x

Ilustrasi pembunuhan. FOX2now.com

Iklan

Yulianus Degei

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 17 November 2021

Jumat, 19 November 2021 15:20 WIB

Anak Bernasib Malang

Cerpen ini menceritakan sebuah peristiwa yang terjadi di Paniai, Papua. Dilatar belakangi oleh seorang anak laki-laki malang yang meimiliki banyak impian yang ingin iya capai namun terkubur dengan tubuhnya didalam tanah.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Anak itu duduk termenung dibelakang rumahnya. Menikmati indahnya suasana pagi yang membuatnya  tersenyum lega. Menghirup udara segar dari alam sekitarnya yang selalu memberinya hidup setiap hari. Pagi ini ia sangat berbahagia, kerinduannya untuk ke sekolah sudah tak dapat terbendung lagi, padahal dia selalu rajin untuk pergi ke sekolah setiap hari. Ia tak sabar sekali untuk kembali ke sekolah lagi.

Awebi, anak berkulit coklat, berambut keriting, berbadan tinggi langsing itu membayangkan begitu banyak impian yang ia ingin capai. Iapun berhenti menghayal ketika ia dipanggil oleh orang tuanya.

“Ayah, ibu, maafkan saya ya,” Awebi memulai obrolan didalam rumah yang beratap daun pandang, beralas kulit kayu yang mulai kusam dan lapuk.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

“Kenapa Awebi meminta maaf?” Tanya ayahnya yang wajahnya mulai keriput dan rambutnya sudah memutih.

“Karena saya belum dapat membahagiakan ayah dan ibu, saya masih SMA,” jawab Awebi sambil menunduk lesu.

“Anakku, dengar mama baik-baik. Kamu itu pintar dan semangat untuk ke sekolah, selalu rajin belajar, juga tidak pernah lupa untuk pergi ke Gereja, bahkan senang untuk membantu orang tua, dan kamu itu anak baik, itu semua cukup untuk membuat mama dan bapa bahagia sekali,” ujar mamanya menenangkan hati Awebi yang sedang lesu.

“Nak, yang mama bilang itu benar sekali, apalagi kamu selalu dapat juara ketika kamu diikutkan olimpiade dari sekolah,” tambah ayahnya.

“Misalnya kita punya banyak uang, saya yakin sekali bahwa kamu akan sukses dan jadi orang hebat dikelak nanti nak,” keluh ibunya sambil manjatuhkan air mata.

“Mama, jangan menangis. Bapa ini masih kuat untuk bekerja jadi bapa akan berusaha untuk mencari uang. Apalagi Awebi bisa cari uang sendiri sambil sekolah,” jelas ayahnya mencoba menenangkan istrinya.

“Iya mama…bapa, masalah biaya jangan kwatir, saya bisa kerja cari uang sambil sekolah, bapa juga tidak perlu kerja keras, saya sudah besar dan bisa cari uang sendiri,” Awebi mencoba menghibur orang tuanya.

“Tapi, ayah…ibu, kadang-kadang saya merasakan ketakutan sekali,” kata Awebi membuat orang tuanya bingun.

“Nak, kenapa kamu merasa takut begitu?” Tanya ayahnya.

“Iya nak, apakah kamu takut putus sekolah suatu saat nanti, atau kenapa?” Ibunya tambah bertanya.

“Pak…bu, bukan begitu, yang saya takutkan adalah terkait permasalahan antar TNI dan OPM yang terjadi di Papua ini. Teman-teman dan guru-guru di sekolah selalu berbicara tentang pembunuhan yang terjadi di Papua saat ini. TNI membunuh orang Papua tanpa memandang dan membedakan, sementara OPM membunuh TNI tanpa ampun. Sekolah dan Gereja dibakar, rakyat sipil lari ke hutan, tidak ada yang tahu dengan nasib mereka. Semua itu membuat saya sangat terpukul dan takut,” jawab Awebi menjelaskan sebab dari ketakutannya kepada ayah dan ibunya sambil menjatuhkan air matanya.

“Oh itu benar, ayah juga sering berpikir begitu, tapi yang penting kamu jangan ikut-ikutan dalam masalah itu, tugas kamu adalah belajar, agar kelak nanti kamu dapat membantu mendamaikan perselisihan ini,” kata ayahnya untuk membantu menenangkan hati anaknya yang sedang sedih.

“Nak, pada suatu saat nanti, semua itu akan aman dan selesai jadi sekarang kamu fokus saja untuk belajar. Anggap saja semua peristiwa itu sebagai pengalaman yang dapat kamu pelajari,” tekan ibunya agar Awebi tidak takut lagi.

“Iya ma…pa, saya akan berusaha untuk tidak takut lagi, dan saya akan menjadikan semua ini menjadi pelajaran yang dapat saya pelajari,” kata Awebi menanggapi nasehat ayah dan ibunya.

Keluarga kecil ini kembali termenung dalam keheningan sambil menikmati umbi-umbian dan sayur yang ada didepan meraka bertiga.

“Oh iya saya lupa, cita-citamu ingin jadi apa nak?” Tanya ayahnya mencoba memecahkan keheningan.

“Ayah, saya punya banyak impian, tapi setelah merasakan semua ini, saya ingin menjadi Aktivis Komnas HAM,” jawab Awebi melontarkan impiannya sambil menghembuskan nafas yang panjang. Kemudian dalam pikirannya membayangkan bagaimana ia menyelesaikan pelanggaran HAM yang sedang terjadi tanpa henti dimasa depan nanti.

“Bagus, sangat bagus itu nak. Ayah sangat setuju kalau anak jadi pembela HAM. Doa dan dukungan ayah dan ibu selalu menyertaimu nak,” kata ayahnya sambil menganggukan kepala bertanda ayahnya sangat setuju dengan cita-cita Awebi.

“Terima kasih ayah, ibu, atas semua doa, dukungan dan kerja keras yang telah kalian lakukan untuk saya. Saya berjanji bahwa dikelak nanti saya akan membahagiakan kalian berdua,” kata Awebi sambil memandang orang tuanya satu persatu.

“Hey kamu dua, jam berapa ini? Kamu dua asyik bicara, awas nanti terlambat di sekolah,” teriak ibunya menyadarkan mereka bahwa jarum jam sudah menunjukan pada angka 7:00 (tujuh) WIT.

“Oh iya benar, ayah…ibu saya pamit berangkat ke sekolah,” Awebi pamit berangkat ke sekolah.

“Hati-hati dijalan nak,” pesan orang tuanya serentak.

Karena takut terlambat, Awebi berlari menuju sekolah dengan berseragam lengkap dan rapi. Jarak dari rumah ke jalan kendaraan sekita 1 KM, sementara dari jalan kendaraan ke sekolah sekitar 1,5 KM, maka jarak dari rumah ke sekolah 2,5 KM. Sesampainya Awebi dijalan besar, ia langsung ketemu dengan temannya Uwaipai yang mengendarai motor pribadi.

“Hey kawan, kebetulan tidak ada yang ikut saya jadi ikut sudah, kita ke sekolah,” suruh Uwaipai sambil memberi tumpangan di motornya.

“Ok, terima kasih kawan, kalau kawan tidak ada pasti saya naik ojek,” ucap Awebi sambil naik di motor.

Setelah berjalan kedepan, mereka sampai di perempatan jalan dan mereka dibuat kaget oleh bunyi senjata. Merekapun berhenti tiba-tiba dan memandang kesana kemari untuk mencari asal bunyi senjata itu. Tak diduga, disebelah kanan terlihat TNI yang lengkap dengan senjata dan siap melepaskan tembakan, disebelah kiripun terlihat OMP yang telah siap menembak, tak kalah dengan TNI. Sekujur tubuh mereka basah dengan keringat dan badan merekapun mulai gemetar, merasakan kematian mereka telah tiba di saat itu dan ditempat itu.

“Kawan, pegang saya kuat-kuat, saya akan mencoba untuk balap,” suruh Uwaipai dengan suara parau dan menangis sambil bersiap untuk balap.

“Siap kawan, kalau kita mati disini, maka saya akan menyesal karena saya mati tanpa membahagiakan orang tua saya,” jawab Awebi sambil menjatuhkan air mata dipipinya.

Ketika Uwaipai mulai gas motornya, tembakan dari kanan sudah di lepaskan dan mengenai dada Awebi, dan Awebipun jatuh kebelakang. Melihat temannya terkena tembakan dan jatuh, Uwaipaipun membuang motornya dan buru-buru lari ke temannya. Sesampainya, ia menemukan temannya tak bernafas. Ia mulai menangis dan berniat memangku temannya, namun peluru tak mau mengerti keadaan dan langsung menembus jantungnya Uwaipai. Uwaipaipun tersungkur dan jatuh diatas Awebi temannya.

Saling tembak-menembak antara TNI dan OPM tak mau berhenti, dan berlangsung sepanjang hari tanpa menyadari behwa ada dua orang yang tak berdosa tergeletak di jalan tanpa bernyawa, berlumuran darah, dan seragam putih abu-abupun menjadi merah karena darah.

Jarum sudah menujukan pada jam 4:00 sore, orang tua Awebi mulai gelisa karena anak mereka tidak kelihatan, padahal jam 3:00 Awebi sudah berada dirumah. Ibu Awebi mulai tak tenang dan menyuruh ayahnya untuk pergi mencarinya di jalan.

“Pak, perasaan saya tidak enak jadi coba bapa pergi cari di sepanjang jalan besar,” kata istrinya dengan wajah yang muram.

“Iya baik ma, saya juga kwatir jadi saya akan pergi cari dia,” jawab suaminya sambil berdiri.

Ayahnya Awebi pergi ke jalan besar dengan buru-buru hendak mencari anaknya yang satu-satunya disepanjang jalan. Dari jalan besar, ia berjalan menuju sekolahnya Awebi. Sesampainya di perempatan jalan, ia menemukan dua orang berlumuran darah disekujur tubuh tergeletak di persimpangan jalan. Iapun dengan cepat berlari mendekati kedua orang tersebut. Sesampainya disana, ia sangat kaget dan tersungkur ketika melihat anaknya Awebi bersama temannya tergeletak tak bernyawa.

Air matanya tak terbendung lagi, iapun menangis melihat anaknya yang tak bernyawa sambil berkata, “manusia terkutuk siapa yang berani menembak anak-anak yang tak berdosa ini. Mereka tak punya hati sama sekali, ya Tuhan bagaimana ini?” Teriaknya sambil menangis bersedu-sedu.

Ketika ayahnya Awebi tersungkur menangis, tiba-tiba orang tuanya Uwaipaipun datang dan ikut menangis bersama ayahnya Awebi. Mereka tak dapat berbuat apa-apa, hanya bisa pasra dan menangis. Awebipun dirangkul oleh ayahnya dan dibawah pulang kerumah. Sesampainya dirumah, ibunya langsung pinsang melihat anak satu-satunya yang tak bernyawa.

Kedua orang tua Awebi inipun tidak berdaya dan tidak dapat bertahan. Semua impian dan cita-cita Awebi terkubur bersama tubuhnya didalam tanah. Ibunya Awebipun sangat terpukul dan akhirnya meninggal setelah tiga anaknya dikuburkan. Beberapa minggu kemudian Ayahnya Awebipun meninggal dunia juga.

Ikuti tulisan menarik Yulianus Degei lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler