x

Perjuangan untuk menuju Destinasi Air Terjun Dolo Besuki Kediri

Iklan

Predianto

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 15 November 2021

Rabu, 17 November 2021 15:50 WIB

Pemecah Batu di Pinggiran Sungai Pacitan

Cerpen ini adalah kisah perjalanan dua orang pemuda Asal Ponorogo Jawa Timur menuju Kabupaten Pacitan yang memiliki misi misterius dengan pemandangan penuh misterius pula.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Ketika aku pergi ke Pacitan, aku mendengar bunyi mirip petasan kecil-kecil seperti yang dimainkan anak-anak ketika bulan puasa. Suara itu berasal dari gubuk-gubuk yang ada di bantaran sungai dari arah Ponorogo menuju Pacitan. Ternyata suara itu  bersumber dari  ayunan tangan para pemecah batu. Jika aku perhatikan secara lebih dekat lagi terlihat cucuran keringat memenuhi seluruh wajahnya.

Hujan akhir Oktober itu masih sering menipu. Kadang mendung tapi tidak hujan, kadang juga panas kemudian hujan datang secara tiba-tiba.

“Ah.. itu pasti air hujan, masa keringat sampai seperti itu.” Pikiranku mengatakan kepada diriku sendiri dan mencoba membuat kesimpulan berdasarkan pengamatan ketika itu.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

“Eh Jek! Itu menurutmu keringat apa air hujan yang membasahi mereka?” Tanyaku kepada Jeki untuk memastikan kesimpulanku sebelumnya.  

Tiba-tiba Jeki memperlambat laju kendaraanya dan perlahan menuju ke tepian jalan. Rem motor berbunyi seperti tikus kejepit. Gigi kendaraan juga dikurangi ke gigi 1.

“Kenapa jek kok berhenti?”

“Aku kebelet mau kencing ini.”

“Aduh. Kenapa nggak ngompol di celana saja, kan hujan! Haha”

Hujan menjadi tambah deras dan aku melangkahkan kaki menuju gubuk salah satu pemecah batu yang sudah tidak ada orangnya. Jeki berjalan cukup jauh hingga hampir tidak terlihat dipandang mata. Entah niatnya buang air dengan  menjauh dari keramaian itu apa. Alasan malu atau memang Jeki benar-benar ingin membuang sesuatu pada tempatnya.

Di gubuk pemecah batu itu aku memandangi semua sudutnya. Ada cikrak (wadah terbuat dari anyaman bambu), ada penjepit yang sudah, ada juga batu yang sudah terpecah dan belum siap untuk dipecah. Aku juga melihat semacam tali penghubung yang menyeberangi sungai lengkap dengan keranjang yang masih menggantung.

Aku amati tidak ada mesin penggerak. Semua seperti dilakukan manual. Manusia pemecah batu mungkin terbantu dengan alat itu. Atau mungkin alat itu yang merasa terbantu karena sudah difungsikan sebagaimana mestinya.

Sambil kedinginan akibat dari air hujan yang mulai meresap melalui celah-celah jas hujan aku memanggil Jeki yang tidak juga disudahi buang air kecilnya.

“Hoe Jek! Ayo lah. Kamu ini kencing apa cari rumput sih kok lama sekali!"

“Sabar dong! Aku sudah menahan kencing ini dari Ponorogo tadi tau nggak? Kaya mau pecah rasanya!”

“haha. Hati-hati kalau pecah jadi bocah lo nanti!”

“Ah. Kamu ini! Ayo kita teruskan perjalanan! Pantai Pacitan sudah menunggu kita!” Jeki menaiki motor dan langsung menstater sambil menengok ke arahku dengan bulu matanya naik-turun seperti ada maksud terselubung.

“Ha..Pantai?”

“Iya. Kan mumpung ke Pacitan! Nggak apa-apa kan sambil menyelam minum air?”

“Gundulmu itu! Kita ke Pacitan bukan untuk liburan!”

Akhirnya kita meneruskan perjalanan dengan hujan yang masih saja mengguyur sepanjang jalan. Ada sedikit kekhawatiran dalam setiap perjalanan. Bukan khawatir karena kami tidak tepat waktu sampai tujuan. Tetapi khawatir tebing yang ada di samping jalan sewaktu-waktu akan longsor dan menimbun kita berdua.

“Jangan ngebut Jek?” Aku menepuk pundak Jeki bermaksud mengiangatkanya.

“Kenpa? Kamu takut tebing akan longsor?”

“Hust. Jangan ngomong asal ngomong saja kamu ini Jek!”. Aku menghertak Jeki sambil memukul helmnya dari belakang.

“Kamu ini tidak lihat tukang pemecah batu tadi ya?, Dia setiap hari berhadapan dengan tebing dan jurang di tepi sungai. Sambil memecah batu seakan-akan menjaga keseimbangan  agar tidak jatuh ke jurang dan bagaimana agar selamat dari tebing!”. Jeki menuturkan kepadaku sambil memperlambat laju kendaraan sesuai dengan permintaanku.

“Iya. Aku tahu! Tapi, kan mereka sudah terbiasa!”

“Berarti rasa takut dan tidak takut itu kan tentang kebiasaan! Sudahlah ngikut saja yang dibelakang itu. Jika kamu dibonceng sudah terbiasa kencang, terbiasa lambat dan terbiasa di segala medan, percayalah ketakutan itu akan musnah dengan seiring kebiasaan yang kita lakukan.”

“Hmmm. Kau ini memang dasarnya sudah ngeyel dari lahir!”

Jalanan naik-turun, kelak-kelok mulai menghilang. Dari yang semula perjalanan hanya dihiasi tebing dan gubuk pemecah batu berubah menjadi rumah, kantor, toko atau supermarket, tugu selamat datang, tiang listrik lengkap dengan lampunya dan pedagang-pedagang pinggiran jalan yang beragam jenisnya.

Kumandang adzan maghrib terdengar dari toa-toa masjid di Kota Pacitan. Hujan juga mulai mereda dan kami memutuskan untuk mengistirahatkan sembari menyempatkan sembahyang disalah satu masjdi dekat jalan Raya.

“Istirahat di sini saja dulu Jek!”. Aku menepuk punggung Jeki sambil menunjuk masjid yang aku maksud.

“Oke siap!”

Dalam momen setengah ribet ketika melepaskan jas hujan yang aku kenakan, tiba-tiba ada bapak-bapak memakai sepeda dan memarkirkanya di dekat kami.

“Eh Nak kamu kan yang kencing di pinggir jalan dan kamu yang menunggu di gubuk pemecah batu tadi ya?”

“Loh. Bapak siapa?”

“Hahaha.”

Tanpa menjawab Bapak itu hanya tertawa dan berjalan begitu saja menuju masjid dengan kopyah putih dan sajadah dipundaknya.

Ikuti tulisan menarik Predianto lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler