x

war debris\xd

Iklan

Axel Atrial

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 18 November 2021

Jumat, 19 November 2021 15:33 WIB

Nomaden

Cerita pendek ini berdasarkan oleh banyak kejadian nyata yang pernah terjadi atau bahkan sedang terjadi di banyak tempat di dunia. Namun cerita pendek ini tidak memiliki latar tempat atau budaya yang pasti.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 Hari sedang terik seperti biasa. Jalanan penuh debu dan pasir berserakkan di mana-mana. Tidak ada orang selain seorang ibu yang berjalan menyusuri jalan sambil menggandeng anak perempuannya yang masih berusia lima tahun. Tak ada kebahagiaan pada raut wajah sang ibu, isi pikirannya penuh oleh berbagai rencana dan harapan untuk melanjutkan hidup bersama putrinya. Sedangkan sang anak terlihat ceria, ia terus tersenyum dan berbicara pada ibunya. Anak itu sangat bahagia, sudah lama tidak berjalan-jalan bersama ibunya. 

 

 Rumah demi rumah, bangunan demi bangunan mereka lalui, sudah banyak yang hancur. Sampai pada akhirnya mereka berhenti pada bangunan rumah susun tempat mereka tinggal dulu yang tidak terlalu besar. Untung saja bangunan itu belum rusak, walau sudah banyak retakan. 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

 

   Dengan hati-hati, sang ibu membuka pintu bangunan sambil menggandeng erat anaknya. Ia memperhatikan ke sekeliling ruangan aula gedung, lalu dengan hati-hati berjalan ke tangga terdekat menuju lantai dua tempat apartemen mereka berada. Sepasang ibu-anak itu menaiki tangga dengan hati-hati. Anak kecil yang digandeng ibunya itu memperhatikan wajah ibunya yang terus menatap ke arah langit-langit, maka ia pun meniru tingkah laku ibunya. Saat sudah sampai ke lantai dua, mereka menyusuri lorong menuju ke apartemen mereka. Sang ibu masih dengan hati-hati memperhatikan langit-langit bangunan yang kotor dan rusak itu. 

 

   Tiba-tiba, dengan refleks sang ibu menarik putrinya ke dekat tembok, dan benar saja, sebongkah besar langit-langit dan dinding bagian atas lepas dan jatuh ke lantai, suaranya sangat keras hingga membuat si gadis kecil teriak ketakutan. Si ibu dengan buru-buru menarik anaknya ke kamar apartemen mereka. 

 

   Mereka pun memasuki rumah lama mereka yang ditinggalkan dengan terburu-buru lima bulan yang lalu. Kondisi di dalam apartemen itu kotor dan berantakan. Bagian dapur penuh dengan piring kotor dan sampah yang membusuk yang baunya memenuhi ruangan. Tetapi bau terbakar dan asap lebih kuat dari jendela yang ditinggalkan terbuka sejak lama. Mereka berdua memasuki kamar tidur mereka. Di dalamnya ada banyak baju dan kain yang tergeletak di mana-mana, dan sebuah lemari besar yang terbuka lebar yang isinya terlihat seperti baru saja dijarah oleh perampok. 

 

   Sang ibu memperhatikan seluruh bagian lemari, lalu mendekat dan berjinjit untuk mengambil sesuatu dari rak paling atas, sebuah peti kayu yang agak besar. Peti kayu itu terlihat aneh dan menarik bagi si gadis kecil. 

 

   Anak itu langsung melompat-lompat dengan mengangkat tangannya dan berseru, “Lihat! Mau Lihat!”

 

   “Sebentar dulu,” jawab si ibu. 

 

   Setelah sang ibu mengambil peti itu, ia segera meletakkannya di atas lantai. Si anak kecil memperhatikan peti kayu itu dengan tidak sabar. Namun, selanjutnya ia mundur. Duduk dengan kecewa setelah hanya menemukan tumpukan kertas yang tidak ia pahami. Sang ibu dengan hati-hati membaca dan memeriksa setiap dokumen, dan memilahnya untuk dimasukkan ke dalam tas miliknya. Rasa penasaran si anak kecil muncul kembali setelah melihat ibunya mengangkat sebuah album foto. Mereka berdua pun menghibur diri sebentar dengan membolak-balik halaman demi halaman album foto tersebut. Sang ibu merasa sangat sedih melihat foto lama suaminya menggendong putrinya saat masih bayi, tetapi ia harus terlihat kuat di depan anaknya yang masih kecil.

DUAR!

   Seketika perhatian mereka teralihkan oleh suara ledakan keras di luar. Mereka terkejut mendengarnya, tetapi sang ibu tidak heran dan sudah menduga hal ini. Sang ibu buru-buru memasukkan segala hal yang ia perlukan ke dalam tas, lalu segera menarik anaknya ke luar bangunan. Saat menuruni tangga, tiba-tiba terjadi ledakan lagi, sepertinya lebih keras dan lebih dekat, sampai tangga dan tembok bergetar. Si anak kecil segera digendong oleh ibunya dan dibawa lari ke pintu keluar. Di luar mereka menemui seorang pria yang sedang berlari menjauhi suara ledakan, dan nampaknya ia menyadari keberadaan sepasang ibu-anak tersebut. 

 

   “Cepat pergi dari sini, sepertinya mereka akan segera menghabisi daerah ini sampai ke pantai!” teriak pria itu. Lalu mereka semua segera lari bersama ke arah pantai. 

 

    “Aku takut,” tangis si anak. 

 

  “Jangan cemas, Nak. Sebentar lagi kita akan pergi dari sini,” jawab ibunya.

 

  Napas mereka tersengal-sengal sambil berlari menyusuri jalanan besar yang sangat panjang. Sampai akhirnya mereka berhenti sebentar untuk menoleh ke arah suara mesin yang mendekat. Ada sebuah mobil pick up yang melesat dari tikungan jalan ke jalanan tempat mereka berlari. Seorang pria yang tadi berlari bersama mereka segera menghampiri mobil itu dan berbicara kepada pengendara. Sepertinya ia meminta si pengendara untuk memperbolehkan mereka diantar naik kendaraan itu. 

 

   Mereka diperbolehkan, sehingga pria itu mengisyaratkan kepada si ibu dan anaknya untuk segera menaiki mobil pick up tersebut. Si pria naik ke kursi penumpang, sedangkan si ibu dan anaknya naik ke bak belakang beratapkan terpal. 

 

   Di dalam mobil, mereka mendengar suara bising dari atas yang sepertinya semakin mendekat. Si ibu mencoba untuk melihat ke atas dan menemukan sebuah pesawat tempur yang melesat ke arah mereka.

 

   “Tolong lebih cepat! Ada pesawat!” teriak si ibu ke arah pengendara sambil menggedor-gedor kaca pengendara. 

 

   Pria yang tadi berlari bersama mereka mendengar perkataan si ibu dan segera mengeluarkan kepalanya ke luar jendela untuk melihat pesawat tersebut. Matanya terbelalak terkejut setelah melihat ke atas, nampaknya ada sesuatu yang lebih buruk.

 

 “Kecepatan penuh! Pesawatnya baru menjatuhkan bom!” jerit si pria kepada pengendara.

 

   “Iya, saya sedang berusaha, Pak!” jawab si pengendara.

 

   Setelah sang ibu mendengar bahwa sebuah bom akan jatuh, ia langsung mendekap anaknya ke bawah—berusaha melindunginya dari apapun yang akan datang dari luar.

 

   DUARR!!

 

   Suara bom itu memekakkan telinga. Sang ibu mendekap anaknya lebih kuat lagi sampai beberapa detik kemudian embusan angin kencang mendorong mereka sampai tersungkur ke depan—melepas atap terpal bak mobil pick up tersebut. Lengan dan punggung si ibu terasa sakit setelah terhantam dinding mobil. Namun, tetap saja ia hanya mengkhawatirkan anaknya.

 

   “Kamu baik-baik saja, 'kan, Nak?” tanya si ibu khawatir. Si anak hanya mengangguk kecil.

 

   Setelah beberapa menit mereka pun sampai di dekat pantai. Sang ibu segera turun dari mobil sambil menggendong anaknya. Setelah berterima kasih berkali-kali kepada si pengendara mobil akhirnya sang ibu dan anaknya berpisah dengan si pria dan pengendara mobil. 

 

   Mereka berdua berjalan ke pantai. Keadaan di sana terlihat cukup buruk. Sangat banyak orang berkerumun untuk menaiki perahu pengungsian. Ada banyak jasad yang dibaringkan diatas tanah ditangisi keluarga mereka. Dan ada banyak orang-orang yang terluka dan tak berdaya. Suasana sangat sedih dan suram. Walaupun sang ibu sudah menjinjitkan kaki, tetapi ia tetap tidak bisa melihat ada berapa perahu yang tersedia di tepi pantai.

 

   Dengan menggendong tas di belakang dan menggendong anaknya di depan sambil memeluknya erat, sang ibu berusaha menerjang lautan manusia untuk berada di barisan paling depan. 

 

   DUARR!!!

 

   Bom berikutnya baru saja jatuh di tempat yang tidak begitu jauh. Embusan angin kencang dan getaran kuat dari bom, ditambah dengan kerumunan orang yang panik berusaha melarikan diri, membuat sang ibu kehilangan keseimbangan dan terjatuh.

 

   Tetapi ia tidak mau kalah, sambil memeluk anaknya, ia langsung bangun dan ikut berlari bersama semua orang mendekat ke tempat perahu-perahu berada.

 

   Setelah ia sudah sampai di depan, ada banyak orang yang berusaha menaiki sebuah perahu pengungsian yang sudah penuh, tetapi ada puluhan pria yang berusaha mengendalikan kerumunan orang dari menaiki perahu tersebut. Melihat situasi yang sudah mulai genting dan memanas, sang ibu mulai kehilangan harapan untuk pergi bersama dan hanya mementingkan hidup anaknya saja. Maka ia langsung mengangkat anaknya ke atas dan memohon kepada orang-orang di perahu.

 

   “Tolong! Anakku saja!” teriak sang ibu kepada orang-orang di perahu.

 

 Seseorang yang sepertinya memiliki kewenangan atas perahu itu merasa sangat iba kepada anak kecil itu dan segera mengabulkan permintaan sang ibu untuk membawa anaknya. Anak itu merupakan penumpang terakhir sebelum perahu berlayar menjauh.

 

   Begitu si anak dilepaskan dari gendongan ibunya untuk diangkat keatas perahu, ia langsung menjerit dan menangis keras. 

 

   Sang ibu tahu ini mungkin terakhir kalinya ia bisa melihat anaknya. Terbesit di pikirannya semua kilas balik dari waktu-waktu yang ia telah habiskan bersama putrinya sejak anak itu lahir, dan waktu-waktu yang mereka telah habiskan bersama suaminya sebagai satu keluarga yang utuh. Melihat anaknya di atas perahu menangisinya dan semakin menjauh, rasanya sangat pedih dan menyakitkan. Maka sang ibu pun tidak kuat menahan sedih dan memalingkan badan dari laut, bergabung dengan kerumunan orang yang sama putus asanya dengan dia, berusaha untuk menerima perpisahan ini.

 

    Si anak di atas perahu terus-terusan menangis keras. Tangan kecilnya berusaha meraih ibunya yang semakin tidak bisa dilihat seiring dengan menjauhnya perahu dari pesisir. Seorang wanita di atas perahu berusaha menahan anak itu dari melompat ke laut untuk menemui ibunya. Anak itu terus dan terus menangis sampai suaranya mulai habis. Seorang bocah lelaki yang sepantaran dengannya di atas perahu ikut menangis walau tidak memahami situasi saat itu. 

 

     Suara bising pesawat tempur terdengar lagi. Orang-orang di pantai terlihat panik dan berusaha melarikan diri dengan berenang ke tengah laut. Mereka tahu akan ada bom lagi.

 

    DUARRR!!!

 

   Bom berikutnya jatuh tepat di pesisir. Semua orang di pantai termasuk ibu si anak tertelan ledakan besar yang menghabisi segala hal di sana. Tangisan si anak di atas perahu semakin menjadi, meskipun suaranya sudah habis. Walau masih kecil, anak itu sadar bahwa ibunya telah tiada. 

 

   Momentum dari ledakan bom sangat besar hingga menimbulkan gelombang tinggi di lautan pesisir. Sambil menangis, sang anak jatuh ke laut bersama semua orang di atas perahu yang terbalik dihantam oleh gelombang tinggi.

 

   Gadis itu terbangun. 

 

 Mimpi perahu yang sama lagi … padahal kira-kira sudah 10 tahun yang lalu, pikirnya.

 

   Ia melihat ke sekeliling tenda tempatnya tidur. Hidupnya masih sama menyedihkannya seperti biasa. Hari demi hari ia semakin putus asa, tidak ada harapan ataupun mimpi. Tujuannya hanyalah untuk terus bertahan hidup. 

 

   Lamunan gadis muda itu tersela oleh suara keributan dari luar. Ia segera membuka resleting tenda dan keluar untuk melihat keadaan. 

 

   Ada sekumpulan orang. Mereka rapi dan bersih, sudah pasti penduduk lokal. Orang-orang itu berusaha menghancurkan tempat pengungsian. Tenda-tenda dicabut, orang-orang pengungsi diusir dan disakiti. Gadis itu juga melihat seorang bapak yang memasakkan mereka bubur kemarin, sedang dipukuli oleh mereka. Ia merasa sangat kasihan, tapi tidak bisa menolong. Gadis itu segera merapikan semuanya sebelum tendanya juga dihancurkan oleh orang-orang itu. 

 

   Dia harus segera pindah.

 

   Lagi.

Ikuti tulisan menarik Axel Atrial lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler