakan yang gagah? Dimana Iyang sebelumnya frustasi. Dua hal ini perlu jalinan yang rapi sehingga perpindahan adegan tidak terlalu drastis perubahannya.

Enigma muncul dalam kematian Amir oleh Iyang seorang guru silatnya, tentu informasi yang berada di tepi sejarah, perlu dijelaskan terang benderang. Mengapa Iyang rela membantai orang yang ia sayangi? Murid silatnya? Pangeran Langkat yang dicintai?

Iyang ngape kau sedih?

Iyang awak nak ke surau

Iyang awak nak latihan silat

 

Suara teror itu berdialek dan aksen melayu. Disinilah baru terasa kekuatan aksen Melayu Deli sepanjang pertunjukan. Aksen yang membuat bulu kuduk bergidik. Seolah suara itu datang dari kubur yang masih basah. Amir dihadirkan dalam bentuk suara-suara.

Pada bagian penutup, Amir Akhir Sebuah Syair. Amir dihadirkan pada dimensi detik menuju kematiannya. Amir menggali lubang, namun penonton harus mencoba menginterpretasikan lubang mana yang sedang Amir buat. Ia menggali menggunakan cangkul, berdekatan dengan kubur yang sedari awal sudah ada. Penonton perlu waktu untuk menyamankan dirinya pada situasi set ini. Berdamai dengan simbol set yang sempit. Sepertinya suasana itu memang dibuat semirip mungkin dengan apa yang terjadi pada tujuh puluh lima tahun silam di Kwala Begumit. Sutradara mencoba menghadirkan properti dan set yang ada di hari-hari terakhir Amir. Sosok Amir yang dihadirkan di penghujung hidup adalah syair yang liris. Manusia yang mengingat tuhannya. Sutradara berhasil membawa nilai tambah religius dalam bagian ini. Rapalan doa dan adegan shalat bukti terakhir bahwa Amir wafat dalam kondisi ikhlas dan tenang.

Secara keseluruhan, lakon ini berhasil menghipnotis penonton untuk tidak beranjak dari layar virtual. Membuka ruang-ruang interpretasi, imajinasi dan daya kritis. Monolog yang berhasil adalah ketika penonton membawa pulang banyak pertanyaan untuk direnungkan dan mencari jawaban.

Akhirnya menonton pertunjukan Amir Akhir Sebuah Syair adalah sebuah perjalanan berlayar panjang yang tak menemui tepi. Ia adalah sungai peradaban kata-kata. Ia mengalir deras tak henti. Menuju yang Maha Abadi.

Pulang kembali aku padamu. Seperti dahulu.

Ikuti tulisan menarik Rian Harahap lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu