x

Iklan

NI WAYAN WIJAYANTI | CERPEN

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 14 November 2021

Selasa, 16 November 2021 17:11 WIB

Di Balik Terali

“Tidak perlu menyesal. Bukankah yang kamu lakukan hanya mengirim bayi itu ketempat yang indah ? Dunia ini, dengan segala isinya sudah terlalu kejam. Maka dengan membuat ia tiada, kamu telah menyelamatkan hidupnya dari tempat keji dan menjijikan ini !”.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

          Wanita muda itu bersedekap di sudut ruangan. Pikirannya menerawang entah kemana. Seingatnya dulu, dia adalah wanita normal dengan kehidupan sosial yang baik, sebagaimana orang-orang pada umumnya.

          Tangis bayi kembali terngiang-ngiang dalam benak. Berkali-kali dia menutup telinga, tetapi percuma. Suara itu berasal dari dalam hatinya.“Ibu, aku ingin digendong !”, ujar suara itu.

          Suara yang entah datang dari mana. Tapi Ningsih tidak menggubris. Berkali-kali dia menyalahkan diri sendiri. Tidak, dia bukan menyesal atas pembunuhan itu !

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

          Dia menyalahkan dirinya karena menerima tawaran kekasihnya untuk menikah. Disaat usianya saat itu baru menginjak 22 tahun. Usia yang masih produktif sekali untuk meniti karir.

          Usia yang pas untuk seorang wanita sepertinya mencoba banyak hal baru di dunia ini. Bahkan dia sempat bercita-cita untuk berwisata ketempat-tempat indah nan jauh di luar sana.

          Dalam ruangan kecil itu dia sendirian. Namun ia senang karena ada suara-suara menemani. Awalnya dia memang merasa terganggu, tetapi lama-kelamaan dia mulai terbiasa.

          Mereka mengatakan bahwa sekarang bayinya sedang berbahagia di tempat berbeda. Ditemani para malaikat kecil yang menjaga sang bayi. Menyelimutinya dengan sayap-sayap yang lembut. Tiada sedikit pun kesedihan disana.

          “Tidak perlu menyesal. Bukankah yang kamu lakukan hanya mengirim bayi itu ketempat yang indah ? Dunia ini, dengan segala isinya sudah terlalu kejam. Maka dengan membuat ia tiada, kamu telah menyelamatkan hidupnya dari tempat keji dan menjijikan ini !”.

          Masih teringat jelas suara itu datang saat dia menengadah kearah langit-langit kamar mandi. Suara samar yang entah dari mana berbisik.

          Setelah menikah, Ningsih ikut suaminya pulang ke desa untuk tinggal dirumah mertua dengan seorang ipar perempuan. Dia harus berhenti dari pekerjaan yang sangat dia cintai sebagai seorang Front Office disebuah city hotel Jakarta.

          Dulu Ningsih sangat giat bekerja, terbukti sudah beberapa kali berturut-turut dia meraih penghargaan sebagai pekerja terbaik dihotel itu.

          Tapi dia tidak bisa berkata apa-apa saat suami memintanya untuk berhenti bekerja agar fokus mengurus rumah tangga. Sudah benarkah bahwa seorang istri, harus menurut apa kata suami tanpa banyak membantah ?

          Sebagaimana halnya tinggal dirumah mertua dengan seorang ipar perempuan, banyak hal yang tidak sesuai dengan keinginan Ningsih. Konflik-konflik kecil saban hari harus dia pendam seorang diri. Begitulah dia mengisi sembilan bulan masa-masa kehamilannya.

          Bahkan saat menjelang kelahiran, sang ibu mertua mengharuskan Ningsih untuk melahirkan normal. Alasannya hanya agar dirinya benar-benar merasakan bagaimana perjuangan seorang ibu yang sesungguhnya.

          Meski pada akhirnya, Ningsih harus di cecar juga karena dia kehabisan tenaga ditengah-tengah persalinan.

          Bayi perempuan lucu itu akhirnya lahir dengan berat 3.8 gram. Memang cukup besar untuk dipaksakan lahir secara normal, dengan segala resiko yang harus ditanggung ibu dan bayi.

          Ningsih sangat bersyukur anaknya lahir dengan selamat. Tapi tidak dengan sanak keluarga yang berkunjung. Banyak celetukan mereka yang membuat sakit hatinya sebagai seorang ibu.

          “Sayang ya anaknya tidak laki-laki”, “Harusnya lahiran normal saja, cecar itu kan menentang kodrat !”, dan masih banyak lagi celetukan yang tidak seharusnya dia dengar.

          Ningsih ingin menangis sejadi-jadinya. Kesedihan berulang kali menyusup ke relung hati. Dia lelah, sangat-sangat lelah ! Rasa itu perlahan berubah menjadi benci. Kebencian yang dia salurkan ke bayi mungil yang tidak berdosa.

          Beberapa kali dia mencoba mengatakan keadaannya kepada sang suami. Tetapi laki-laki itu mengatakan dirinya hanya kurang iman. Ningsih menggigit bibir, tak ada satu pun tempat dia bersandar. Dipendamnya semua kekesalan seorang diri.

          Hingga pada suatu pagi, Ningsih sedang menyusui bayinya dalam posisi tidur. Sejenak dia menutup mata, oleh rasa kantuk yang teramat hebat. Tentu karena dia semalaman begadang.

          Tiba-tiba ibu mertua sudah didepan pintu kamar dengan muka masam. “Sudah siang, kenapa tidur terus ? Nanti sel darah putihnya naik. Cepat mandikan anakmu !”. Ningsih tersentak kaget.

          Tanpa berkata apapun, dia bergegas ke kamar mandi dengan badan yang lelah. Bahkan dia belum sempat makan apa-apa dari kemarin malam.

          Tak ada seorang pun dirumah itu yang menanyakan kondisinya. Tak ada seorang pun di rumah itu yang bahkan menawarinya sesendok nasi untuk dimakan. Serasa semua tiada perduli dengannya. Orang-orang hanya menanyakan kondisi bayinya saja, tidak dengan perasaannya.

          Di dalam kamar mandi, bayi perempuan itu terus menerus menangis keras. Suara tangis bayi menggema di kepala Ningsih membuat dirinya diliputi rasa amarah.

          Marah terhadap suaminya, marah kepada mertuanya, bahkan dia marah atas hidupnya sendiri. Rasanya hanya dia seorang yang tidak berharga. Dia hanya ingin pulang, tapi tiada tempat untuk pulang dan mengadu.

      Dalam sekejap, pikirannya terhasut. Dia merasa itu bukanlah dirinya. Dirinya yang penyayang, yang ceria, dan yang selalu baik kepada semua orang. Dia telah benar-benar kehilangan dirinya sendiri. Kesenangannya terkubur dalam masa lalu. Sekarang sungguh dia tidak berdaya sebagai seorang perempuan.

      Pandangan Ningsih terlihat sudah kosong. Dia mencium bayi mungil didalam gendongannya. Air mata terjatuh, menetes diatas pipi bayi yang lembut. Bayi itu hanya menatap polos, tersenyum kearah ibunya sambil sesekali terisak. 

      “Ini terakhir kali ibu menciumi kamu nak… Pergilah ke tempat yang baik di atas sana. Tumbuh besar bersama bidadari-bidadari cantik. Kamu tidak akan pernah menangis, seperti saat kamu bersama ibu sekarang...”.

      Dibenamkannya kepala sang bayi ke dalam bak mandi yang berisi air hangat. Pelukan tangan di badan bayi terlepas. Dia pandangi bayi yang menjerit keras, yang nampak timbul tenggelam di dalam bak mandi.

      Ningsih seakan sangat menikmati pemandangan itu. Jemarinya memutar keran. Deras suara air keran beradu dengan jerit tangis suara bayi. Namun sekarang, suara-suara itu bagaikan irama melodi kesenangan untuknya.

      Wanita itu tertawa sekeras-kerasnya. Melepaskan semua yang selama ini dia pendam dalam diam. Bahkan dia sudah tidak ingat lagi, kapan terakhir kali dia bisa tertawa selepas itu. “Kamu sudah tenang ya nak, sudah tidak menangis lagi…”, Ningsih tersenyum puas, saat bayi itu diam dengan badan membiru yang telah kaku.

      Diangkatnya tubuh mungil sang bayi, lalu diberikan selimut. Didendangkannya lagu nina bobo. “Tidurlah yang nyenyak, anak ibu tersayang…”.

      Gemericik air keran semakin larut dalam nyanyiannya. Begitulah pagi itu semua berakhir. Bersama jerit kaget dan isak tangis seisi rumah. Hujatan bertubi-tubi tak ayal menghujani Ningsih. Namun wanita itu tak bergeming, matanya sayu mendekap bayi yang telah membiru tanpa suara.

      Deru sirine mobil polisi, mengiringi jejak langkahnya. Dengan senang hati ia berjalan. Menuju ke balik terali besi dengan mengenakan seragam oranye. Tempat terbaik untuk mendekam, menghabiskan sisa hidupnya yang sia-sia.

      Tetapi tak seorang pun tahu, bahwa bayi mungil itu masih hidup di dalam lubuk hatinya, tetap bertumbuh didalam bayang-bayang semu. Bahkan sesekali Ningsih mengobrol dan tertawa-tawa dalam kehampaan.

      Wanita itu begitu gembira melihat buah hatinya kini bermain bersama para malaikat. “Ibu, ayo kesini bersamaku !”, sekelebat suara halus kembali datang. Mulai mengajaknya berbicara dalam kesepian.

      Ningsih menyahut “Tunggu ibu sebentar lagi sayang. Tunggu ibu di tempat hangat yang tiada kesedihan. Tempat yang kau sebut sebagai surga yang indah itu”. Suara itu pun hanya membalas dengan cekikikan yang terdengar riang. Menggema beradu dengan pudarnya dinding ruangan sempit.

      Ningsih mendongakkan kepala ke atas. Dilihatnya cahaya masuk menerobos melalui celah-celah kecil di dinding ruangan. Cahaya itu bermuara, menyinari lantai keramik yang telah retak dan berlubang. Potongannya tergeletak begitu saja.

      Sudah enam tahun berlalu. Ruangan itu rupanya semakin tua dan lapuk. Cat temboknya pun mulai mengelupas. Bersaing dengan karat-karat pada terali besi.

      Dalam benaknya, tampak kali ini sang bayi mengulurkan tangan. Seolah memohon, meminta ibunya untuk menemani disana. Ningsih mengangguk mengiyakan. Sudah lama dia ingin memeluk kembali anaknya, dia sangat rindu.

      Wanita itu menuju ujung cahaya. Dia bahkan sudah tidak tahu, apakah itu cahaya mentari pagi, atau senja ? ataukah mungkin itu cahaya rembulan ?

      Diambilnya potongan keramik pecah dari salah satu sudut ruangan. Ujungnya yang runcing dia arahkan keperutnya. Baju oranye itu kini memerah. Sedetik kemudian wanita itu sudah tersungkur sembari menyunggingkan senyum. Dihirupnya nafas dalam-dalam untuk terakhir kali dengan perasaan bahagia. Sehembus nafas kebebasan.

Ikuti tulisan menarik NI WAYAN WIJAYANTI | CERPEN lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB

Terkini

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB