x

Iklan

dudung solahudin

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 12 November 2021

Selasa, 16 November 2021 06:23 WIB

Bukan Sekedar Uang (Ibadah Haji dengan Takdir Tuhan)

Semua orang islam pasti merindukan ke tanah suci termasuk kedua orangtua saya yang ingin ibadah haji dengan segala keterbatasan. Kendala ayah adalah tidak ada uang untuk membayar ONH, kendala ibu adalah pingsan karena menderita gula darah. Tapi mereka pada akhirnya dengan takdir Tuhan menjadi haji dan hajjah.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Ni’mat bapak mah anu gede nyaeta bisa zarah ka Mekkah (ibadah haji) mudah-mudahan kamu ditakdirkeun bisa ibadah haji jiga bapak”.  Kira kira itulah kata-kata ayahku ketika suatu saat ngobrol denganku yang kalau diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia adalah: Nikmat bapak yang besar adalah bisa ziarah ke Mekkah dan mudah-mudahan kamu di takdirkan bisa ibadah haji juga seperti bapak.

Pada  saat yang lain ibuku berkata,”A, ibadah haji mah kudu keur ngora, tuh tingali haji ahmad ngora keneh tos bisa ka Mekkah” (A ibadah haji itu harusnya masih muda, lihatlah Haji Ahmad masih muda sudah pergi ibadah haji). Aku hanya tersenyum dan sedikit aku menimpali pernyataan ibu, “Iya, umi doain ajah, tapi bagaimana kalau misal tidak punya uang, walaupun masih muda kan sama saja tidak bisa ke Mekkah”. Sambil tersenyum ibuku menjawab, “Iya, ya”. Seketika suasana hening dan sesaat kemudian ibu melanjutkan obrolannya, “Tidak boleh begitu berdo’a saja kepada Allah, lihat saja ayahmu uang tidak punya, barang yang mau dijual pun tidak ada, tapi bisa kan ke Mekkah?” Aku terdiam dengan jawaban ibuku itu. Itu adalah do’a tulus seorang ibu kepada anaknya untuk tetap semangat bercita-cita melaksanakan ibadah haji yang isi dari pesan ibu tersebut adalah bahwa ibadah haji bukan urusan uang semata tapi nasib dan takdir.

Ada orang yang kaya raya, perhiasannya banyak tapi belum bisa ibadah haji karena alasan takut sakit dan lelah, ada yang sudah siap segala sesuatunya tapi tidak jadi berangkat karena wafat di rumah, ada pula yang sudah sampai di asrama haji tapi wafat karena sakit. Itulah kenapa dalam ibadah haji selalu dikatakan ada tiga hal kekuatan yaitu mempunyai bekal uang memiliki badan sehat dan kuat untuk beribadah haji dan terakhir adalah nasib.”Percaya, deh, kamu akan bisa melaksanakan ibadah haji karena ayah dan ibu serta kakek nenekmu buyutmu sudah menjadi haji,” celetuk ibuku suatu hari. Aku hanya mengaminkan saja semoga ucapan ibuku menjadi do’a yang di Kabul oleh Allah Swt yang maha kaya dan maha berkuasa atas segala sesuatu.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Beberapa tahun lalu sekitar tahun 2005 ayahku wafat dan ibuku yang menjadi pengganti ayahku menerima honor alakadarnya. Ibuku seorang anak perempuan ke-3 dari 6 bersaudara. Ibadah haji menjadi dambaan hidupnya, berangkat ke tanah suci menjadi sebuah cita-citanya sehingga dengan penghasilan alakadarnya ibuku mulai menyisihkan dengan menabung. Disisi lain keinginan yang kuat seorang ibu untuk beribadah haji menjadi perhatian khusus anak-anaknya yang berjumlah 5 orang.

Tanpa banyak diketahui anak-anaknya yang lain ibuku ternyata sudah lunas Ongkos Naik Haji (ONH) nya, dan selanjutnya secara berkala dijadwalkan latihan manasik haji dan aku sempat beberapa kali mengantarnya manasik di beberapa tempat yang tidak jauh dari rumah. Dengan terpapah-papah langkahnya tidak seperti masih muda dulu. Aku melihat ibu dari kejauhan dan tak putus berdo’a semoga nanti di sehatkan dan dikuatkan ibadah haji nya.

Manasik haji adalah peragaan pelaksanaan ibadah haji sesuai dengan rukun-rukunnya. Dalam kegiatan manasik haji, calon jamaah haji akan dilatih tentang tata cara pelaksanaan ibadah haji yang akan dilaksanakannya, misalnya rukun haji , syarat haji, wajib haji, sunah haji, maupun hal-hal yang tidak boleh dilakukan selama pelaksanaan ibadah haji. Selain itu, para calon jamaah haji juga akan belajar bagaimana cara melakukan praktik tawaf, sa'i, wukuf, lepamr jumrah, dan prosesi ibadah lainnya dengan kondisi yang dibuat mirip dengan keadaan di tanah suci.

Selain kegiatan manasik diatas, ibuku dijadwalkan secara berkala untuk memeriksakan diri ke puskesmas yang telah bekerjasama dengan yayasan yang mengurus calon jamaah haji. Jamaah haji harus senantiasa sehat karena akan melaksanakan rangkaian ibadah badan. Terkadang ada rasa khawatir bagaimana kalau seandainya ibu tiba-tiba ngedrop di tanah suci, atau tiba-tiba pingsan di jalan. Pikiran-pikiran itu selalu ada dalam benakku “mudah-mudahan ibu selalu disehatkan dalam rangkaian ibadah haji nanti” ucapku dalam hati ketika aku mengantarnya ke puskesmas.

Anak-anak ibu yang berjumlah 5 bersaudara termasuk aku yang sulung sangat khawatir dengan kesehatannya, karena ibuku mempunyai penyakit diabet kering. Pernah suatu ketika ibu pingsan tak sadarkan diri dan akhirnya harus dirawat masuk ruang Intensive Care Unit (ICU) di salah satu rumah sakit terdekat. Ruang ICU merupakan ruangan yang melayani perawatan pasien kritis dewasa baik kasus trauma maupun non-trauma (bedah maupun non-bedah. Kurang lebih 3 hari 2 malam ibu menginap di ruang tersebut dan setelahnya dipindahkan ke ruang rawat inap dan  kurang lebih satu minggu dirawat, Alhamdulillah ibu kembali sehat seperti sebelumnya, namun harus lebih diperhatikan lagi makanannya. Musibah yang menimpa ibu tersebut terjadi 5 tahun sebelum ibu berangkat ke tanah suci tepatnya pada selasa 4 september 2012, karena almarhumah ibu berangkat ke tanah suci tahun 2017.

Hari berganti hari kemudian berganti bulan dan tahun setelah kejadian dirawat di ruang ICU kami anak-anaknya selalu menjaga stabilitas kesehatan ibu agar selalu sehat karena setelah diperiksa ibu menderita diabet kering. Makanannya selalu kami perhatikan, agar tidak salah makan yang menyebabkan naik gula darahnya atau turun drastis karena bila naik atau rendah gula darahnya maka akan pingsan. “Nenek jangan makan ini” anakku sedikit membentak neneknya agar tidak mengkonsumsi makananan yang dilarang oleh dokter. Dengan nada lirih ibuku berkata sambil senyum “terus mana makanan buat nenek ?” celetuknya.

”Assalamu’alaaikum,” terdengar suara salam dari luar. “Ini ada surat dari KBIH,” ucap tamu tersebut. Setelah tamu tersebut berlalu pergi, aku lihat ditujukan untuk ibuku ternyata surat pemberitahuan keberangkatan ibadah haji. Tertulis dalam lampiran surat itu porsi jamaah dengan nomor 1000490991 kemudian kloter JKS-0043 ada terlihat pula rombongan IV dan regu 22 dengan nama Maesaroh Marzuki Yahya lengkap dengan Tempat Tanggal lahir Karawang 01 Agustus 1940. Terlihat juga nomor paspor B5711634. “Alhamdulillah,” ibuku berkata dengan terharu setelah membaca isi surat itu. Keberangkatan ibadah haji tinggal menunggu minggu saja karena sudah ada nomor porsi 1000490991 dan tanggal keberangkatan ke tanah suci pada Rabu 9 Agustus 2017 atau 1438 Hijriyah dan dijadwalkan kembali ke tanah air pada Rabu 20 September 2017 dan kebetulan ibu termasuk gelombang ke 2 jadi rute terbangnya dari Halim menuju Jeddah karena sudah mendekati wukuf di Arafah.

Beberapa jam sebelum keberangkatan ibu ke tanah suci yang diantar oleh bus Jamaah KBIH yang rencana berangkat jam 07.50 pagi yang nantinya akan transit terlebiih dahulu di Pemda Cibinong dan selanjutnya akan meluncur menuju pesawat Halim perdana Kusumah untuk take off jam 10.50 pagi, Ibu sudah bersiap-siap memakai pakaian seragam putih yang diberikan oleh KBIH lengkap dengan paspor yang dikalungkan ke leher dan beberapa tanda pengenal bahwa ibu adalah bagian jamaah haji asal dari Negara Indonesia yang mempunyai lagu kebangsaan Indonesia Raya. Bendera kecil warna Merah Putih yang menempel di Tas sahara jamaah haji adalah bendera kebanggaan dan sebagai identitas bangsa Indonesia.

Indonesia adalah sebuah Negara yang luas terdiri dari beraneka macam bahasa, suku adat dan budaya. Sebuah Negara yang berdiri diatas tanah yang subur yang dalam lagu disebutkan kalau tongkat, kayu dan batu jadi tanaman. Perumpamaan itu sebagai pujian tinggi bahwa tanah Indonesia adalah tanah yang subur baldatun thoyyibatun wa robbun gofur. Sebuah Negara yang didirikan oleh para pejuang, para pahlawan yang tidak pernah pamrih mengorbankan nyawa dan darah mereka. Pancasila sebagai dasar dan ideologi Negara mampu mempersatukan rakyatnya yang berbeda-beda latar belakangnya. Pancasila sebagai hasil kompromi politik sudah final menjadi sebuah pedoman hidup rakyat Indonesia dalam berbangsa dan bernegara.

Kira-kira jam 123.000 semua anak-anak nya dan salah satu kakaknya ibu yang menginap saat itu dibuat terkejut, kaget dan panik ketika ibu tidak sadarkan diri matanya tertutup tapi detak jantung masih berdenyut normal. Kalau sudah kondisi seperti itu biasanya ibu sedang tidak stabil gula darahnya semuanya bertanya-tanya apakah ibu salah makan? Atau apa yang sudah dimakan ibu sore tadi sehingga kambuh sakitnya. “Ah….. sudahlah tidak usah menyalahkan makanan, yang penting bagaimana caranya agar ibu siuman kembali.” ucapku dalam hati. Dalam keadaan tersebut semuanya panik dan banyak sekali pendapat bermunculan bagaimana seharusnya yang akan dilakukan kepada ibu yang sudah tidak berdaya tersebut. Ada yang berpendapat agar ibu dibawa ke Unit Gawat Darurat (UGD) di salah satu Rumah sakit terdekat, ada pula yang menyarankan agar ibu di undurkan jadwal keberangkatannya dan dititipkan ke kloter lain, ada lagi yang berpendapat agar ibu tetap dibawa ke kloter asalnya dengan kondisi pingsan. Semua saran dan pendapat itu menunjukkan kepedulian yang sangat tinggi dan tindakan terbaik untuk ibu karena esoknya setelah subuh ibu dijadwalkan star dari KBIH dimana ibu pernah diberikan manasik haji dan diberikan arahan-arahan terkait rangkaian ibadah haji.

Jam 24.00 ibu masih belum sadar, layaknya seorang yang sudah tidak bernyawa, ibu tidak bergeming sedikitpun, matanya masih tertutup. Semua yang berada di sekeliling ibu menangis tanpa bisa berbuat apapun. Semuanya hanya panik dan bingung. Semua anak-anaknya bermusyawarah tindakan apa yang harus dilakukan kepada ibu. Karena jika salah langkah maka semuanya akan berubah. Saya termasuk orang yang memegang prinsip bahwa ibu harus berangkat sesuai jadwal. Karena itu adalah impian ibu selama ini.

Jam 02.00 malam aku melangkahkan kaki ku ke belakang rumah dimana ayahku dimakamkan tahun 2005, atau sekitar 16 tahun lalu. Kini ayah sudah wafat dan meninggalkan kenangan saja ketika saat-saat aku sedang kesulitan, maka pasti aku berbagi kepada beliau dan selalu minta di do’a kan di setiap akhir obrolanku dengan ayah. Beberapa tahun lalu Ayahku berangkat ibadah haji ketika setelah 2 tahun aku lulus SLTA. Sebagai seorang pensiunan guru ayah tidak banyak bisa menabung untuk biaya ibadah haji, namun keinginannya untuk berziarah ke makam kanjeng Nabi Muhammad Saw merupakan salah satu impiannya ditengah ketidakmampuan dalam biaya. Hingga pada suatu saat sepupu ayahku memberitahukan ada orang yang akan memberangkatkan ibadah haji kepada ayahku. Allah Maha kaya dan Maha berkuasa atas segala sesuatu. Do’a ayahku didengar Tuhan dan dikabulkan setelah beberapa tahun lalu dipanjatkan ayahku.

Ayah berangkat dari rumah pada hari Kamis 26 Maret 1998  menuju asrama haji dan kemudian nanti akan terbang dari Halim Perdana Kusuma menuju Jeddah pada pukul 14.00 WIB dengan pesawat kebanggan Garuda Indonesia Airways GA 7318. Selama kurang lebih 40 hari melaksanakan rangkaian ibadah haji ayah tiba kembali di rumah pada ahad 4 Mei 1998 jam 06.00 WIB setelah take off dari Jeddah menuju Halim Perdana Kusuma dengan pesawat garuda GA 7817.

Ketika aku sedang asik melihat-lihat berkas jamaah haji ayah yang tertulis nomor kloter 161, nomor Paspor F10060152 dan terlihat tiket pesawat nomor 12600153158390, ayahku berkata dengan suara pelan “Nak, kamu harus rajin mendatangi walimatulhaj/walimatussafar”, dengan membetulkan sikap duduk dan dengan memasang wajah serius aku mendengarkan kata-kata ayahku. Kemudian ayah melanjutkan nasihatnya “dan seringlah menjemput atau mengunjungi orang yang baru pulang dari tanah suci agar nanti  ditakdirkan Allah bisa ibadah haji”. Itulah kalimat yang pernah diucapkan ayahku disela-sela obrolan ringanku dengan beliau.

Sekitar 30 menit aku berziarah ke makam ayah, sebelum aku membaca tawassul dan hadiah serta do’a, aku jadi teringat kembali bayangan masa-masa ketika aku lulus SLTA tahun 1996. Ayahku bertanya:”mau lanjut kuliah atau kerja’? saat itu aku hanya diam karena walaupun aku menjawab ingin kuliah maka kemungkinannya kecil disetujui karena tidak akan ada biaya karena 3 adik dibawahku harus terus sekolah. Sedangkan ayah tidak punya penghasilan lain.

Setelah beberapa menit aku sadar bahwa aku sedang di depan makam ayahku, maka Aku mulai membaca tawassul hadiah dan mendoakan kebaikan ayah di alam barzakh sana dan do’a ziarah pada umumnya kemudian memohon kepada Allah agar ibu disehatkan kembali. Tak terasa mataku berkaca-kaca dan langsung saja aku ucapkan salam kepada ayah dan aku melangkah pelan menuju rumah sementara otakku masih diselimuti kebingungan dan hanya menunggu keajaiban Tuhan memberikan yang terbaik bagi ibuku yang sedang pingsan tak sadarkan diri sedangkan besok jam 7.00 sudah dijadwalkan berangkat dari KBIH.

  

 

Ikuti tulisan menarik dudung solahudin lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler