x

Iklan

Helga Zendrato

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 15 November 2021

Selasa, 16 November 2021 12:19 WIB

Perempuan di dalam Dompet

Kehidupan seorang perempuan bagi sebuah adat seperti barang yang bisa terlipat rapi di dalam dompet. Ia tunduk pada lekuk-lekuk yang telipat dan hanya tampak saat dibutuhkan. Kisah ini mengangkat masalah patriarki yang ditentang oleh seorang anak yang memperjuangkan hak feminismenya. Ia tidak ingin perjalanan ibunya akan ditempuhnya ketika dewasa. Ia bersuara, tetapi belum mampu untuk mengubah pandangan orintal sebagian masyarakat. Maukah kamu membantu dia menyuarakan hak bagi kaum perempuan?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Termulialah Allah, diciptakannya laki-laki dan perempuan sebagai pasangan yang sepadan. Hawa didahului oleh seorang Adam. Penyatuan dua tubuh menjadi satu memperoleh keturunan yang banyak di bumi.

Menetaplah anak-anak manusia di dalam gubuk-gubuk tua. Gubuk buatan manusia yang kokoh direkatkan dengan paku sebagai warisan budaya leluhur. Tawa dan tangis beradu sepanjang hari. Anak-anak manusia berlarian mencari kebebasan diri. Yang tua mengenakan pakaian lusuh telah bersiap memeluk batang-batang para di pinggiran sungai. Yang tangguh menyeduh kopi berampas tanpa gula. Yang muda-muda mengenakan pakaian sekolah. Namun, yang setengah tua dan tangguh mondar-mandir di dalam rumah. 

 Rita Barasi seorang gadis yang mengedepankan harkat dan akhlak. Ia memperoleh penghormatan di atas kursi merah karena berhasil mempertahankan kesuciannya sebagai perawan. Namanya mentereng lantaran menjadi menantu seorang kepala adat. Kedudukan yang hebat dipandang khalayak. Sebelas bulan sudah tradisi famahea ono nihalo[1] berlalu, sukacitanya melimpah-limpah. Didekapnya seorang bayi laki-laki sebagai penerus kepala adat.  

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

            “Nogu[2], kalau sudah besar kamu akan jadi kepala adat. Ayahmu memang hebat, bukan?” Laki-laki tangguh itu membusungkan dada pertanda harga dirinya menuju sempurna. Sang pemilik waktu menunjukkan kuasa atas anak-anak manusia, diberkatilah keturunan manusia hingga bertambah banyak. Semakin banyak anak semakin banyak rezeki, semboyan kaum-kaum tradisional yang masih berlaku bagi masyarakat adat. Musim panen yang dinantikan tidak selalu taat pada kehendak manusia. Lihatlah anak-anak sebagai buah kasih kedua insan itu, berlari-lari dan saling bersaing. Mereka berebut sepotong daging di atas meja, menangisi semangkuk mi instan, atau saling menjilati piring yang kosong.

            “Mana kopi ku, Ina[3] Gori?”

            “Sebentar ga’a sa’a[4], anak-anak ini masih bertengkar.”

            “Lama sekali!”

            “Saya masih mengurus mereka.”

            “Punya istri, seperti ga beristri!”

            Ina Gori menyadari kekeliruan yang terjadi, lantaran ia hanya punya dua tangan untuk melakukan segala pekerjaan. Ia pun tak ingin meminta Sang Khalik memberikannya lebih dari dua tangan. Ia duduk terpaku merenungkan pernyataan yang melukai dirinya. Anak-anak berdesak-desakan memeluk tubuhnya yang kurus. Mereka berkerumun dalam kebisuan. Ina Gori menunda mengeluarkan peluh. Ia menunjukkan senyum tipis seraya mengusap kepala anak-anaknya satu demi satu.

            ***

            Halaman gubuk tua dengan rumput jepang yang hijau bak permadani, dipagari dengan tanaman hijau berkayu. Orang-orang merasa sungkan mampir ke gubuk tua itu. Bukan karena kemewahan ukiran kayu di jendela-jendela tua itu, bukan pula karena gowe[5] yang menunjukkan kebesaran sebuah rumah, tetapi tampaknya gubuk ini dihuni dengan penuh kedamaian di dalamnya. Gelak tawa pecah dalam bisik-bisik dua wanita tua. Percakapan rahasia dari kedua orang tersebut menggerakkan kedua jenjang seorang anak menghampiri pangkuan ibunya. Wajah polos dengan penasaran yang tinggi mendorong ia bertanya.

            “He Ma, perempuan itu untuk dijual ya?” bisiknya dengan pelan pada ibunya.

Ina Gori menatap tajam, tertunduk lesu, dan membisu. Anak perempuan itu tak pernah berhenti untuk memberikan berbagai pertanyaan agar memuaskan rasa ingin tahunya. Satu-satunya sumber informasi yang dibutuhkannya adalah Ina Gori. Rekaman sebuah tragedi dalam memorinya berhasil disampaikan dengan tanda tanya. Ina Gori tak kuasa menghindari rasa ingin tahu dari Waya yang bercita-cita menjadi reporter itu.

            “He Ma, boleh tau mbowo[6] Mama berapa?”

            “Kenapa Waya ingin tahu?”

            “Mereka bilang perempuan itu dijual.”

            “Mereka siapa?”

            “Ehm, ada lah.”

            “Kakek tidak pernah menjual Mama. Ia mengizinkan Mama menikah dengan ayahmu karena ia sayang pada Mama. Mbowo itu siksaan bagi mereka yang tak punya harta, tapi punya keinginan. Sejumlah uang yang diberikan pada kakek diperuntukkan untuk kebutuhan pesta. Pantang uang itu dijadikan sebagai harga seorang manusia.”

            “Maksudnya Ma?”

            “Kamu masih terlalu dini untuk memahaminya. Yang penting itu, apakah kamu diangkat saat menikah atau tidak. Itulah harga yang nilainya lebih besar dan mulia dari pada sekadar hitungan-hitungan uang pinjaman”

            “He Ma, berapa harga Mama?”

            “Apa? Hargaku… Aku ga punya harga selain dari kamu dan saudara-saudaramu.”

            Ina Gori meninggalkan Waya dengan berbagai pertanyaan. Air matanya bercampur dengan air cucian. Ruang geraknya berkisar dapur, kamar mandi, kamar tidur, dan tempat menjemur kain. Jarang wajahnya tampak di teras rumah, ruang tamu, atau ruang tengah untuk sekadar berleha-leha melepas lelah.

***

Laki-laki tangguh tampak sedang membolak-balik pakaian hingga ia kelelahan, “Mana bajuku?” Ina Gori sedang mendekap seorang anak di dadanya. Ia menghela napas panjang, lalu melakukan gerakan yang sama. Pakaian-pakaian itu teraduk berantakkan. Ina Gori menyerahkan baju merah bergambar banteng. Namun, laki-laki tangguh itu bukanlah seorang politisi dari sebuah partai. Ia seorang upahan dari tauke karet. Ia memilih duduk setara dengan para buruh yang menikmati secangkir kopi berampas di lafo[7]

“Bagaimana mungkin suara dapat melakukan pekerjaan tangan?” gerutu Waya yang menyaksikan kejadian tersebut. Ina Gori mengabaikan Waya yang memulai harinya dengan sebuah pertanyaan. Ina Gori tidak ingin mengeruhkan suasana hatinya.

***

Di sudut rumah yang lain, yang mengenakan pakaian lusuh sedang berbincang-bincang dengan seorang wanita. Waya si telinga tajam telah menangkap momen-momen yang tidak menyenangkan dari wajah salah seorang penghuni rumah.

“Begitulah kalau perempuan tidak tau diri. Pagi-pagi, suaminya mesti memesan kopi di lafo. Pekerjaannya hanya mengurus anak di rumah saja.”

“Kenapa begitu?”

“Lihat saja, ia mengutang atas nama anakku. Ia mengolah hasil tanah suamiku, seenak-enaknya saja. Aku? Tak pernah ia membelikan kopi ku. Seperti kukatakan suaminya saja mesti memesan kopi di lafo.”

“Mungkin dia ga sempat menyajikan kopi. Tapi kulihat banyak kerjanya di rumah kan?”

“Ah, hanya pekerjaan rumah. Tak ada hasil.”

Waya sesak mendengar aduan-aduan yang timpang dengan apa yang disaksikannya. Penasarannya meledak pula lantaran mendengar perbincangan dari yang mengenakan pakaian lusuh dengan Ina Amo. Ia sangat yakin Ina Gori adalah buah bibir, nama mamanya disebutkan dalam sela-sela percakapan yang tegang itu. Waya menahan napas di balik pintu kayu yang mudah berderik.

***

            Langit menaburkan jutaan bintang, bulan tertutup daun rimbun. Laki-laki tangguh belum juga menunjukkan batang hidung di daun pintu. Ina Gori menyelimuti anak-anaknya yang tertidur pulas, kecuali Waya. Waya membolak-balik lembaran buku di hadapannya. Ina Gori mengingatkan Waya agar segera tidur.

“Sudah malam, tidurlah.”

“Iya Ma, sebentar lagi.”

Sebenarnya tulisan-tulisan padat melemahkan otot-otot mata Waya. Namun, ia bersikeras menahan kantuknya yang berat. Ia berbasa-basi sebelum buku menjadi bantal tidurnya.

            “He Ma, kenapa tidak tidur?”

            “Menunggu ayah.”

            “Aku juga menunggu ayah.”

            “Waya tidurlah, biar mama saja.”

            Ina Gori duduk di antara pakaian yang membukit. Ia merentangkan baju di permukaan yang datar, menghaluskan baju dengan tangannya, dan melipat dengan sabar.

            “He Ma, kalau ayah pulang ada mi instan?”

            “Kenapa? Waya lapar?”

            “Tidak, Waya senang membaui bumbu mi instan di atas wajan.”

            Waya membuka lembaran berikutnya. Laki-laki tangguh berdiri di ambang pintu. Perintah mengalir dari mulutnya yang beralkohol. Ina Gori bangkit menyodorkan handuk dan pakaian bersih. Laki-laki itu menimpali dengan perintah yang tidak asing terdengar oleh Waya. “Belikan dua mi instan, bonnya saya yang bayar!” Laki-laki tangguh itu terseok-seok menuju kamar mandi.

            “He Ma, ada apa?”

            Ina Gori memeriksa dompet hitam yang ditinggalkan laki-laki tangguh di atas meja. Ia mematung memandangi sebuah foto yang melekat di dompet. Pipinya basah oleh air mata. Tidak terdengar erangan atau isak yang menyedihkan hanya tubuh yang membeku membelakangi Waya. Ina Gori mengejutkan Waya dengan sentakan keras di atas meja. Dompet tergeletak dalam posisi tertutup. Ina Gori meninggalkan gubuk tua, tetapi tidak berhenti di depan sebuah warung. Ia beringsut menjauhi gubuk tua. Waya membuntuti perempuan yang setengah tua dan tangguh. Langkah kaki mereka beriringan, Ina Gori berbalik dan mendapati Waya mengekorinya. Suara Waya bergetar dengan aksen He sebelum menyebut perempuan itu sebagai mamanya. “He Ma”.

            “Pulang Waya!”

            “Ada apa Ma?”

            “Pulang!”

            “He Ma, Waya takut sekali sama mama”

            “Pulang!”

            Ina Gori mempercepat langkahnya menjauhi Waya. Waya tidak punya pilihan yang lain, ia membalikkan tubuhnya mendekati gubuk tua dan memasukinya. Aroma alkohol dari mulut laki-laki tangguh itu sangat tajam. Waya menghadangnya dengan tatapan tajam. Mula-mula tidak berani ia mengeluarkan suara apa pun.

            “Mana Ina Gori?”

            “Mamaku!”

            “Iya, mana makananku dibuatnya?”

            “Mama sudah pergi.”

            “Makananku! Di mana!”

            “Mama sudah pergi!”

            Tangis Waya pecah, ia terpaksa bersuara dengan keras. Seketika tubuhnya sangat gemetaran, bibirnya pun bergetar, tapi kepalanya tegak sejajar dengan bahu laki-laki di hadapannya. Laki-laki melepas caci makinya di udara, “Sialan!” Seorang wanita tua yang biasanya mengenakan pakaian lusuh mengelus dada di hadapan Waya. Matanya tajam menelusuri kedua mata kecil  Waya, “Mamamu itu ni oli dola hogo[8]. Sudah kukatakan dia ga ada pekerjaan, tidak diajarkan orang tua. Aku sudah memperingatkan kamu sejak awal, Ama Gori jangan terlalu memanjakan dia di rumah. Pekerjaannya tidak pernah beres. Hidangan pun tak pernah tampak menarik di atas meja. Menantu tak tau diuntung, kita ini orang adat. Kekayaan leluhur harus dijaga, hancurlah martabat kalau tau dia kabur dari rumah.” Waya meraih dompet di atas meja dan menyodorkan kepada perempuan yang dipanggilnya nenek.

            “Lihatlah!”

            “Kau main judi, Ama Gori!”

            Waya terdiam. Suara neneknya jelas bergaung di telinganya. Dalih-dalih lainnya dibuat dengan jelas untuk menyudutkan posisi Ina Gori. Sanjungan kepala adat yang tersemat di dada anak tetua adat telah hancur. Waya mengangkat kepala kali ini membela posisi Ina Gori.

            “Mama selalu bekerja, Nek.”

            “Tutup mulutmu perempuan kecil!”

            “Nenek harusnya menyadari sejak awal.”

            “Diam, Waya!” ditimpali gertak dan tamparan keras dari Ama Gori.

            Waya menjauhi kebisingan dan menyembunyikan diri di balik sebuah buku. Ia berada di halaman 206 dari buku terjemahan karya Harper Lee. “Kau akan lebih memahami manusia kalau kau sudah besar” catatan yang menyadarkan Waya bahwa ibunya pernah mengatakan hal yang sama. Tiba-tiba Waya tertawa dengan keras membangunkan adik-adiknya yang tertidur. Suara yang samar-samar itu dijawabnya dengan kacau, “Aku lihat mama bangkit dari dalam dompet ayah, menjadi kartu-kartu terserak di atas sebuah meja. Ia dihargai dengan uang-uang pinjaman. Demi sebuah nama yang besar, sungguh pencitraan! Hanya pencitraan! Kita melarat, berkutat dengan batasan adat, melarang untuk bicara agar tetap bungkam. Bungkam, bungkam! Mereka jahat, memanggil mama sebagai bentuk dari recehan di dompetnya. Aku tak terima! Tidak terima!” Waya terisak-isak dan mengerang dengan keras.

            Ina Gori mengguncangkan tubuh Waya yang basah.

            “Waya! Waya!”

            “He Mama sudah pulang?”

            “Apa? Kamu mimpi ya?”

            “Ini Mama?”

            “Kamu mimpi? Ayo, mi instannya sudah masak!”

Waya tidak berniat untuk memejamkan mata karena takut kehilangan Ina Gori di sisinya. Waya menyantap mi instan yang disuguhkan dalam mangkuk. Ia memandangi mama dan ayahnya bergantian.

“He Ma, Waya ingin menceritakan sesuatu”

“Apa? Mama penasaran.”

“Tadi siang Waya melihat nenek dan Ina Amo membicarakan Mama”

            “Sssttt…” mama meletakkan telunjuk di depan bibirnya.

            Ayah menyingkirkan pandangannya dari Waya. Ia melahap mi yang nyaris tandas di mangkuknya. Mangkuk dibiarkannya di atas meja, ibu memungut mangkuk kotor tersebut dan mencucinya.

            “Mama tidak pernah capek?”

            “Mama tidak capek.”

            “He Ma, aku melihat nenek dan Ina Amo menjelek-jelekkan Mama”

            “Waya, abaikan saja.”

            “Mama tidak marah?”

            “Tidak.”

            “Mama membuatku mengingat Atticus”

            “Siapa Atticus?”

            “Tokoh yang kubaca di buku.”

            “Semoga Atticus itu orang yang baik.”

            “Iya, mirip Mama.”

            “Oh, ya sudahlah. Sana tidur!”

            Waya beranjak ke tempat tidurnya. Waktu menunjukkan pukul dua dini hari, lima jam lagi tubuh Waya berada di sekolah. Ia melipat tangan sebelum sejajar dengan guling. Semoga Allah pencipta manusia memberikan kedamaian untuk anak-anak manusia yang bertumbuh menjadi besar. Doanya ditutup dengan ucapan Amin. Waya tertidur hingga pulas, tanpa mimpi yang mampir di hari itu.

 

[1] Adat Nias sebagi bentuk penghormatan kepada perempuan yang berhasil menjaga kesucian dirinya. Tradisi yang dilakukan dengan memapah seorang pengantin di atas kursi menggunakan bamboo.

[2] Panggilan sayang untuk anak, berarti “Anakku”

[3] Istilah yang disematkan untuk ibu-ibu

[4] Panggilan istri kepada suami

[5] Patung yang menandakan seseorang telah mengadakan pesta besar sebagai kepala adat (tetua suku)

[6] Jujuran pernikahan (adat Nias)

[7] Warung kampung yang biasanya menyuguhkan tuak dan daging babi

[8] Ucapan kesal seorang mertua terhadap menantu

Ikuti tulisan menarik Helga Zendrato lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler