x

Kekerasan terhadap perempuan

Iklan

Rania Alyaghina

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 18 November 2021

Jumat, 19 November 2021 15:27 WIB

Resepsi Pembunuhan Perempuan

Marin membalikkan badan, berjalan meninggalkan suaminya yang berdiri mematung. Karpet merah membentang luas memenuhi lantai ruangan. Ia berjalan dengan anggun, menginjak karpet merah tanpa ampun.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Selasa sore ini, hak setinggi tujuh sentimeter milik Marin akan memijaki batu pualam yang melapisi bumi milik kerabat Sadan, suaminya. Hujan sontak terdengar dari depan rumah, mengguyur halaman rumah mereka tanpa ampun. Hujan sederas apa pun tidak bakal menggagalkan rencana mereka untuk tetap pergi, karena mobil keluaran baru miliknya akan siap melindungi.

Marin tahu, ia mesti mempersiapkan segalanya. Tata rias, busana, hingga rambutnya harus rampung sebelum Sadan memanggil dari ruang tamu. Sadan begitu menyayangi waktu, melebihi apa pun. Jadi, untuk menghindari dandanan yang terburu-buru lantaran waktu yang tidak cukup, Marin mulai berdandan tiga jam sebelum keberangkatan.

Sadan sudah ancang-ancang memekikkan nama Marin dari ruang tamu. Sebelum Sadan sempat membuka mulut, Marin telah keluar dari sangkarnya, berbalut gaun hijau zamrud yang terjatuh lunglai di lantai. Sadan tak punya waktu untuk menyapa Marin dengan pujian. Ia segera menarik tangan Marin masuk ke mobil, meluncur ke tempat tujuan. 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Selasa sore ini, sepatu hak Marin bukan malah memijak batu pualam seperti yang semula diduganya, melainkan karpet merah yang menjuntai di tiap langkah Marin dan Sadan, hingga menuju pintu masuk. Dengan lenggokan anggunnya, Marin tak lantas lupa untuk memasang senyum terbaiknya. Tangannya ia lingkarkan di lengan Sadan. Rambut ikal kecoklatan yang terasa membelit leher Marin sejujurnya amat mengganggunya, tapi tidak ia biarkan pikirannya terpaku di sana.

Ketika hak sepatunya—pada akhirnya—memijak batu pualam, sekujur tubuh Marin sontak merinding. Marin melihat pendingin ruangan yang tak terhitung jumlahnya tengah bergeleng dengan gerakan lamban. Jam di dinding tak mau kalah, gelengan loncengnya membuat hawa dingin yang dirasakan Marin kian menyelubungi hatinya. Marin menoleh Sadan, yang terlihat tidak terusik sama sekali. Lengkungan bibir Sadan terlampau sibuk membentuk senyum hangat yang ia lemparkan ke setiap orang yang berpapasan dengannya. Marin mempererat rangkulannya pada lengan Sadan, berharap aura hangat Sadan dapat menghantar ke arah tubuhnya.

Usaha tersebut tidak berlangsung lama. “Rin, sebentar ya, aku mau menyapa atasanku dulu.” tanpa menunggu Marin menjawab, Sadan sudah berlalu. Hawa dingin lantas semakin merambati tubuhnya, menusuk kulitnya. Giginya bahkan bergemerutuk, membuatnya mesti berpura-pura batuk. Ia takut dicap kampungan.

Untuk mengalihkan pikirannya dari hawa dingin yang menyelimutinya, ia berjalan-jalan mencari wajah yang ia kenali. Ia lihat Samanta memainkan gerak tangannya secara aktif, tampak sedang meyakinkan sekelompok perempuan. Tidak jauh dari tempat Samanta berdiri, matanya menangkap Kaya yang tengah menghabiskan sebotol minuman yang tersemat kuat di antara jari-jemarinya. Cukup jauh dari tempat Kaya, tampak seseorang setengah tidak sadarkan diri. Ia perhatikan Dania tengah menghembuskan asap tebal dari entah mulutnya atau hidungnya. Dania berdiri sendiri, di ujung balkon. Tanpa ditemani satu pun lampu, kecuali sinar bulan yang tengah menghadap wajahnya.

Meski Marin tidak pernah merasa adanya kecocokan antara dirinya dengan Samanta, Dania, maupun Kaya, ia memutuskan untuk menghampiri Dania. Sebelumnya ia sempat menimbang-nimbang keadaan mereka satu-persatu: Kaya sudah punya penawarnya, Samanta sudah ditemani teman-temannya, sementara Dania tidak punya keduanya. 

Dania tampak tidak menyadari kehadiran Marin meski saat ini ia sudah berdiri di sisi Dania. Marin menyentuh bahu Dania lembut, dan Dania sontak menoleh ke arah Marin. Marin sodorkan kotak berwarna hitam pada Dania, melihat puntung yang barusan diisapnya telah mengecil, namun lantas ditolak halus. “Sudah tiga batang aku tandaskan.”

Marin kemudian menaruh setengah batang rokok di dalam mulutnya, merogoh hingga dalam isi tasnya, mencari penyulut bara miliknya.

Dania menyerahkan korek yang telah dipetik dengan ibu jarinya, mengarahkannya ke ujung puntung rokok Marin. Marin menghirup dalam-dalam, kemudian menghembuskannya ke depannya, membiarkan asap itu terbang jauh, menghilang dari balkon.

“Mau cerita?” tanya Marin selepas memindahkan puntung rokok ke jemarinya.

“Cerita apa?”

“Apa saja yang tengah berkabut di pikiranmu.”

“Satu-satunya yang berkabut adalah dunia ini karena tercemar asap rokokmu.”

Marin terkekeh sambil melirik jemari Dania yang tengah mengetuk-ngetukkan ujung puntung ke sisi balkon. “Bukan cuma aku yang murah hati begitu.”

Dania pun tak bisa menahan tawanya. Ini kali pertama Marin mendengar tawa lepasnya. Marin memang tidak pernah berbincang dengan Dania berdua saja sebelumnya.

“Ke sini sama siapa?”

“Sama suami.” Dania menatap mata Marin. Tatapan bingung tersirat di matanya. Siapa lagi yang bisa mengajaknya ke tempat semacam ini kalau bukan suami-suami mereka?

Dania pun merasa tidak perlu bertanya balik kepada Marin. Ini acara besar kantor suami mereka. Memang bukan tidak mungkin kalau ternyata Dania dan Marin yang bekerja di kantor ini. Namun, itu jelas bukan kodrat mereka. 

Meski keheningan meliputi mereka, namun pikiran mereka dipenuhi pengandaian yang sama. Dania berangan-angan, suatu saat, ia bisa menghadiri pesta megah ini tanpa menggandeng suami. Marin menambahkan bahwa ia ingin mengenakan gaun ini untuk dirinya sendiri, bukan semata-mata karena kehadirannya di acara semacam ini. Mereka ingin, suatu hari, tidak hanya menjadi aksesori apalagi ajang prestasi suami mereka di kala pesta, yang ditanggalkan ketika mesti mencium kaki orang-orang di atas mereka.

Dania dan Marin saling bersemuka, seolah menyadari, bahwa mereka memiliki cita-cita yang sama, keinginan yang sama. Dan yang bisa mereka lakukan selanjutnya adalah mewujudkannya, bukan hanya bertukar pikiran lewat tatapan penuh makna begini.

Sekali lagi, Marin mengisap asap-asap masuk ke dalam paru-parunya. Tanpa menunggu Marin tuntas, Dania merebut puntung rokok tersebut dari jemari Marin, juga mengisapnya. 

Setelah cukup lama berdiam-diaman dan Marin telah memastikan puntung rokok yang direnggut Dania telah menipis, Marin mengarahkan telunjuknya ke arah aula. “Mau masuk?” 

Dania menoleh sebentar ke arah telunjuk Marin, kemudian mengangguk, meski ragu masih kerasan menghinggapi dirinya.

Dania dan Marin masuk beriringan. Kegugupan awalnya menguasai mereka, tetapi tidak berlangsung lama. Air muka mereka dipenuhi raut kekagetan luar biasa, melihat para hadirin yang sebelumnya bergelak tawa hingga memadati tiap sudut ruangan, sekarang terkapar tidak berdaya ditemani genangan darah mereka sendiri. Marin melihat wajah Samanta dan Kaya yang menganga, seolah belum tuntas memekik pertolongan.

Sekujur tubuh Marin terasa kaku, begitu pun Dania. Ia tidak mau mencari sosok suaminya di antara geletakan sejumlah manusia di sini. Walaupun ia tahu betul besar kemungkinannya jika suaminya bernasib sama dengan mereka. 

Namun, Sadan dan juga suami Dania muncul berbarengan dari balik mimbar, meski pakaian dan rambut mereka sudah tidak karuan. Marin dan Dania sama-sama mengucap syukur beribu-ribu kali. Spontan mereka berlari, hendak menghamburkan ke pelukan suami mereka, terlepas dari latar yang mencekam ini. 

Namun, sebelum tangan Marin dan Dania berhasil merengkuh laki-lakinya, mereka memekik bersamaan. “Apa yang telah kalian perbuat?”

Marin membulatkan mata, begitu pun Dania. Mata Sadan melekat kuat pada gaun yang dikenakan Marin, yang kemudian diikuti Marin. Gaun hijau zamrud-nya berlumuran darah. Sementara itu, Dania sudah diseret paksa suaminya menuju keluar aula. Mereka belum sempat mengucapkan kata perpisahan, atau bahkan membuat janji akan bertemu lagi di lain waktu. Marin setengah mati mementingkan itu ketimbang apa yang tengah terjadi padanya saat itu, serta tatapan tak percaya yang dihujami Sadan terhadap dirinya. Dania… memangnya apa yang telah kita perbuat?

Marin menunduk, menerima kesalahannya, meski tak tahu apa dosanya. Lagi-lagi mempermalukan suaminya. Ia perempuan penyebab Sadan jarang tepat waktu. Penyebab terhalangnya Sadan untuk melakukan apa pun sesuai keinginannya. Penyebab tercorengnya nama Sadan di depan orang-orang yang bahkan tidak menyadari keberadaannya. Diliriknya sepatu mengilap Sadan yang masih setia bergeming tepat di hadapannya. Marin tak kuasa menatap mata suaminya.

Namun, ada dorongan keras dalam dirinya untuk menahan kedutan di kedua ujung bibirnya. Marin tak lagi mampu menahan singgungan senyumnya. Ia kemudian terbahak, meski matanya masih mengarah ke sepatu yang Sadan kenakan. Sadan menarik dagunya, kelewat memaksa, lantas memekik di depan wajahnya. “Apa yang sudah kamu perbuat? Mengapa kamu tidak pernah memikirkan dampak tindakanmu terhadap kehidupanku?”

Tawa Marin semakin kencang. Amat kencang hingga menggema di ruangan bergelimang mayat. Sadan menatapnya seolah-olah ia bukan orang waras. Oh, Sadan, jangan menatapku seperti itu. Jangan menatapku seolah-olah aku ini dirimu.

Ia bukannya tidak ingat apa yang telah diperbuatnya dengan Dania sebelum ini. Ia justru ingat betul, seperti kau, yang selama ini pasrah ketika cerita hanya mengarahkanmu lewat sudut pandang Marin. Sebetulnya, di lubuk hatimu, mungkin itu keinginanmu. Kau tidak peduli secuil pun tentang apa yang dilakukan Sadan, karena kau pikir ia hanya tokoh sampingan. Mungkin juga kau lebih penasaran dengan nasib Sadan. Tapi, ayo kita berlaku jujur: peduli apa kita dengan perbuatan Sadan, tokoh yang memang ditakdirkan mendatangi resepsi semacam ini? Tokoh yang, bisa dibilang, paling pantas kehadirannya di acara semacam ini? Apa yang bisa kita curigai dari sosok yang memang diharapkan kedatangannya di sini?

Sekarang, jika kau dapat memilih, isi pikiran sosok mana yang ingin kau ketahui selanjutnya? Jika jawabanmu Sadan, silakan melanjutkan ke paragraf selanjutnya. Tetapi jika kau penasaran dengan tindakan Marin, silakan lewati alinea setelah ini dan lanjut ke alinea terakhir. Bagaimana? Siap menemukan kebenaran lewat dua sudut pandang?

Sadan tak habis pikir mengapa bininya masih bisa tertawa terbahak-bahak, sementara gaun hijau zamrud-nya telah bercampur dengan merah pekat darah akibat genangan darah yang tersapu gaunnya. Jas Sadan memang sudah berlumuran darah sebelum ia berpapasan dengan Marin, tetapi jasnya tak pernah menyentuh lantai. Jadi, Sadan-kah dalang dari peristiwa pembunuhan massal ini? Perkara baju berlumuran darah tidak bisa dijadikan bukti. Sepatunya mengilap, bahkan lebih mengilap ketimbang sebelum ia menginjakkan kaki di tempat ini. Ia tidak punya motif kuat untuk membantai habis orang-orang yang hadir di ruangan ini. Mereka-mereka ini penting untuknya, untuk kelangsungan hidupnya, untuk hidupnya. Hidupnya ada di tangan orang-orang ini. Sebaliknya dengan Marin, agaknya tidaklah mengagetkan jika ia pelakunya. Semenjak perpisahan mereka berdua, sosok Marin lantas hilang dari tangkapan mata Sadan. Menyadari Marin yang tanpa henti terbahak seperti ini, juga perempuan entah-siapa yang sedari tadi menghabiskan waktu dengan istrinya, bukan tidak mungkin peristiwa ini terlaksana atas rencana mereka. Ya, ya, sudah pasti mereka pelakunya. 

Marin masih saja terbahak, kemudian wajahnya berubah datar secepat kilat. Kali ini pandangannya ia arahkan ke mata Sadan. Mata lelaki yang jenuh ketika mereka tengah bercakap-cakap santai, juga mata yang sama dengan mata yang tak pernah bosan menghakiminya. Hak sepatunya telah dikulum darah yang semakin merekah, menyelimuti ujung sepatu hak-nya. Tiada artinya membuat mulutnya berbusa, demi meyakinkan Sadan bahwa ia tidak melakukannya. Ia sudah tahu kebenarannya.

Ia membalikkan badan, berjalan meninggalkan Sadan yang berdiri mematung. Karpet merah membentang luas memenuhi lantai ruangan. Ia berjalan dengan anggun, menginjak karpet merah tanpa ampun.

Ikuti tulisan menarik Rania Alyaghina lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler