x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Selasa, 16 November 2021 10:44 WIB

Etika Politik yang Tak Dipedulikan

Ketidakpedulian pada nilai-nilai mencerminkan bahwa elite kekuasaan tidak menaruh perhatian pada ikhtiar membangun demokrasi yang sehat dan adil. Apabila nilai pragmatis dan permisif yang diwariskan, maka demokrasi kita akan berjalan di atas fondasi yang rapuh dan mudah koyak oleh hasrat kuasa dan harta.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Demokrasi yang sehat dan adil bukanlah sekedar perkara menang dan kalah dalam pemilihan umum—presiden maupun legislatif. Bahkan, lebih penting dan lebih berharga dari kemenangan suara ialah proses yang dilalui untuk mencapai kemenangan. Bila prosesnya sehat dan adil, maka itulah kemenangan yang lebih berharga ketimbang terpilihnya seorang politisi.

Begitu pula dalam hal penyusunan aturan, termasuk undang-undang. Politisi memang memperoleh mandat politik dari rakyat untuk menyusun aturan. Menjadi penting bagi politisi untuk selalu mengingat bahwa aturan itu dibuat untuk menyejahterakan hidup rakyat banyak secara adil. Aturan dibuat bukan untuk memanjakan sebagian kelompok, sebab itu sama saja dengan mengingkari amanat yang diberikan rakyat kepada politisi. Prosesnya pun mesti melibatkan rakyat banyak, bukan kelompok rakyat yang dipilih karena setuju dan mendukung kepentingan politisi saja.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Proses politik yang sehat dan adil itulah yang menjadikan demokrasi tumbuh menuju kematangannya. Manakala politisi kita mengabaikan proses, maka segala cara akan ditempuh untuk memastikan kemenangan. Aturan seperti presidential threshold, misalnya, berpotensi menjadi alat untuk merintangi calon-calon berpotensi sehingga tidak bisa maju ke gelanggang kompetisi pilpres. Maknanya, calon kompetitor ditumbangkan lebih awal, bahkan sebelum pertandingan berlangsung.

Bila demokrasi diartikan sebagai jalan untuk menang dan berkuasa semata, maka demokrasi kita akan terombang-ambing oleh kepentingan jangka pendek maupun kepentingan kelompok. Elite tanpa rasa malu mempraktekkan politik dinasti dan kekerabatan. Mereka mengatur agar anak bisa maju dan menang dalam pemilihan, begitu pula kerabat, suami atau isteri. Bagi mereka, berpolitik ya seperti itu, asalkan berhasil meraih suara terbanyak, maka kemenangan itu mereka pandang oke-oke saja. Tak peduli bahwa kerabat memperoleh political advantage karena dirinya sedang menjabat.

Politik kekerabatan semakin menghadapi persoalan manakala kualitas kerabat segi kompetensi maupun karakter tidak memadai untuk menjalani peran kepemimpinan. Rakyat dirugikan oleh praktik pengarbitan seseorang karena kerabatnya sedang menjabat: ayah/ibu/paman/bibi. Mereka memanfaatkan keuntungan politik tanpa mempedulikan bahwa praktik itu tidak sehat bagi perkembangan demokrasi, dan karena itu merugikan rakyat. Praktik tersebut bukan merupakan teladan yang baik bagi kepemimpinan di masa mendatang.

Etika [fatsun] berpolitik tidak menjadi perhatian para politisi kita, sehingga praktik politik kekerabatan dianggap lumrah. Begitu pula, adanya konflik kepentingan juga dianggap jamak—politisi yang memanfaatkan posisinya demi kepentingan bisnisnya sendiri, maupun temannya, bisnis kerabatnya. Elite politik bersikap masa bodoh dengan nilai-nilai yang penting untuk disemaikan agar demokrasi kita sehat dan adil.

Bung Hatta telah memberikan contoh bagaimana ia berusaha keras menghindari konflik kepentingan: ketika pemerintah memutuskan nilai rupiah dipangkas hingga separonya, isterinya pun tidak diberitahu sebelumnya. Bu Rahmi Hatta mengetahui pemangkasan nilai rupiah dari pengumuman resmi pemerintah. Bung Hatta tidak memberi bocoran informasi, begitu pula Menkeu Syafruddin Prawiranegara tidak membocorkan informasi itu kepada keluarganya. Bahkan informasi pun mereka tidak membagikan kepada keluarga dan kerabat, apa lagi memberi kemudahan dalam berbisnis.

Di masa kini, jagat kenegaraan kita menghadapi tantangan seperti ini: seberapa besar elite kekuasaan—di pemerintahan, parlemen, partai politik, maupun institusi lain—menaruh kepedulian terhadap nilai-nilai etika yang menjadi rambu-rambu praktik politik. Bung Hatta memberi keteladanan tentang bagaimana etika seharusnya menjadi rambu-rambu yang mengatur perilaku berpolitik. Aturan tidak dapat selalu diandalkan, karena penyusun aturan pada dasarnya adalah pelakunya sekaligus—politisi, baik yang duduk di pemerintahan maupun di parlemen.

Ketidakpedulian pada nilai-nilai mencerminkan bahwa elite kekuasaan tidak menaruh perhatian pada ikhtiar membangun demokrasi yang sehat dan adil. Mereka tidak peduli nilai-nilai seperti apa yang hendak mereka wariskan kepada generasi berikutnya agar demokrasi kita semakin kukuh dan matang. Apabila nilai pragmatis dan permisif yang diwariskan melalui contoh-contoh yang mereka perlihatkan dengan gamblang, maka demokrasi kita akan berjalan di atas fondasi yang rapuh dan mudah koyak oleh hasrat kuasa dan harta. >>

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB

Terkini

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB