x

Akarsana itu pusat semesta, sedangkan Cempaka hanyalah bintang kecil yang redup.

Iklan

yan

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 13 November 2021

Jumat, 19 November 2021 06:23 WIB

Cempakarsana: Pusat Semesta dan Bintang Kecil

Akarsana itu seperti matahari, sosok pusat semesta; bersinar terang dan membuat orang-orang menyukainya. Sedangkan Cempaka hanyalah satu dari sekian bintang di langit, tetapi ia kecil dan redup. Tidak akan pernah menjadi cocok untuk bersama Akarsana.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Akarsana itu seperti matahari, pusatnya alam semesta; ia bersinar terang. Semua orang mencintainya, menghargainya, menyayanginya, dan semua orang menginginkannya.

Kemudian Cempaka hanyalah sesosok bintang kecil di langit; kecil, redup, tidak dapat bersinar sendiri, dan tidak akan pernah cocok bila disandingkan dengan Matahari.

Tapi seringkali Cempaka bertanya pada semesta, kenapa justru memilihnya di saat banyak orang yang lebih cantik dan lebih bersinar dari dirinya?

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Akarsana tidak pernah menjawab hal itu, hanya menyunggingkan senyum sembari mengacak-acak rambutnya. Kemudian mengalihkan pembicaraan guna membuatnya lupa akan apa yang ia pertanyakan sebelumnya.

Hanya saja, Cempaka tidak pernah lupa. Justru dirinya semakin merasa kecil bila terus berada di samping Akarsana, di saat banyak orang di sekelilingnya menatap dengan tatapan menilai seakan berkata, “Apa yang perempuan itu punya hingga Akarsana Danurdara bertekuk lutut di hadapannya? Mereka bagaikan langit dan bumi, jauh sekali. Tidak ada kecocokan sedikitpun.”

Kemudian biasanya ia akan menjauh dari Akarsana. Kabur sejauh mungkin dari Akarsana, yang mungkin saja cowok itu sadar akan tingkahnya.

Seperti sekarang.

Gerombolan cewek eksis datang ke meja kantin tempat keduanya duduk, lalu dengan tidak tahu diri mendorong ia—yang duduk tepat di samping Akarsana—menjauh, lantas mengambil alih perhatian Akarsana sepenuhnya. Tangan cewek yang menurutnya adalah sosok matahari lain selain Akarsana, bergelayut manja seakan tidak mau ambil pusing perihal pacar dari orang yang digelayuti berada di sana. Menonton semuanya.

“Karsa, kamu udah makan? Kalo belum, ayo makan bareng aku,” ucap cewek itu yang entah namanya siapa Cempaka tidak mau tahu. Kemudian tangannya bergerak seperti memanggil temannya untuk mendekat, lantas menyuruh salah seorang di antaranya pergi memesan makanan.

Cempaka menggigit bibirnya, tak kuasa melihat kemesraan kedua orang itu yang sialnya (ia tidak mau mengakui) sangat cocok. Akarsana pun tidak terlihat terganggu. Maka, daripada makin menyakiti diri sendiri, ia bangkit dan pergi dari sana. Kabur dari Akarsana. Menjauh dari matahari yang bersinar terang, mencari kegelapan untuk sembunyi.

Bersembunyi ia di dalam salah satu bilik toilet, mengabaikan segala macam panggilan telepon dari Akarsana, pun sama sekali tidak menyempatkan diri untuk sekadar membaca pesannya. Tapi karena cowok itu terus menelepon sampai sepuluh menit berikutnya, akhirnya ia mengirimkan pesan yang berisi pemberitahuan kalau ia sudah pulang duluan, mendadak ada urusan penting. Sembari berharap dalam hati kalau alibinya akan dipercaya.

Karsa <3: Bohong, kan?

Karsa <3: Kamu masih ada di kampus

Memilih untuk tidak membalas, Cempaka menonaktifkan ponselnya, lantas memasukkan benda pipih itu ke dalam totebag yang dibawa, sebelum menyandarkan punggung seraya menghela napas panjang dengan kedua mata terpejam.

Samar-samar telinganya mendengar pintu yang terbuka, lalu ada suara langkah kaki lebih dari satu orang yang memasuki toilet sambil mengobrol. Inginnya, ia tidak menaruh perhatian pada orang-orang itu tetapi ketika mendengar namanya dan Akarsana disebut, mau tidak mau ia pasang telinga, mencoba menguping.

“Akarsana ganteng banget, ya!” Ini persis seperti suara cewek yang tadi bergelayut pada lengan Akarsana di kantin. “Menurut kalian, Akarsana cocok kan sama gue? Soalnya dia diem aja gue peluk-peluk tadi, bahkan nggak peduli sama ceweknya!”

“Iya, Ratu. Harusnya Akarsana pacaran sama lo, bukan sama Cempaka. Kalo kalian beneran pacaran, pasti bakal jadi couple goals di kampus.”

“Bener!” sahut yang lain. “Apa ya yang bikin Akarsana mau pacaran sama si Cempaka? Dia, kan, nggak cantik. Jauh, lah, kalo dibandingin sama Ratu.”

Mendengar semua percakapan itu membuat bahu Cempaka turun, bibirnya melengkung ke bawah, pelupuk matanya dipenuhi air yang mengaburkan pandangan. Ia menutup wajahnya menggunakan kedua tangan, sembari menggigit bibir menahan rasa sakit yang membuncah di dada kala mendengar semua pembicaraan itu.

Ia juga selama ini bertanya-tanya kenapa Akarsana menembaknya. Kenapa Akarsana memilihnya, dari sekian banyak perempuan yang menginginkannya?

Kenapa harus Cempaka?

“Pernah kepikiran nggak, sih, kalo Akarsana pacarin si Cempaka tuh buat main-main aja? Soalnya, kan, mereka pacaran gak ada romantis-romantisnya.”

Jangan-jangan apa yang dikatakan itu memang benar?

Bahwa Akarsana Danurdara selama enam bulan ini hanya bermain-main di dalam hubungan mereka? Karena itu hal yang mungkin. Yang tidak mungkin adalah Akarsana benar-benar jatuh cinta kepadanya.

Lama sekali rasanya ia menunggu mereka yang malah asyik mengobrol di luar sana untuk segera pergi dari toilet. Kemudian ketika sudah keluar dan membasuh wajah serta merapikan penampilan, ia menyalakan kembali ponsel yang tadi dinonaktifkan. Jemarinya sibuk menggulir layar mencari kontak Akarsana untuk kemudian dikirimi pesan singkat.

To: Akarsana

Bisa besok kita ketemu di alamat yang aku kasih? Gak usah jemput, kita ketemu di sana aja.

Terkirim.

Kepalanya mendongak menatap langit-langit toilet yang berwarna putih, menarik napas panjang sebelum kemudian kembali ke posisi semula sambil mengembuskannya perlahan, lalu berjalan keluar dari toilet.

Besok.

Lebih baik ia akhiri segalanya.

---

Akarsana itu pusat semesta.

Magnet dari segala magnet yang mampu menarik semua makhluk ke dekatnya. Sosok yang bersinar terang, bukan yang menyilaukan. Ia memberi hangat kepada siapapun yang berada di dekatnya. Parasnya rupawan, senyumnya bagai candu, suaranya membuat nyaman.

Entah sadar atau tidak, cowok itu semakin lama semakin menarik Cempaka ke dalam pesonanya. Jatuh semakin dalam.

Takut dan tidak percaya diri sangat tepat mendeskripsikan tentang yang ia rasakan tiap berada di dekat cowok pusat semesta itu.

“Cempaka!”

Tapi tidak pernah berani ia menyalahkannya, sosok pertama yang mampu membuat ribuan kupu-kupu hinggap di perut, atau merubah warna wajahnya menjadi semerah tomat hanya karena kata-kata yang terlontar dari bibir tipisnya. Hanya Akarsana Danurdara yang mampu membuatnya jatuh cinta sedalam ini. Untuk pertama kali.

Ia berjalan mendekati cowok yang melambaikan tangan sambil memasang senyum lebar itu. Langkahnya ragu, mendadak berpikir ulang tentang rencananya hari ini.

Matanya melebar tatkala seseorang menarik tangannya. Akarsana menariknya untuk duduk di samping cowok itu. Keduanya terdiam sebentar dengan pikiran masing-masing.

“Cempaka,” panggil Akarsana, melihatnya. “Kemarin, kamu marah?”

Cempaka menatapnya sekilas sebelum kembali menunduk menatap kakinya yang bergerak gelisah. Kepalanya menggeleng pelan.

“Oke…,” jawab Akarsana pada akhirnya. “Aku kira kamu marah karena tingkah Ratu kemarin.”

Dengan cepat ia memalingkan wajah menatap Akarsana, lalu kembali berpaling. “Enggak, kok. Kemarin beneran ada urusan mendadak.”

“Urusan mendadak tapi satu jam setelah aku kirimin pesan, keluar dari toilet fakultas mukanya sembab?"

“Karsa!”

Akarsana menarik kedua tangannya, menggenggamnya lembut, tatapannya mampu membuat siapapun mematung di tempat karena degup jantung yang mendadak bertalu-talu. “Maaf. Waktu Ratu peluk-peluk aku, aku udah berusaha ngelepasnya. Maaf udah buat kamu nggak nyaman, atau nangis karena yang kemarin.”

Ia mungkin tidak sanggup.

“Aku mau ngomongin hal ini,” katanya penuh penekanan setelah menarik napas panjang. Genggaman tangan Akarsana di tangannya dilepas. “Karsa, aku pikir, lebih baik kita selesai.”

“Apa maksudnya?”

Ia pejamkan mata barang sebentar sebelum menjawab. “Kita selesai. Aku, kamu, putus.”

“Enggak!” Suara Akarsana meninggi. Matanya melotot dan rahangnya mengeras. Air mukanya berubah drastis. “Kenapa kamu tiba-tiba bilang putus, Cempaka? Gara-gara kemarin? Aku udah jelasin ke kamu, kan?”

Ia menggeleng kuat-kuat tanpa menatap Akarsana. “Aku ngerasa kita nggak akan pernah cocok.”

“Cuma kamu yang ngerasa begitu!”

“Iya memang cuma aku yang ngerasa kita nggak cocok!” Akhirnya ia berteriak. Rasanya perih, seperti luka yang diberi air perasan jeruk. Ia ingin segera pulang dan akhiri ini semua. “Tapi orang-orang bukan cuma ngerasa kita nggak cocok, mereka benci hubungan kita. Mereka benci aku, Karsa. Dan hal itu buat aku benci diriku sendiri. Kenapa kamu, si pusat semesta, pilih aku? Di saat di luar sana banyak orang yang lebih bersinar daripada aku, yang lebih cocok bersanding sama kamu. Bukan aku, Karsa.

“Aku nggak cantik, nggak pintar, nggak ada yang bagus dari aku, aku cuma bintang redup yang lebih cocok berada di kegelapan. Nggak di sampingmu, matahari, pusat semesta. Kamu seharusnya nggak mungkin suka aku. Aku realistis. Pusat semesta kayak kamu, harusnya suka ke pusat semesta juga, contohnya Ratu. Bukan aku. Bahkan, kemarin, aku mikir kamu ajak aku pacaran cuma untuk main-main.”

Akarsana membuka mulut hendak menyanggah, tetapi ia keburu bangkit. Berdiri berhadapan dengan Akarsana yang duduk di kursi. Tangan Akarsana meraih tangannya, menggenggamnya kuat. “Aku sayang kamu, Karsa. Makanya, aku pikir, lebih baik untuk aku lepas kamu sekarang. Demi kebaikan kita juga, lalu kamu bisa bersama dengan orang yang sudah sepantasnya ada di sampingmu. Bukan aku.”

Ia pamit, menjauh dari sosok Akarsana dengan air mata yang mengalir menuruni pipi. Tanpa sadar bahwa sosok yang ia tinggal jatuh berlutut di tanah dengan tetes air mata jatuh ke tanah.

---

Tiga bulan berikutnya, semua berjalan normal. Yang berbeda hanyalah tidak ada lagi Akarsana yang menemaninya di sini. Cowok itu sudah kembali menjadi dirinya sendiri dan bersikap seolah mereka tidak pernah memiliki hubungan sebelumnya. Ia juga mencoba melakukan hal yang sama, walau terkadang disempatkan menangis tentang rasa menyesal ditambah rasa bersalah.

“Cempaka,” panggil seseorang yang membuatnya kembali ke realita. Gelagapan, buru-buru berpaling karena ia lihat Akarsana balik menatapnya.

“Halo, Yoga! Ada yang bisa gue bantu?” tanyanya dengan nada yang berusaha terdengar ceria.

Prayoga adalah cowok yang berada di angkatan yang sama dengannya, beda dengan Akarsana yang satu tahun di atas Cempaka. Dalam tiga bulan terakhir, entah bagaimana bisa ia tiba-tiba menjadi dekat dengan Prayoga. Yah, hitung-hitung Prayoga bisa mengalihkan pikirannya dari Akarsana.

“Bisa ngomong sebentar selesai kuliah nanti?”

Ia miringkan sedikit kepalanya, mengerjap bingung sebelum membalas, “Oke?”

Selesai kuliah, sesuai ajakan cowok itu, mereka berbicara di sudut pojok kampus yang jarang terjamah manusia. Merinding ia dibuatnya karena diajak berbicara di sana, tetapi masih berusaha berpikir positif karena mungkin saja Prayoga mengajaknya bicara di sana karena hal ini sangat privasi.

Sore itu, ia tidak tahu harus bagaimana dengan apa yang ia dengar dari mulut Prayoga.

Cowok itu mengajaknya berpacaran.

Malamnya hujan deras, Cempaka bergelung di dalam selimut yang membungkus tubuhnya seperti telur gulung. Berguling ke sana kemari sambil berpikir tentang perkataan Prayoga sore tadi.

Omong-omong tentang hujan deras, Akarsana itu benci hujan. Biasanya cowok itu akan meneleponnya sambil menyetel musik kencang-kencang sampai hujan berhenti—dan kenapa ia harus memikirkan Akarsana saat ini.

Sedang asyik melamun, tiba-tiba ia mendengar pintu rumah yang digedor seperti niat ingin menghancurkan pintu. Cempaka melompat kaget hingga jatuh dari kasur dengan tubuh masih terbungkus selimut, lalu melepaskan diri dan berlari keluar kamar, membukakan pintu untuk tamu yang tidak sabaran.

“Maaf kalo nyari Mama atau Papa, semuanya lagi per—”

Omongannya terputus. Seseorang menarik rengkuh badannya. Pelukan itu membuat tubuhnya basah karena sosok yang memeluknya juga basah kuyup. Sudah pasti hujan-hujanan datang ke rumahnya. “Karsa?!” pekiknya begitu sadar akan sosok yang tengah memeluk tubuhnya.

Ia berusaha sekuat mungkin untuk melepas pelukan itu karena mulai merasa dingin, tetapi kekuatan Akarsana benar-benar bukan main kuatnya. Sehingga ia hanya bisa pasrah.

“Cempaka,” panggil cowok itu.

“Ya?”

“Maaf. Buat semuanya. Maaf kalau keberadaanku bikin kamu merasa kecil dan nggak pantas, maaf. Aku nggak bermaksud.” Cowok itu makin mengeratkan pelukannya. Sekarang, ia merasa pundaknya—tempat kepala Akarsana berada—basah oleh air. Ia diam di tempat tanpa niat membalas. “Cempaka, jangan pergi lagi. Aku mohon.”

Sudah cukup.

“Karsa, kamu basah kuyup. Kamu harus pulang. Sekarang.”

Yang diajak bicara bersikeras menggeleng. Cempaka baru sadar kalau tubuh Akarsana bergetar dan ia baru ingat kalau cowok itu takut akan hujan. Tapi ia datang ke rumahnya hujan-hujanan.

“Karsa, kalo kamu lupa, kita udah se—”

“Enggak.” Akarsana menggeleng. “Itu cuma keputusan sepihakmu, aku nggak pernah setuju. Selama ini aku berusaha keras buat jauh dari kamu, sesuai keinginan kamu. Tapi rasanya susah banget. Dan aku nggak bisa pasrah ikutin kemauanmu, apa lagi karena temenmu si Prayogi—”

“—Prayoga?”

“—Ya itu pokoknya, aku nggak peduli siapa namanya. Kamu punya aku, bukan punyanya. Kamu nggak boleh terima dia walaupun dia tipemu. Gak boleh.” Kepala Akarsana di pundaknya menggeleng.

Setelah sekian lama menunggu, akhirnya pelukan dilepas. Cowok itu menangkup wajahnya, tatapannya sendu. “Cempaka, maaf. Buat semuanya. Tapi yang harus kamu tahu, aku sayang kamu itu bukan kepalsuan. Terus kenapa aku sukanya kamu? Perasaan nggak bisa milih ke mana mau berlabuh, dan orang yang aku suka itu kamu. Tanpa alasan. Jangan suruh aku untuk sama yang lain, karena yang aku mau cuma kamu.”

Mereka berdua diam.

Sampai tiba-tiba, tanpa permisi, ia menangis.

“Cempaka? Ma-maaf!” Akarsana panik mengusap pipinya, menghapus air mata yang mengalir. “Maaf. Kamu nggak suka aku, ya? Maaf udah maksa kamu. Kalo kamu suruh aku pergi sekarang, aku akan pergi dan nggak pernah ganggu kamu lagi.”

Ia menggeleng sambil sesenggukan, menahan tangan Akarsana dengan tangannya. “Tapi aku nggak cocok sama kamu. Yang ada, kalo kamu tetep sama aku, kamu bakal malu.”

“Aku nggak pernah ngerasa malu milikin kamu.”

Tangisnya makin kencang. Akarsana makin panik dibuatnya.

Malam itu, mereka kembali bersama.

Ikuti tulisan menarik yan lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler