x

Iklan

muhammad syaifullah

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 12 November 2021

Senin, 15 November 2021 05:58 WIB

Bunyi Manusia

Cerpen ini bercerita tentang pencarian pencarian bunyi manusia yang dilakukan oleh dua anak manusia.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

BUNYI MANUSIA

 

Aku mendengar bunyi air

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Aku mendengar bunyi angin

Aku mendengar bunyi ranting yang terinjak

Aku mendengar bunyi binatang melata yang tertawa

Aku mendengar bunyi hentakkan tubuh

Aku mendengar bunyi perut yang kelaparan

Aku mendengar , aku mendengar

Yah, aku mendengar semuanya.

Tapi, hanya satu bunyi yang tidak pernah aku dengar yaitu, BUNYI MANUSIA !

Oleh sebab itu, aku ingin mencarinya.....

 

 

AKU melihat jiwanya dikoyak persoalan yang jika digambarkan banyak sekali tanda tanya dikepalanya. Entah aku tidak tahu persoalannya apa, tetapi yang jelas aku mendengar sedikit bunyi yang samar dari bibir yang gemetar melintas di telingaku melalui udara. Bunyinya indah, tetapi penuh dengan tanda tanya. Bagi aku, kalimat tersebut seperti tusukan pedang yang dicerna baik oleh otak yang masuk ke dalam sistem limbik.

“Aku tidak pernah mendengar bunyi manusia”

“Dimana bunyi manusia?”

“Aku ingin mendengarnya”.

Ia mengucapkan kalimat itu berkali-kali dengan badan yang gemetar dan kepala yang dibentur-benturkan pada batang pohon. Lalu Ia menangis, badannya tersungkur lemas, airmatanya menetes dengan sangat lembut yang kemudian jatuh di lubang semut. Tetesan airmatanya membuat semut keluar dari lubang, sehingga semut-semut itu mengerumuni kakinya.  Sungguh, kekagumanku bertambah pada saat dia mengatakan, “Indah, seperti gadis India yang menari di pelataran padang pasir”. Padahal kakinya dalam keadaan di kerumuni semut dan dia sama sekali tidak mengusik sedikit pun semut yang berada di kakinya itu.

Kalau Aku gambarkan, pertemuanku dengan laki-laki itu seperti seekor anjing yang mengendus sebuah piano dan kemudain memainkannya. Yah, Aku jadi anjingnya dan dia jadi pianonya. Ketika aku tahu benda yang kuendus itu mengeluarkan bunyi yang indah, dengan gembira Aku langsung memainkannya. Tetapi, piano itu akan sangat menyedihkan jika Aku merusaknya dan tak bisa dimainkan lagi oleh siapa pun. Begitulah kira-kira gambarannya.

Sedikit informasi, dia seorang laki-laki, penampilannya gembel dengan rambut panjang yang menyerupai akar, berjenggot, berkumis,  hobbynya ngobrol dengan benda-benda disekelilingnya, termasuk juga manusia dan bertempat tinggal di sebuah pohon tua.          **

Mendengar kalimat itu, aku rasanya inginberenang di kolam susu. Sehingga dalam perjalanan ku ke rumah, kalimat laki-laki itu membentuk tanda tanya dalam benakku.

Sampailah aku di rumah, kemudian aku duduk di kursi milik almarhum kakek dan mencoba membunyikan huruf-huruf vokal, “A, I, U, E, O” dengan bertanya pada kesunyian, “bukan kah itu bunyi manusia?” tanyaku kepada kesunyian. Hasilnya, aku tidak mendapat jawaban dari pertanyaan laki-laki gila itu. Akhirnya aku akhiri bertanya pada kesunyian dan masuk ke dalam rumah. Di dalam rumah kebiasaanku tidak berubah yaitu, membaca buku hingga tertidur. Bahkan dulu aku pernah punya cita-cita ingin mati dalam keadaan membaca buku. 

Matahari terbit menandakan hari sudah mulai pagi. Sinarnya yang genit mencolek aku dari tidur yang mendengkur. Aku terbangun dan segera mandi untuk berangkat kuliah. Seperti biasa, Aku berangkat melintasi pohon tua, karena itu satu-satunya menuju jalan raya tempat di mana Aku menaiki angkot menuju kampus.

Terkejut Aku, pada saat melintasi jalan itu ternyata laki-laki yang kemarin masih berada di tempat yang sama. Sialnya lagi, laki-laki itu dalam keadaan telanjang dada serta mengucapkan selamat pagi kepada benda-benda disekelilingnya seperti, batu, pohon, akar, sungai, ayam, semut,  manusia yang lewat, dan aku. wajah sangat polos, tetapi kelihatan pintar.

Aku penasaran, tiba-tiba tubuhku tergerak penuh dengan kesadaran mendekati laki-laki gila itu. Memang pada awalnya Ia tidak mau aku dekati, tetapi aku mencoba mendekati dia lewat bahasa mata. Dan pada akhirnya aku berhasil, tapi dengan satu syarat yaitu, Aku harus membelikan dia sarapan. “Ya, aku belikan sarapan untukmu”, kataku padanya . Segeralah aku bergegas ke warung Bu Sami untuk membelikan sarapan dengan lauk seadanya.

Lalu aku bertanya, “Siapa namamu?” aku mencoba berbicara lewat bahasa lisan.

“Namaku, Bacus” sambil meledek.

Sial, pertanyaanku dianggap pertanyaan dagelan. Aku merespon lagi, “Serius siapa namamu?. Kalau tidak dijawab serius, aku tidak akan membelikan msarapan lagi buat kamu.”

Dia menjawab “Peace. Iya saya akan jawab. Namaku Wong Edan, karena orang-orang biasa memanggilku dengan sebutan itu.”

Aku merespon cepat, “Tuh kan bercanda lagi. Yasudah kalau memang jawabnya terus kaya gini besok-besok aku tidak mau membelikan makanan buat kamu lagi” dengan nada yang sedikit menghentak lantaran kesal.

Laki-laki itu langsung menjawab, “Serius, saya tidak bercanda”.

Aku bertanya lagi, “Masa wong edan kok kelihatannya pinter ?”

Dia menjawab “yaiyalah, saya pinter, wong saya laki-laki pertama di tempat ini yang bisa berbicara dengan benda-benda baik yang bernyawa maupun yang tak bernyawa.”

Aku merespon “ohhh, pantes saja kamu dianggap edan, wong kamu berbicara dengan segala benda-benda”.

Laki-laki itu menjawab lagi “Emang apa salahnya kalau saya berbicara dengan segala benda-benda?. Tidak ada yang salah dengan saya. Saya tidak bercanda, bahwa Saya bisa berbicara dengan bnyak benda-benda seperti angin, pohon, binatang, dan lain sebagainya. Saya bisa berbicara dengan mereka. Asal kamu tahu, semua benda yang ada di alam semesta ini dapat berbicara dengan manusia. Akan tetapi, manusia saja yang tidak pernah peka dengan hal-hal semacam itu, karena di dalam pikirannya hal tersebut adalah perbuatan orang gila”.

 Aku merespon jawabanya “Tetapi bagaimana cara kamu berbicara dengan banyak benda-benda itu?”

Dia menjawab “Di dalam ilmu sosial manusia hidup di dalam jaring-jaring simbol, maka dari itu manusia hidupnya digerakkan simbol-simbol yang di tafsirkan oleh manusia itu sendiri.. Artinya, Saya berbicara dengan mereka melalui simbol-simbol itu.”

Aku mejawab, ”Ohhh githu yah. Tapi, mengapa kamu tidak menjelaskan itu kepada masyarakat agar kamu tidak dianggap gila?”

Dia menjawab, “Saya sengaja tidak menjelaskannya. Karena di dalam pikiran masyarakat bahwa konsep gila memang seperti itu, pakaian gembel, tingkah aneh, atau pendek kata menyimpang dari ke umumman. Oleh sebab itu, saya malah mendeklarasikan diri saya kepada masyarakat bahwa saya gila. Karena setahu saya, belum ada orang gila yang mendeklasikan dirinya gila. Malah kebanyakan orang gila mendeklarasikan dirinya tidak gila. kamu tahu itu apa artinya ?. Yah, itu artinya bahwa saya tidak gila. Pendek kata, bahwa yang gila adalah masyarakat”

Aku menjawab dengan tertawa, “Hahaha kamu bener, aku baru sadar bahwa memang benar tidak ada orang gila yang menganggap dirinya gila” tertawa terbahak-bahak.

“Yaudah aku berinama kamu Strip aja ya” ujarku padanya

“Oke, tak masalah. Nama yang unik.” Jawabnya.

Ketika tawaku perlahan mulai redam, tiba-tiba aku dikejutkan dengan pertanyaan Strip “kamu manusia?” dia bertanya dengan sorot matanya yang sangat tajam.

Mendengar pertanyaannya itu, aku dibuat mengerutkan dahi. Dengan agak gemetar Aku jawab pertanyaan itu “Ya, aku manusia” jawabku terbatah-batah.

Kemudian dia bertanya lagi “Tapi kok ini bunyinya bukan bunyi manusia ?” Strip mengarahkan telinganya ke arah mulutku dengan sangat hikmat. 

Dalam hati, aku sungguh sangat gemetar, dan entah kenapa aku ingin kabur meninggalkan Strip yang menganggap dirinya gila itu. Akan tetapi, aku tahan niatan ku untuk kabur karena rasa penasaran terhadap kalimat-kalimatnya itu.

Akhirnya aku bertanya “Maksudnya apa ?”

Strip menjawab “Rennungkanlah!”.

Mendengar jawabannya, aku jadi kepikiran mengenai bunyi manusia. Aku pamit kepada Strip untuk berangkat ke kampus dan membawa oleh-oleh berupa pertanyaan yang mengoyak pikiran ku itu.

Waktu menunjukan pukul 08.30. Aku sampai kampus. Di kampus aku kaget melihat teman-teman yang menyambutku dengan kalimat, “Bro, tugas pak Asmuni sudah selesai?” dalam hati aku bergumam “Sialan!.. Ini sambutan macam apa”. Berhubung sambutannya istemewa semacam itu, Aku jadi jengkel untuk masuk kelas. Akhirnya aku putar balik dan nongkrong di warung Ari sambil ngrokok dan minum kopi.

Jam 11.00, Aku cabut dari warung Ari dan bergegas pulang. Di perjalanan pulang, seperti biasa aku lewat dari pohon tua yang berakar itu. Dan ternyata Strip masih ada, tetapi dia sedang tertidur pulas sambil mengigo menyebut “Dimana bunyi manusia?. aku ingin mencarinya”. Oleh sebab itu, aku tidak ingin mengganggunya dan bergegas pulang ke rumah.

**

Keesokkan harinya, tepatnya pagi, Aku bawakan sarapan dari rumah untuk Strip. “ Ini ada makan buat kamu”.

Strip menjawab “welehhhhh, terimakasih. Tapi maaf, saya tidak punya apa-apa untuk membayar makanan  ini.” dengan bahasa yang tertata dan halus.

Aku meresponnya “Itu untuk kamu, tak usah membayar”

Strip menjawab “terimakasih. Sebagai balasannya, saya punya hadiah buat kamu.”

“Hadiah apa?” jawabku penasaran.

“Hadiahnya permintaan” jawab Strip sambil tertawa.

“waduhhh. Apa permintaannya?” tanyaku penasaran.

Strip mennjawab “permintaannya adalah antarkan saya mencari bunyi manusia?”.

Aku bertanya “tapi dimana kita harus mencarinya?”

Strip menjawab “Entah”.

Berhubung aku juga penasaran, aku menyetujui permintaan Strip untuk mengantarnya mencari bunyi manusia.                                                                                                                         

Kata Strip “sekarang aja nyarinya mumpung masih pagi” ujarnya.

“boleh” ujarku.

Tapi Aku bingung harus mencari kemana. Aku memaksimalkan daya berfikirku dan sebuah gambaran kecil muncul dalam kepalaku. “Apakah yang dimaksud bunyi manusia itu adalah orang-orang yang berpendidikan?.” pikirku.

Akhirnya aku sarankan pada Strip, bahwa kita akan mencari bunyi manusia di kampus ku, barangkali saja disana kamu bisa menemukan bunyi manusia. Strip menjawab “Oke, siap” ujarnya.

”Tapi, kamu harus ganti pakian dulu agar tidak dianggap orang gila.” Ujarku

“Baiklah, saya turuti permintaanmu.” Ujar Strip dengan wajah yang sedikit agak terpaksa.

Aku lari, balik ke rumah untuk mengambilkan pakaian untuk Strip. Beberapa menit kemudian, aku serahkan pakainku kepada Strip.

“Ini, baju dan celananya dipakai” ujarku

“Baik, Tapi tunggu bentar” ujarnya sambil mengganti pakaiannya.

Sekitar 1 menit dia mengganti pakain, akhirnya kita berdua segera berangkat ke kampus untuk berpetualag mencari bunyi manusia....

 

  KAMPUS

PETUALANGAN pertama di mulai. Kita berangkat ke kampus sekitar jam 08.00, dan sampai di tempat sekitar jam 08.30 an. Setelah sampai di kampus yang pertama kita kunjungi bukanlah kelas, melainkan warung Ari. Di warung itu Aku membeli rokok sebungkus dan dua kopi hitam, satu buat Aku dan satunya buat Strip. Akan tetapi, dia tidak bereaksi sedikit pun, ia hanya terdiam memandangi mahasiswa yang bolak-balik dihadapannya. Dari matanya, aku melihat seperti ada kegelisahan pada wajahnya saat mahasiswa menatapnya. Pendek kata, dia melakukan kontak mata antara dirinya denga para mahasiswa.  Aku bertanya-tanya.

Di dalam kebisingan mahasiswa, tiba-tiba Strip  tertawa “Hahaha Ma Ha Sis Wa”. Dengan liar dan sangat lantang, tertawanya panjang dan menjadi tontonan bagi para mahasiswa yang sedang nongkrong dan membeli jajanan. Daripada bikin malu, Aku tarik aja dia dan kubawa ke ruang kelas. “Maaf, ini temanku. Memang dia agak-agak githu.. ”. Ujarku meminta maaf pada teman-teman mahasiswa.

Kita berdua berjalan menuju ruang kelas, akan tetapi di tengah halaman kampus kita terhenti di perpustakaan. Strip berkata kepadaku, “bolehkah saya ziarah dulu ke dalam perpustakaan yang di depan itu?” kaliamat yang berbentuk pemintaan.

Aku jawab “Tidak, nanti kamu bikin malu lagi seperti di warung tadi”. Ujarku menolak

 Strip menjawab “Tidak, Saya janji. Saya hanya ingin mengenang peradaban dan silaturahmi dengan para tokoh-tokoh dunia baik yang masih ada maupun yang sudah tiada.”. ujarnya.

Aku menjawab “Oke. Ayo kita masuk” ujarku.

Pas di dalam perpustakaan, Strip terdiam dan matanya terbelalak dengan wajah yang penuh dengan kegelisahan. Strip berkata kepadaku “Kok sepi. Tidak ada bunyi. Yang ada hanyalah sekumpulan rayap yang sedang membaca buku”. “Upsssss” kataku yang hampir tertawa. Padahal di perpustakaan itu banyak mahasiswa yang sedang membaca buku. Tapi kok mengapa dia berkata yang sebaliknya, begitulah pertanyaan di dalam hatiku.

Tiba-tiba Strip berbicara sendiri “rayap-rayap itu tidak sedang mengenang peradaban, melainkan mereka sedang mengusili peradaban. Bedebah !”. dengan nada menghentak tapi volumenya kecil. Oleh sebab itu yang lain tidak mndengar ucapanya.

 Akhirnya Strip mengajakku keluar, karena menurutnya di perpustakaan tersebut baunya tidak sedap. Kita berdua keluar dari perpustakaan dan melanjutkan perjalanan.

Tujuan selanjutnya ke ruangan kampus, dengan harapan Strip bisa menemukan bunyi manusia. Akhirnya kita berjalan masuk ruang kampus dari kelas-kekelas. Dan sampai di ruangan dosen, Aku bertanya kepadanya “Apa kamu mendengar bunyi manusia di ruangan dosen ini?” Strip menjawab hanya menggelengkan kepalanya.

 Akhirnya kita berdua keluar dari gedung kampus dan kembali kewarung Ari untuk melanjutkan minum kopi. Sesampai di warung, kebetulan Aku bertemu dengan Anam dan Andrian untuk mengajak aku ikut diskusi “Bro, nanti sore kamu ikut diskusi yah” ujar Anam dan Andrian.

 “Emang nanti sore ada diskusi apa?” tanyaku.

 “Diskusi di himpunanan?” ujar Anam dan Andrian.

“Temanya : Peran Aktif Mahasiswa Dalam Masyarakat”. Oh yasudah nanti sore saya ikut diskusi itu, tapi nanti aku ajak teman yah.

Aku dan Strip agak lama di warung Ari melakukan pembicaraan yang produktif dengan bahan bakar rokok dan kopi hitam yang tiap hari biasa aku pesan.

Suara adzan terdengar menunjukan waktu sholat asyar. kita berdua segera hengkang dari warung Ari dan menuju ke tempat diskusi di himpunan. Tempatnya di aula atas, dekat ruangan dosen. Pas sampai di tempat diskusi, orang-orang baru sebagian yang datang. Kita masih nunggu, yah menunggu yang lainnya. Beberapa menit menunggu, temen-temen mahasiswa yang lainnya datang dan akhirnya diskusi segera dimulai.

Moderator dan pemateri duduk di tengah dilingkari oleh mahasiswa lainnya. Pertama-tama moderator memperkenalkan pemateri dan temanya.

Moderator “asalamu’alaikum wr.wb. Perkenalkan nama saya Sandra. Saya duduk di tengah temen-temen sebagai moderator untuk menemani pemateri dan memandu jalannya diskusi ini.”

“Perkenalkan, pemateri yang tampan ini bernama Bang Ahmad ia semester 6 dari jurusan kebebasan.” Audien ketawa “hahaha”. Memang Bang Ahmad sering merendah, tapi Strip mengatakan, dia pengen dipuji. Bang Ahmad adalah aktivis. Dia sering membela masyarakat yang kontra dengan pemerintah. Ia hobbynya demo sama orasi.

 “Langsung saja, diskusi ini kita mulai dengan tema: peran aktif mahasiswa dalam masyarakat. Kepada pemateri dipersilahkan menyampaikan materinya.”

Bang Ahmad “aslamu’alaikum wr.wb. temen-temen sehat?”

Audien (mahasiswa) “alhamdulilah sehat, Bang.”

Bang Ahmad  “Syukur deh kalau sehat. Oke, tema diskusi kita hari ini adalah peran aktif Mahasiswa dalam masyarakat. Tugas mahasiswa selain penelitian, salah satunya adalah pengabdian diri di dalam masyarakat. Jadi, kita sebagai mahasiswa harus mengabdikan diri pada masyarakat, entah apa pun resikonya yang terpenting kita harus mengabdi di dalam masyarakat. Kemarin saya sama teman-teman aktivis demo menentang kebijakan pemerintah mengenai lahan yang diklaim oleh pemerintah, padahal itu bukan milik pemerintah. Masyarakatnya digusur paksa. Kasian sekali. Oleh sebab itu, saya dan teman-teman melakukan aksi menentang kebijakan pemerintah. Akan tetapi, pemerintah acuh pada aksi kita. Makanya, temen-temen mahasiswa disini ayo kita sama-sama jadi aktivis, jangan cuma bisa baca buku. Mari lihat realitas, jangan selalu terkukung pada imajinasi, itu buruk.

Mari kita sama-sama bergerak melindungi masyarakat dari ketidakadilalan yang dibuat oleh pemerintah. Angkat tangan kirinya yang bersedia menjadi aktivis untuk membela masyarakat?. “

Mahasiswa :“Saya, Bang !” sambil mengangkat tangan kiri.

Bang Ahmad “ Salam mahasiswa!” sambil mengangkat tangan kiri yang diikuti para mahasiswa.

Aku bertanya kepada Strip, “Apakah kamu di tempat diskusi ini mendengar bunyi manusia ?” Strip menjawab “Tidak, malah di tempat ini aku mendengar bunyi kecoa. Ayo kita pergi saja sebelum kecoa itu mengencingi telinga kita”. Mendengar jawaban itu, aku antara kaget dan tertawa. Akhirnya kita berdua pergi dari tempat diskusi.

Dalam perjalanan keluar dari ruangan kampus, aku penasar dan melontarkan pertanyaan padanya.  “Mengapa kamu tadi menganggap mahasiswa yang diskusi disana adalah kecoa?. Padahal niat mereka bagus loh untuk membela masyarakat dari ketidakadilan yang di buat oleh pemerintah.”

Strip menjawab “Setiap manusia terlahir sudah menjadi aktivis. Oleh sebab itu, tidak perlu ada pendaftaran menjadi aktivis, melainkan kita hanya perlu kepekaan terhadap realitas sosial. Jadi aktivis itu tidak mesti kroyokan. Dasar dari aktivis adalah pikiran, hati, dan tindakkan. Setiap individu manusia memiliki dasar itu, oleh sebab itu kita bisa menjadi aktivis secara individu dan tidak perlu kroyokan. Coba seandainya Bang Ahmad tidak merangsang mereka untuk jadi aktivis. Apakah mereka mau menjadi aktivis? Tidak. Karena mereka hanya ingin mencari sensasi saja, dan sebenarnya tidak memiliki kepekaan terhadap masyarakat sedikitpun. Saya jelaskan, Aktivis itu tindakan atau respon seseorang kepada masyarakat untuk melakukan suatu perubahan. Kata Aristoteles, tindakan itu ada poesis dan praxis. Praxis adalah tindakan untuk dirinya sendiri, akan tetapi praxis yang paling baik ialah berpartisipasi di dalam komunitas atau masyarakat. Artinya, ia melakukan tindakan baik di dalam masyarakat atas dasar dirinya sendiri, karena ketika ‘diri’  bahagia pada saat melakukan tindakan baik di dalam masyarakat, maka ‘diri’ melakukan hal itu. berbeda dengan poesis yang lebih mengarah pada hasil dari tindakan. Misalnya, tindakkan kamu membangun rumah, karena kamu ingin memperoleh rumah. Nah, menurut saya, apa yang tadi mereka lakukan adalah tindakkan poesis dan bukannya praxis. Tindakkan praxis akan mengarahkan kita kepada kebahagian sejati. Itu kata filsuf.”

Aku merespon jawaban yang hebat itu “Ohhhh, githu yah. Aku baru tahu” takjubku kepadanya.

Strip meneruskan pembicaraanya “Bang Ahmad itu arogan soal perkataannya bahwa membaca buku itu buruk, dan membaca realiatas yang lebih baik. Memang realitas itu penting, akan tetapi jangan menghakimi imajinasi, sebab keduanya tidak bisa dipisahkan dari peradaban. Penemuan-penemuan hebat, itu tidaklah lepas dari imajinasi, begitu pun juga tidak terlepas dari realitas. Keduanya saling melengkapi membentuk romantisme peradaban. Nah, salah satu fungsinya membaca buku itu adalah mengaktifkan imajinasi, oleh sebab itu tidak baik melarang orang membaca buku. Karena sama saja jika ia melarang orang untuk membaca buku, sama halnya dia melarang orang untuk berimajinasi.”

Mendengar argumennya, aku hanya bengong dan takjub.

Sesampai di depan gerbang kampus, aku berfikir keras untuk menemukan bunyi manusia. Dalam hati aku bergumam “Harus kemana lagi kita mencari bunyi manusia itu. Di tempat yang berpendidikan kita tidak menemukan bunyi manusia itu. Lantas harus cari dimana lagi??”

Aku berfikir, “Kalau di tempat yang berpendidikan tidak ditemukan, mungkin kah di tempat yang penuh dengan kebisingan ??. Tapi dimana, tanyaku dalam hati?” “Emmmmmmmmmmmmmmmmmm..” sambil berfikir keras, dan kutemukan tempat yang paling bising yaitu PASAR.

Tetapi, sekarang matahari sedang menunjukan rasa malunya.. Aku bilang pada Strip, “besok kita ke pasar, barangkali di pasar ada bunyi manusia. Tapi, kita harus berangkat pagi-pagi.” Ujarku padanya.

 “Oke, siap” ujarnya.

Aku katakan Strip “Seperti biasa, besok kita bertemu di  pohon tua tempatmu itu.”

“Oke”  ujarnya.

Akhirnya kita berdua pulang ke tempat masing-masing.

 

 

 DI PASAR

AYAM jantan menunjukan kejantanannya. Kukuruyukkkkkkkk bunyinya seperti itu. Aku kenal ayam jantan itu. Yah, ayam itu biasa Aku adu dengan ayam jantanku. Ayam jantan itu hanya ayam jantan pecundang yang tidak bisa mengalahkan ayam jantanku. Ayam jantan itu lari terbirit-birit pada saat ayam jantanku memukul telak ayam jantan yang kukuruyuk itu.

 Aku terbangun, cuci muka tanpa mandi. karena melihat jam yang ternyata sudah menunjukan pukul 06.00 pagi. Aku resah, karena aku memiliki janji dengan Strip. Aku keluar dari rumah dan melangkah buru-buru menuju ke pohon tua untuk menemuinya segera.

Aku sampai di tempatnya, dan sepertinya Strip sedang menjalankan ritual pagi. Aku menunggunya, sembari Strip menyelesaikan ritualnya. Setelah ritualnya selesai, kita segera bergegas ke pasar untuk melanjutkan petualangan mencari bunyi manusia.

Jam 06.30 kita sampai di pasar. Kita masuk ke dalam pasar dan mengelilinginya. Aku senang di pasar, karena banyak pedagang yang menjajakan dagangannya. Di pasar aku seperti masuk dalam lorong sejarah. Pasar menurut sejarah sudah ada sejak jaman dahulu kala, tepatnya sebelum masehi.

Di Mesir yang notabennya adalah pertanian juga melakukan perdagangan. Perdagangan terbesar dan termakmur di Yunani adalah di Pulau Kreta. Dimana perdagangan tersebut menggunakan sistem barter dan melakukan transaksinya di perairan atau dikenal dengan nama Perdagangan Bahari. Salah satunya Mesir yang melakukan kerjasama ekonomi dengan Pulau Kreta. Bukan hanya itu saja, orang Cina terkenal dengan bakat dagangnya. Padahal di Cina kuno pedagang stratifikasi sosialnya paling rendah. Yah, di Cina ada empat stratifikasi sosial yaitu; sarjana, petani, pekerja seni, dan yang terakhir adalah pedagang. Petani lebih ditinggikan stratifikasi sosialnya dibandingkan pedagang. Alasannya sederhana, karena menurut mereka bahwa petani lebih setia pada kerajaan daripada pedagang. Petani kalau kerajaan sedang diserang, mereka tidak meninggalkan kerajaan sebab harta benda milik petani bersifat menetap. Berbeda dengan pedagang yang harta bendanya bisa dipindah-pindahkan. Oleh sebab itu jika kerajaan diserang pedagang bisa melarikan diri dari kerajaan. Makanya, Cina kuno menempatkan stratifikasi sosial pedagang di tempat yang paling rendah.

Di pasar yang aku kunjungi itu, ada yang dagang sayuran, ada yang dagang rempah-rempah, ada yang dagang daging ayam dan lain sebagainya. Ramai dan menyenangkan, terutama penghuninya ibu-ibu dari Jawa dan sebagian lagi dari keturunan Tionghoa.

 Di tempat penjual kue, kita berhenti untuk membeli kue dan teh hangat untuk mengganjal perut yang sudah mulai keroncongan. Aku beli kue roket 6 dan lemper 6 sama gorengan 4, dan kita makan di warung kue itu. Tiba-tiba di depan warung tempat kita makan terlihat ada keributan, yah, ibu-ibu paruh baya menangis karena kecopetan. Bukan hanya itu saja, kita juga melihat ibu-ibu yang sedang memarahi pedagang, karena menurutnya ia sudah dicurangi oleh pedagang tersebut dengan cara mengurangi timbangan. Uhhhhh, rame. Dari keramaian itu, aku menyelipkan pertanyaan kepada Strip, “Apakah kamu mendengar bunyi manusia di tempat ini ?”. ujarku

Strip menjawab “Tidak, malah disini saya tidak mendengar apa-apa, dan serasa telinga saya tidak berfungsi”

 Aku terkulai mendengar jawaban dia. Aku hampir putus asa. Sebenarnya apa yang dimaksud bunyi manusia itu gumamku dalam hati. Kemarin di kampus tidak mendengar bunyi manusia, sekarang dikebisingan yang hakiki juga tidak mendengar bunyi manusia. Kira-kira apa yah yang dimaksudnya dengan bunyi manusia itu. Aku berfikir keras sambil menyeruput teh anget. “Mungkin kah, kalau di tempat pendidikan tidak ditemukan dan dikeramain juga tidak ditemukan dan berhubung tadi aku melihat orang yang kecopetan dan ibu-ibu yang dicurangi oleh pedagang, apakah mungkin bunyi manusia itu ada ditempat orang-orang baik. Tapi dimana?” Aku berfikir keras. “Emmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmm..” cling ada lampu di kepalaku. “Yah, tempat ibadah, aku yakin disitu kita pasti menemukan bunyi manusia. Karena hanya di tempat ibadahlah tempat dimana orang-orang baik berada.”

Akhirnya aku ngomong dengan Strip, “Nanti habis selesai makan kita pergi ke tempat ibadah yah.” ujarku

Strip menjawab, “Jangan. Di tempat ibadah saya pernah diusir” jawabnya dengan menghentak.

“Kali ini kamu tidak akan diusir. Toh, kamu sendiri yang pernah bilang bahwa manusia hanya melihat dari sisi penafsiran kebudayaan. Sekarang kamu tidak menggunakan pakaian yang dekil and the kumal lagi pasti tidak akan di usir. Dan aku yakin sekali, di tempat ibadah kita pasti menemukan bunyi manusia.” ujarku

 “Iya.” saya ikut kamu aja” jawabnya.

Aku kasihan melihat Strip yang wajahnya sudah mulai memupucat. Oleh sebab itu, aku mencoba terus menerus memberikan harapan kepadanya bahwa kita pasti bisa menemukan bunyi manusia. “Sebelum kamu menemukan bunyi manusia, aku tidak akan berhenti menemanimu untuk mencari bunyi tersebut.”

Strip menjawab “terimaksih.”

Aku menanam harapan kepadanya, karena aku percaya seperti yang dikatakan Cephalus bahwa harapan adalah hal yang terkuat untuk mempengaruhi jiwa manusia yang gelisah. Maka dari itu, aku mencoba mempengaruhinya dengan harapan-harapan.

Setelah berbincang dengan Strip, aku bertanya kepada pedagang “Bu, kalau tempat ibadah yang dekat dari sini dimana yah?” tanyaku

 “Masjid?” tanya ibu itu balik

“Iya. Tapi selain masjid ada lagi tidak, misalnya kaya gereja, atau vihara githu?” tanyaku pada ibu pedagang.

 “Oh, ada, Dek. Kalau masjid itu agak jauh. Dari pasar, lurus terus ada perkampungan masuk, nanti disitu ada Masjid. Tapi, kalau Adek lurus terus itu nanti nembusnya ke sawah. Nah, kalau mau ke Gereja, dari pasar belok kiri, nanti ada Bank BRI lurus terus disitu nanti Adek ketemu Gereja. Kalau mau ke Vihara, dari Gereja masih lurus terus ada perempatan nanti belok kanan, dan disitu nanti Adek ketemu Vihara”. Jawab ibu pedagang itu dengan detail.

“Oh yasudah, Bu, terimakasih.” Ucapku kepada ibu pedagang itu.

 “Oh iya, ini jadi berapa Bu makanannya ?” tanyaku ingin membayar.

 “Jadi, total semuanya sekitar 15.000 rupiah.” Jawab Ibu pedagang itu.

Setelah aku membayar jajananku, kemudian kita pergi dari pasar untuk mencari tempat ibadah yang ditunjukan oleh ibu-ibu pedagang tadi.

Kita berjalan keluar pasar, ada belokan ke kiri, aku belok. Aku ingat kata ibu pedagang itu setelah belok kiri lurus terus nanti ketemu gereja. Gereja ketemu, kita masuk. Kebetulan sekali sedang ada orang beribadah. Aku baru sadar bahwa sekarang itu hari minggu. Padahal aku pikir hari rabu. Suatu keberuntungan buat aku dan Strip.  Kita masuk ikut ngumpul bersama jama’ah gereja setempat dan mendengarkan Pendeta menyampaikan khotbahnya. Di pertengahan penyampaiannya, Aku tanyakan sesuatu pada Strip “Adakah bunyi manusia di tempat ini?” tanyaku pelan.

Strip menjawab “tidak.” Dengan nada lesu dan wajah yang semakin pucat.

Akhirnya kita keluar dari gereja dan pergi ke Vihara, setelah ke Vihara kita pergi ke Masjid, tetapi semuanya sama jawabannya yaitu tidak ada bunyi manusia.

Suasana menjadi sunyi. Tiba-tiba dia menangis, airmatanya tumpah dan dia kejang-kejang serta bibirnya mengeluarkan percikan suara kecil “Aku ingin mendengar bunyi manusia” begitu saja diulang-ulang.

Aku panik, langsung Aku lari, putar balik ke masjid dan menanyakan tempat puskesmas yang terdekat kepada ibu-ibu jama’ah masjid. Kata salah satu ibu jama’ah yang raut wajahnya judes menjawab “Dari sini adek lurus aja nanti ada persawahan, masih lurus, nanti ada balai desa. Nah, disitu ada puskesmas di dekat balai desa. Langsung aku mengucapkan terimakasih dan segera lari menemui dia yangsedang kejang-kejang. Tanpa basa-basi aku gendong dia sambil lari kecil menuju ke puskesmas yang ditunjukan ibu-ibu jama’ah masjid tadi. Di tengah perjalanan, aku lupa, ternyata ini hari minggu. Dan puskesmas itu tutup kalau hari minggu. Beruntung di tengah pesawahan Strip menghentikanku dan memintaku untuk menurunkannya dari punggungku. “Stop” hentaknya. Strip mendengar bunyi yang sangat lembut. Ini bukan bunyi padi yang digerakkan oleh angin atau suara burung yang sombong yang memamerkan suaranya. Ini bunyi yang sangat lembut. Kelembutannya seperti suara seruling atau suara mata air. Strip ingin mencari sumber bunyi itu. “Dimanakah kira-kira sumber bunyi itu” katanya.  Ayo kita mencarinya. Aku ikut kamu aja. Akhirnya, setelah mencari begitu lama sumber bunyi itu, bunyi itu dapat ditemukan. Akan tetapi, aku terkejut dengan apa yang aku temukan itu. Ternyata eh ternyata, bunyi yang selama ini dicari-cari oleh Strip itu adalah bunyi seorang petani tua yang sedang membacakan puisi untuk istrinya.

            Setelah menemukan bunyi itu Strip menghilang dan tubuh menyatu dengan bunyi bersama semesta ini......

 

Ikuti tulisan menarik muhammad syaifullah lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler