Putri Duyung

Selasa, 16 November 2021 08:39 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content0
img-content
Iklan
Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Cerita itu menggemparkan seisi restoran.

Kosasih kawan lamaku, baru pulang dari satu tahun pelayarannya, pelayarannya yang paling panjang sejauh ini. Ia seorang awak kapal. Kulitnya kasar, badannya kurus tapi kuat, kumisnya berantakan. Dia suka memelihara kumis, baru-baru ini saja dia memotongnya dengan gunting dapur. Rambut hitamnya dan samar-samar tampak kecoklatan. Entah laut bagian mana saja yang dilayarinya. Tapi kini ia telah kembali ke kotanya. Kota kita.

Kami makan di restoran cepat saji. Kosasih sudah lama tidak makan ayam dan kentang goreng. Dia hanya makan ayam sesekali saat mampir ke pelabuhan. Ayamnya selalu alot, katanya.

"Satu tahun, Kosasih! Akhirnya kamu pulang juga." Aku mengunyah kentang goreng pertamaku.

"Hehehe, iya, akhirnya aku pulang juga." Kosasih meringis, gigi putihnya kontras dengan wajahnya yang gosong.

"Ada cerita apa kali ini?" Cerita Kosasih tentang laut selalu menggugah seleraku. Jujur, aku selalu berkeinginan untuk berlayar suatu saat nanti.

Mata Kosasih pun seketika berbinar karena bersemangat, seakan ada cerita seru yang baru saja terlintas di kepalanya.

"Sungguh, kau tak akan percaya cerita ini, Lam."

"Halah, cerita saja!" Seruku tak sabar.

Kosasih diam sejenak, sengaja membuatku menunggu.

"Kau tahu putri duyung?" Raut muka Kosasih mendadak menjadi serius, dan misterius.

Aku tak kuasa menahan tawa. "Apa-apaan ini?"

Kosasih mengerucutkan bibirnya.

"Iya iya, lanjut, Sih," aku kembali mengunyah kentang gorengku.

"Sepuluh bulan pelayaran, tentu sudah lama kami tak makan ayam. Kami semua hampir gila karena harus terus makan makanan laut.

Hari itu tepat tiga hari sebelum kami berlabuh di pelabuhan terakhir sebelum pelabuhan kota ini. Aku baru selesai makan, lalu bersantai sebentar dengan Ali di pinggiran kapal. Menonton tarian lumba-lumba."

Aku tertawa kecil.

"Semua lumba-lumba itu tampak sama. Melompat silih berganti."

Kosasih melahap kulit ayam, membuat suara-suara yang menyebalkan. Restoran makin sunyi, seolah semua pengunjung ikut mendengarkan cerita Kosasih diam-diam.

"Kami melihat ada satu lumba-lumba yang berbeda. Kau harus lihat sendiri, lumba-lumba itu punya tangan kurus, panjang, dan pucat, moncongnya pendek. Kami sempat mengira itu Kapten Joni, atau mungkin Apri si juru masak. Tapi tentu saja itu bukan mereka. Kami terus memandangi lumba-lumba aneh itu, dia ikut melompat seperti lumba-lumba lainnya. Lama-lama kapal kami rasanya semakin dekat dengan kawanan lumba-lumba itu. Wujudnya semakin jelas. Lumba-lumba itu punya pinggang, tubuhnya licin berlendir, warnanya lebih pucat dari lumba-lumba biasa. Lalu, dia menyelam agak lama."

Aku menanti-nanti. "Lalu?"

"Dia tak muncul lagi. 5 menit kami menunggu dia muncul, tapi waktu istirahat kami keburu habis."

Seisi restoran sungguh kecewa dibuatnya.

"Tapi rasa penasaran kami bertahan lebih lama dari perkiraan. Ali sempat bermimpi bertemu lumba-lumba aneh itu, dan ia membuatku sepakat untuk menyebut lumba-lumba itu putri duyung, meski awak kapal lain tertawa mendengar cerita kami, dan Apri tampaknya tidak senang dirinya dianggap mirip putri duyung.

Paginya, setelah mimpi Ali yang ketiga, kami berlabuh. Pelabuhan itu kotor dan kuno. Bahkan hanya ada orang-orang tua di sana. Sungguh membosankan. Aku dan Ali main catur dengan salah satu orang tua yang matanya sayu. Ya, aku dan Ali main berdua melawan kakek itu."

"Pasti kamu yang kalah." Kosasih pura-pura tidak mendengar ocehanku.

"Saat tengah bermain, kakek itu tiba-tiba memandang Ali dengan tajam, seolah Ali baru saja menghina ibunya. Ia lalu menunjuk Ali dan matanya memerah. Kami langsung tersadar bahwa kakek itu kerasukan atau gila. Tapi kemudian kakek itu berucap dengan parau 'kamu'."

"Kamu? Hanya itu?" Tanyaku.

"Kakek itu langsung pingsan."

"Lalu?"

"Lalu kami kabur."

"Kurang ajar!" Untung saja aku tidak tersedak.

"Tidur kami tidak pernah nyenyak sejak kejadian itu. Putri duyung mulai datang ke mimpiku juga."

"Apa isi mimpimu?"

"Putri duyung itu duduk di batu karang dan merangkul Ali dan kakek -yang pingsan di pelabuhan- tadi. Dan Ali, dia," kalimat Kosasih terpotong.

"Dia kenapa?"

Telinga para pengunjung restoran meruncing.

"Harusnya aku memberi tahu kau tentang Ali lebih awal, Nilam. Paginya saat aku terbangun, Ali tidak ada di kasurnya. Ali menghilang."

Nafasku dan nafas seisi restoran terhenti seketika.

"Kapan Ali menghilang? Kenapa kau tidak menghilang? Ada apa dengan kakek itu, Kosasih?" Tanyaku bertubi-tubi.

Beberapa pengunjung restoran beranjak keluar dengan perut kenyang. Di benak mereka berkembang berbagai kesimpulan dari cerita Kosasih.

Bagikan Artikel Ini
img-content
Babs

Penulis Indonesiana

0 Pengikut

img-content

Putri Duyung

Selasa, 16 November 2021 08:39 WIB
img-content

Jangan Ketinggalan!

Selasa, 16 November 2021 08:35 WIB

Baca Juga











Artikel Terpopuler