x

cover cerpen Ketika Istriku Pergi

Iklan

Eko Hartono

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 9 November 2021

Selasa, 16 November 2021 08:19 WIB

Ketika Istriku Pergi

Kisah pasangan suami istri muda yang berasal dari latar belakang status sosial dan ekonomi berbeda, namun berusaha menyatukan diri dalam cinta

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

            Pulang dari kerja aku mendapati rumah dalam keadaan sepi. Istriku tidak ada. Kucari di belakang, juga tidak ada. Aku hanya mendapati makan malam yang sudah terhidang di atas meja dan ditutup tudung saji. Saat kubuka, sudah tersedia nasi dan lauk ayam bakar lengkap dengan sayur kare dan sambal. Hm, menu spesial yang jarang-jarang kami nikmati.

            Tapi di sebelah hidangan spesial itu juga tergeletak secarik kertas tulisan tangan istriku. Isinya singkat saja: Mas, aku pulang ke rumah ibu. Tak perlu dijemput…Aku terduduk lemas di kursi sambil menghela napas panjang. Akhirnya… Rani kembali juga ke rumah orang tuanya, batinku diliputi rasa sesak yang tiba-tiba memekat dalam dada.

            Sudah kuduga, Rani tak sanggup menghadapi semua ini. Ya. Apa yang pernah kukhawatirkan terjadi. Rani tak tahan hidup dalam lilitan kesulitan yang kami jalani. Akhirnya dia menyadari  bahwa hidup dalam serba keterbatasan dan kekurangan bukanlah pilihan terbaik. Dia bisa melihat dan merasakan sendiri bagaimana kehidupannya sekarang lalu membandingkan dengan kehidupannya dulu. Dan dia telah mengambil keputusan untuk kembali pada kehidupannya dulu!

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

            Aku hanya bisa menelan rasa kelu. Bibirku menyungging kecut saat memandangi hidangan spesial yang tersedia di atas meja. Mungkin semua ini sengaja disajikan Rani sebagai tanda perpisahan. Setelah enam bulan mengarungi bahtera rumah tangga, semuanya harus berakhir seperti ini. Aku tak tahu, apa yang mesti kulakukan. Menelepon istriku dan meminta penjelasan? Kurasa percuma. Rani telah mengawali semua ini dan dia pula yang mengakhiri!

            Malam ini, terpaksa aku harus tidur sendirian berteman sepi. Sepanjang malam aku tak sanggup memejamkan mata. Kutelusuri kembali kenangan silam yang telah membawaku pada lakon hidup seperti ini.

            Rani adalah putri satu-satunya dalam keluarga kaya dan terpandang. Ayahnya pensiunan Jenderal bintang tiga. Keempat saudaranya menjadi orang-orang penting. Ada yang duduk di pemerintahan dan juga menjadi pengusaha. Keluarganya sangat mengharapkan Rani mendapatkan jodoh yang selevel. Tapi kenyataannya, Rani malah jatuh cinta pada laki-laki kere dan hanya berstatus karyawan kecil macam diriku. Kontan, keluarganya murka!

            Meski aku  juga mencintai Rani, tapi aku tak berani terlalu berharap. Aku hanya menurut saja apa kemauan Rani. Keluarganya tak membiarkan hubunganku dengan Rani. Beberapa kali aku menghadapi teror dan ancaman yang dikirim keluarga Rani melalui para tukang pukul. Tapi aku tetap bergeming. Aku mencintai Rani setulus hati tanpa pamrih apa-apa. Aku tak mengharap hartanya atau nama besar keluarganya. Aku bukan tipe manusia parasit!

            Akhirnya, setelah melalui perjuangan berliku, keluarganya merestui hubungan kami. Rani diperkenankan menikah denganku, tapi dengan syarat dia tidak akan pernah mendapat bantuan apa-apa dari keluarganya. Aku sendiri juga mengingatkan pada Rani, apa pun keadaan yang dia hadapi selama hidup bersamaku, dia tidak boleh mengeluh, menyesal, apalagi kembali pada keluarganya. Rani menyanggupi syarat yang kuajukan.

            Begitulah. Akhirnya kami menikah dengan cara sederhana. Tanpa pesta dan acara bulan madu. Rani kuboyong ke rumah kontrakanku yang kecil di tengah perkampungan padat. Rani memulai tugas barunya sebagai ibu rumah tangga. Dia mengerjakan pekerjaan rumah tangga sebagaimana umumnya; memasak, mencuci, mengepel, menyapu, dan lain sebagainya. Di luar dugaanku, dia ternyata bisa mengerjakan semua itu dengan baik. Aku kagum dibuatnya.

            Selama hidup bersamaku, dia tak pernah mengeluh dan merajuk. Dia mampu mengelola uang belanja yang kuberikan meski pas-pasan. Dia mampu mengikuti cara hidupku yang sederhana. Dia mengaku bahagia hidup bersamaku, meski dengan kondisi serba kekurangan. Melihat Rani tampak bahagia dengan kehidupan yang dijalaninya, hati keluarganya lama-lama jadi luluh. Sesekali ibunya datang menengoknya sambil membawa buah tangan.

            Aku tak bisa melarang ibu mertuaku datang ke rumah. Bagiku itu justru sebagai pertanda baik, artinya mereka mulai bisa menerima perkawinan kami. Hanya saja, setelah sering kedatangan ibunya, pemikiran Rani tampaknya mulai berubah. Dia yang tadinya begitu teguh pada pendiriannya tidak akan menghiba pada bantuan keluarganya dan akan mengikuti jalan hidupku meski dalam kemiskinan sekalipun, tiba-tiba mengendur.

            Suatu malam saat kami rebahan di ranjang sambil berpelukan, Rani mengutarakan suatu gagasan padaku.

            “Bagaimana seandainya kalau mas pindah kerja?” cetusnya mula-mula.

            “Maksudmu?” tanyaku tak mengerti.

            “Ya, bila ada tawaran pekerjaan yang lebih menarik dan memberi gaji lebih tinggi, apa salahnya mas pindah ke sana?”

            “Rupanya kamu sudah mulai merasa susah karena gaji yang selama ini kuberikan kurang, ya?”

            “Bukan begitu, Mas. Tapi yang namanya orang hidup itu kan mesti ada kemajuan. Apa mas tidak punya keinginan untuk meningkatkan karir?” 

            “Ya, ingin, Ran. Di tempat kerjaku kan sudah ada jenjang karir. Kalau aku tekun dan rajin bekerja, nanti lama-lama juga diangkat ke jabatan lebih tinggi...”

            “Tapi kalau ada tawaran pekerjaan lebih baik di tempat lain, apa salahnya pindah?”

            “Memang ada tawaran pekerjaan yang lebih baik dari pekerjaanku sekarang?”

            “Ada, Mas! Kebetulan kemarin ibu bilang, Mas Dodi membutuhkan tenaga marketing baru di perusahaannya…,” Belum selesai Rani menuntaskan ucapannya aku langsung menukas.

            “Tidak, Ran! Aku tidak akan pernah menerima pekerjaan itu!” tegasku.

            “Tapi, Mas…?”

            “Sekali tidak tetap tidak! Bukankah kita sudah sepakat, seberat apa pun keadaan yang kita hadapi, tidak sekali-kali kita akan mengemis bantuan pada keluargamu!” tandasku tajam.

            Rani terdiam. Dia lalu tak berani berkata apa-apa lagi.

            Tapi sejak itu dia menjadi lebih pendiam. Aku tak peduli, dia tersinggung atau kecewa. Aku memang sudah menegaskan sikapku. Aku tak mau menerima bantuan apa pun dari keluarga Rani. Aku tak mau mengharap belas kasihan mereka. Aku justru heran dengan sikap Rani. Dulu, dialah yang paling keras menentang keluarganya. Bahkan dengan gagah berani dia menyatakan tidak takut akan dikucilkan keluarganya, apalagi sampai dicoret dari daftar ahli waris!

            Tapi sekarang… hatinya tiba-tiba berbalik seratus delapanpuluh derajat. Mungkinkah karena kesulitan demi kesulitan selama hidup bersamaku membuat matanya jadi terbuka. Selama ini dia telah terbiasa hidup dalam limpahan materi dan fasilitas mewah. Dia menemukan gairah untuk menjalani hidup sepertiku karena dianggapnya itu sebuah tantangan. Namun setelah benar-benar dijalani, dia baru merasakan perbedaan yang membuatnya harus merevisi pandangan!

            Entah, karena merasa kecewa aku tak memenuhi permintaannya itu, Rani lalu memutuskan pergi dari rumah. Pulang ke rumah orang tuanya. Tiba-tiba aku jadi menyesali ucapanku kemarin. Aku terlalu angkuh dan egois. Maksud istriku menyampaikan hal itu mungkin baik. Dia ingin membantuku agar mampu meningkatkan taraf hidup. Apa salahnya menerima tawaran pekerjaan dari saudaranya, kalau memang aku mampu. Ini bukan soal menegakkan harga diri atau belas kasihan, tapi sebuah kesempatan tidak ada salahnya dicoba!

            Tiba-tiba ada perasaan kosong menyergapku. Baru beberapa saat ditinggal pergi istri membuatku sangat kesepian. Ingin sekali kupencet keypad handphone untuk menghubunginya, tapi hatiku ragu. Mungkin saat ini istriku masih marah dan tak mau menerima telepon dariku. Keluarganya mungkin juga sudah lama menunggu kesempatan ini, melihat kegagalanku. Jika sampai aku datang ke rumah itu untuk menjemput istriku, maka sama saja aku merendahkan harga diriku di hadapan mereka.

            Oh, tidak! Aku mengurungkan niat menghubungi istriku. Biarlah kalau memang semua ini kehendak dia. Jika dia masih cinta padaku, tentu dia akan kembali kepadaku. Akan kutunggu sampai besok. Jika sampai besok dia tidak pulang berarti… mungkin sudah nasib perkawinan kami berakhir sampai di sini!

            Esok paginya. Istriku belum juga pulang. Terpaksa aku mengerjakan sendiri semua tugas yang selama ini dikerjakan istriku. Ketika aku berangkat ke tempat kerja, beberapa tetangga sempat menanyakan ke mana istriku pergi karena dari kemarin tidak kelihatan. Kukatakan saja kalau istriku sedang menghadiri acara hajatan ke tempat saudaranya. Aku tak mau mereka tahu kalau istriku pulang ke rumah orang tuanya. Bisa jadi gosip panas nanti!

            Selama di tempat kerja pikiranku tidak tenang. Aku menunggu kabar dari Rani, tapi sebaris SMS pun tak masuk ke ponselku. Akhirnya aku menepis rasa egoku dan segera meneleponnya. Tapi ternyata hape-nya tidak aktif. Pikiranku jadi semakin tidak karuan. Mungkin Rani sengaja mematikan hape-nya karena tahu aku bakal menghubunginya. Dia tidak mau mendengar suaraku lagi. Sebenarnya aku bisa saja menghubungi nomer rumahnya, tapi aku khawatir nanti yang menerima orantuanya atau saudaranya. Bisa disemprot habis-habisan aku!

            Sepanjang hari aku hanya bisa meredam rasa gelisah dan gundah. Aku seperti dipermainkan oleh perasaanku sendiri. Ketika jam kerja habis aku segera bergegas pulang ke rumah. Kupikir Rani sudah berada di rumah. Ternyata kosong. Keyakinanku semakin kuat Rani bakal minta cerai. Tapi aku merasa tak sanggup berpisah dengannya. Aku sangat mencintainya. Dengan menepis rasa gengsi dan angkuh, aku lalu membawa motor bututku menuju ke rumah mertuaku.

            Aku sudah mempersiapkan diri untuk menjadi bulan-bulanan keluarga Rani. Aku pun siap untuk disalahkan dan meminta maaf, jika hal itu bisa membawa Rani kembali padaku. Tapi jika Rani sudah tak sanggup hidup bersamaku… oh, bagaimana pula aku menatap dunia ini!

            Motorku sudah sampai di halaman rumah mewah itu. Suaranya yang cemprang memecahkan keheningan. Istriku yang tentu hapal dengan suaranya tiba-tiba muncul di teras. Dia berlari menyongsongku sambil menyunggingkan sebuah senyuman.

            “Aduh, Mas. Kok pakai dijemput segala. Aku tadi sebenarnya sudah mau pulang, tapi ibu menahanku. Dia tidak mau ditinggal sendirian,” ucapnya.

            Sejenak aku tertegun dibuatnya. Tak kulihat ekspresi marah dan kecewa pada wajah istriku. Dia malah tersenyum riang, ada apa sebenarnya…?

            “Memangnya ada apa dengan Ibu?” tanyaku seperti orang linglung.

            “Beliau shock mendengar kabar Mas Danang ditahan polisi karena kasus korupsi. Tapi sekarang beliau sudah baikan…”

            “Kenapa kamu tidak menelepon aku?”

            “Sorry, Mas. Kemarin HP-ku error. Jatuh di kamar mandi dan tidak bisa dinyalakan. Lagi pula pikiranku masih kacau memikirkan ibu. Beliau tidak mau ditinggal pergi barang sejenak. Sudahlah mas, kita masuk dulu ke dalam. Nanti kuceritakan semuanya…!” Rani menarik tanganku masuk ke dalam rumah. Aku hanya menurut saja.

            Sorenya, kami pulang ke rumah. Rani duduk membonceng di belakang sambil melingkarkan tangannya dengan mesra di pinggang. Aku sengaja melajukan motor secara perlahan, agar bisa berbincang dengan istriku.

            “Ran, aku minta maaf atas sikapku kemarin,” ucapku mula-mula.

            “Memangnya kemarin ada soal apa, Mas?” Rani malah balik bertanya.

            “Soal penolakanku atas tawaran kerja di perusahaan Mas Dodi…”

            “O, soal itu! Justru aku yang mesti minta maaf, Mas. Aku yang salah. Tak semestinya aku melakukan hal itu. Aku telah melukai harga diri Mas Bagus. Tapi aku sudah berjanji, mulai sekarang aku tak akan menyinggung lagi soal itu. Aku sudah cukup bahagia hidup bersama mas meski dalam keadaan susah maupun kurang. Yang penting kita selalu bersama dan saling menyayangi. Iya, kan, Mas?”

            Aku hanya mengangguk sambil tersenyum haru. Ucapan Rani terasa menentramkan hatiku. Sungguh, tak ada lagi keraguan pada diriku akan kesetiaan dan kebesaran cinta Rani kepadaku. Sebagai balasannya aku berjanji dalam hati akan senantiasa membahagiakannya hingga akhir waktu nanti.

            Tiba-tiba Rani mengeratkan pegangan tangannya pada pinggangku dan menyandarkan kepalanya pada punggungku. Bisa kurasakan desah nafasnya mengalun lembut menyusup ke dalam pori jantungku. Ah, hatiku serasa dibawa melambung ke awang-awang. Menikmati indahnya cinta! (*)

 

Ikuti tulisan menarik Eko Hartono lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler