x

Iklan

Siti Khotimatun Hasanah

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 9 November 2021

Jumat, 19 November 2021 06:21 WIB

Dia (Bukan) Kakakku


Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Ibu merupakan istri kedua ayah. Stigma istri kedua yang membuat orang-orang memandang sebelah mata masih berlaku sampai saat ini, terlebih ibu memutuskan bercerai dan pindah ke kota lain saat usiaku belum genap empat tahun. Di kota tersebut kami mengontrak rumah tiga petak.

Waktu itu aku masih terlalu belia untuk memahami apa yang terjadi, hingga aku tumbuh menjadi remaja baru kuketahui makna perceraian, dan aku tidak pernah berani bertanya pada ibu apa alasannya.

Suatu hari ibu mulai sakit-sakitan, ibu dikeluarkan dari tempatnya bekerja. Sekian lama tidak ada pemasukan, perlahan uang simpanan ibu habis—untuk membeli obat, biaya sekolahku, dan makan sehari-hari. Saat kondisi kekurangan itulah aku baru tahu kalau ternyata sejak ibu bercerai, ayah tidak pernah memberi kami nafkah.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Demi menyambung hidup, setiap pulang sekolah aku memutuskan untuk usaha berjualan gorengan keliling. Aku nyaris dikeluarkan dari sekolah karena beberapa bulan menunggak bayar uang SPP. Beruntungnya wali kelasku berbaik hati mau menombok semua tagihan. Aku berniat akan mengganti uang tersebut, namun beliau bilang jika aku nanti lulus dengan peringkat tiga besar, maka aku bebas untuk tidak menggantinya.

Setiap hari aku berjuang keras, antara belajar dan berjualan. Walau keadaan sering kali terjepit, aku tetap bahagia karena ada ibu yang selalu menyemangatiku. Beliau sempat tidak tega melihat rutinitasku setiap hari: pagi sampai siang sekolah, pulangnya jualan gorengan, malam harinya belajar demi nanti mendapat peringkat terbaik.

Suatu hari, tanpa sepengetahuanku, saat aku bersekolah, ibu nekat pergi keliling untuk berjualan. Aku terkejut begitu pulang mendapati beberapa tetangga berkerumun di rumah kontrakan kami, salah satu di antara mereka menemukan ibu jatuh pingsan di mulut gang sebelah, kemudian mengantarnya pulang. Setelah peristiwa itu, aku melarang ibu melakukannya lagi.

Aku mengerti perasaannya, dia tidak ingin kehilangan peran sebagai ibu yang baik. Dia ingin berjuang keras demi aku, putri semata wayangnya.

***

 

Hari kelulusan tiba, hari yang bahagia seharusnya, karena aku akhirnya berhasil meraih peringkat pertama. Bukan hanya bebas dari membayar tagihan SPP seperti yang dijanjikan guru wali kelas, aku juga mendapat beasiswa kuliah di universitas incaranku.

Namun, semua kebahagiaan yang kuperoleh hari itu sirna sudah saat aku membawanya ke rumah.

Aku menemukan ibu berbaring di kasur. Wajahnya pucat, bibirnya kering, senyumnya layu, dan sorot matanya redup. Belakangan ini kesehatan ibu memang memburuk.

Ibu tersenyum saat melihatku masuk ke kamarnya, tapi sebaliknya, senyumku justru langsung pudar ketika melihat kondisinya.

Aku duduk di tepi ranjang, membantu ibu duduk bersandar dengan bantal. Persis di samping tempat tidur terdapat meja kecil, ibu mengambil selembar kertas yang dilipat dan amplop berwarna putih yang tergeletak di sana—entah sejak kapan.

Ibu membuka lipatan kertas itu. Potongan surat kabar. Ibu pasti menemukannya saat memilah tumpukkan koran yang biasa digunakan untuk membungkus gorengan.

Ibu memintaku untuk membacanya. Sebuah berita tentang penulis muda yang produktif berkarya. Cerita-cerita pendeknya sering dimuat di media massa, di usianya yang belum menyentuh angka 25 sudah melahirkan puluhan novel. Dua di antaranya berhasil menarik rumah produksi untuk mengangkatnya ke layar lebar. Dia seorang perempuan dengan nama pena “Mai”, menolak diambil gambar wajahnya. Keproduktifitasnya dalam berkarya, serta kemisteriusannya itulah yang membuat dia memiliki banyak penggemar. Teman-teman di sekolah banyak yang menyukai karya-karyanya. Bahkan aku juga. Setiap kali menyempatkan berkunjung ke perpustakaan, karya Mai adalah incaran pertama kali yang kubaca.

Apa maksud ibu menunjukkan potongan berita ini? Apa ibu ingin aku seperti Mai?

“Kau kenal penulis itu, Naf?” tanya Ibu. Suaranya lemah.

Aku mengangguk, maksudnya kenal karyanya.

Ibu tersenyum. “Ibu berbahagia atas kelulusanmu. Kau anak Ibu yang hebat. Ibu tidak pernah meragukan itu.”

Tanganku diraihnya, kemudian digenggam erat. Aku menghindari tatapan matanya yang sayu. Dalam kondisi seperti ini, sungguh aku takut mendengar apa pun dari mulut ibu, aku takut jika itu kalimat terakhir.

            “Datangi alamat media massa ini. Katakan bahwa kau ingin bertemu Mai, sampaikan bahwa kau membawa jawaban atas pesan yang terselip di cerita pendeknya yang dimuat edisi 5 Mei. Ketika kau berhasil menemui orang yang bernama Mai itu, berikan amplop ini padanya.” Ibu menyodorkan amplop putih padaku.

            “Jangan pergi sampai Mai membuka amplop ini dan membaca isinya.”

Kali ini aku memberanikan diri menatap ibu. Wajahnya terlihat sangat memohon, seolah penting sekali orang yang bernama Mai itu mengetahui isi amplop ini. Aku tidak peduli apakah nantinya orang seperti Mai mau menemui anak berpenampilan miskin sepertiku, yang kupedulikan saat ini hanyalah ibu. Wajahnya, ada secercah kebahagiaan ketika melihatku mengangguk.

            “Sudah waktunya Ibu makan siang dan minum obat. Biar Naf ambilkan.” Aku undur diri, pergi menuju dapur dan mengambilkan makan siang untuknya. Aku berusaha membuang jauh-jauh pikiran yang tidak pernah kuharapkan.

Piring di tanganku jatuh, isinya berceceran di lantai. Ketika aku kembali ke kamar ibu, aku langsung kalap begitu melihat napasnya tersendat-sendat.

Aku berteriak, terus memanggil ibu, memintanya untuk tidak menutup mata. Aku menggenggam erat-erat tangannya, aku tidak ingin melepaskan tangannya. Aku … aku tidak pernah bisa.

“Jangan tinggalkan Naf sendirian, Ibu. Naf mohooon.”

Aku mengguncang-guncang tubuh ibu ketika tarikan napasnya berhenti. Tepat ketika matanya redup sempurna, air mataku terjatuh, bersusulan, amat deras, tanpa sanggup kubendung.

Apalah arti peringkat pertama, apalah arti beasiswa, ketika aku kemudian kehilangan semangat hidupku, sebagai satu-satunya yang kupunya.

***

 

Dua minggu setelah kepergian ibu, aku baru memenuhi permintaan terakhirnya. Pergi ke alamat media massa.

Orang yang memakai topi dan masker ini membaca dengan saksama isi surat yang aku serahkan. Seperti pesan ibu, aku tidak boleh pergi sebelum orang ini selesai membacanya.

Di luar sana tidak ada yang menduga kalau seorang miskin sepertiku bisa duduk bersama dengan penulis tersohor. Mungkin seharusnya aku bahagia mendapatkan kesempatan spesial ini, sayangnya rasa bahagiaku sudah dibawa pergi bersama ibu.

            “Nafisa Aulia.”

Penulis tersohor bernama Mai ini tahu nama lengkapku? Apa ibu yang menuliskannya di dalam surat itu?

Aku berkedip dua kali, kemudian terkejut ketika tiba-tiba Mai membuka maskernya dan langsung memelukku.

            “Aku sudah lama mencarimu.” Dia terisak, aku membiarkannya begitu tanpa membalas pelukannya.

Beberapa jenak kemudian dia melepaskan pelukannya, mengeluarkan selembar foto agak buram dan menunjukkannya padaku.

            “Ini kau, dan ini aku.” Menunjuk dua anak kecil di dalam foto tersebut.

Mataku membelalak, tentu aku tahu foto itu, ibu sering memperlihatkannya padaku sambil bilang, “Ini saudara tirimu. Zakiya Mardhiya. Panggil dia kakak. Dia juga punya adik laki-laki, sayangnya ibu tidak punya fotonya. Nanti, kau harus selalu menjaga hubungan baik dengan mereka.”

Kenapa foto itu ada padanya?

            “Akulah Zakiya Mardhiya, Dik. Berkat ibumu, aku merasakan hangatnya kasih sayang seorang ibu.” Ada butiran air yang menggantung di sudut matanya.

Dulu, dalam hati aku selalu kesal setiap kali ibu menceritakan tentang saudara tiriku. Menurutku karena merekalah yang membuat nasib kami seperti ini. Semua orang selalu menganggap orang kedua adalah pihak yang salah, pihak yang menjijikkan, perusak kebahagiaan orang pertama. Padahal keegoisan orang pertamalah yang membuat kami sebagai pihak kedua tidak mendapatkan hak-haknya.

            “Kalian tidak pernah salah. Ibumu tidak pernah bersalah. Aku bersyukur pesanku sampai pada ibumu, aku selalu tahu, kapan pun ketika cerita pendek yang berisi sebuah pesan penting sampai ke ibumu, saat itu pula ibu pasti langsung memahaminya. Tapi aku bersedih karena tak punya kesempatan untuk memeluknya terakhir kali.” Mai terisak sekali lagi, menutup wajahnya dengan kedua tangan.

Lima belas tahun usiaku, yang berarti sekitar sebelas tahun aku tidak pernah melihat kakak tiriku lagi. Tidak ada satu pun kenangan yang kuingat saat bersamanya, saat itu aku terlalu belia untuk memahami sebuah kenangan. Setelah berpisah dengannya, selama itu aku tak pernah memercayai semua cerita ibu tentang saudara tiriku. Hingga saat ini aku melihat langsung air mata seorang Zakiya Mardhiya.

Tulus. Ibu tidak bohong, aku bisa merasakan ketulusannya.

Ibu … kebahagiaanku yang sempat ikut pergi bersamamu, kini telah kembali. Rasa bahagia itu telah berpulang ke hatiku, diantar oleh sebuah pelukan dari seseorang yang sering ibu ceritakan. Dia, Zakiya Mardhiya, kakakku.

***

 

Salah satu isi pesan surat itu, ibu menitipkan aku pada Kak Mai—yah, aku mulai membiasakan diri memanggilnya dengan sebutan “Kak”. Setelah hampir empat bulan tinggal bersamanya, akhirnya aku tahu persoalan apa yang terjadi antara ibuku, ibunya, dan ayah. Sebuah persoalan pelik orang dewasa, yang dijelaskan bagaimanapun tidak semua orang bisa memahami dan menerimanya. Satu hal yang pasti: aku menerima Zakiya Mardhiya sebagai kakakku, tapi tidak dengan ibunya.*

Ikuti tulisan menarik Siti Khotimatun Hasanah lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB

Terkini

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB