x

Nikel. Sumber foto: ruangenergi.com

Iklan

Tania Adin

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 31 Juli 2020

Minggu, 21 November 2021 08:50 WIB

Meski Digugat di WTO, Hilirisasi Industri Nikel Indonesia Tetap Dijalankan

Larangan ekspor nikel mentah yang menjadi salah satu langkah hilirisasi industri nikel Indonesia mendapat gugatan dari kancah internasional, tepatnya Uni Eropa. Presiden Jokowi pun menegaskan bahwa hilirisasi industri, yang banyak memberikan dampak positif, akan tetap dijalankan dan Indonesia siap menghadapi persidangan di WTO.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Guna memberikan nilai tambah yang berguna bagi industri itu sendiri, terutama bagi negara, maka pengelolaan sumber daya nikel berbasiskan hilirisasi wajib diterapkan di Tanah Air ini. Hilirisasi nikel diharapkan dapat menjadikan sektor perindustrian Tanah Air meroket pesat. Menyertai penerapan hilirisasi industri nikel, dengan tegas Indonesia mengeluarkan larangan ekspor bijih nikel mentah sejak 1 Januari 2020.

Sebelum diekspor, nikel harus diolah menjadi produk turunannya, yang artinya tidak hanya dari nikel menjadi matte, ferronickel maupun nickel pig iron (NPI) saja. Atau, seperti dari stainless steel menjadi besi baja.

Namun, di tengah perjalanan hilirisasi industri diterapkan, Indonesia digugat negara-negara Eropa. Diketahui, para negara di benua biru tersebut melayangkan gugatan ke World Trade Organization (WTO) atau panel Organisasi Perdagangan Dunia. 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Uni Eropa menilai bahwa Indonesia telah melanggar komitmen dengan tidak memberikan akses seluas-luasnya bagi perdagangan tradisional, yang dalam hal ini adalah nikel mentah.

Tanggapan Presiden Indonesia, Joko Widodo, mengaku siap menghadapi persidangan gugatan Eropa di WTO. Hal ini diungkapnya dalam perhelatan Kompas100 CEO Forum, Kamis (18/11).

"Kebijakan kita mengenai hilirisasi, ini akan kita teruskan. Kalau kita setop nikel (bijih), nikel setop. Meskipun kita dibawa ke WTO oleh Uni Eropa. Silakan enggak apa-apa. Ini nikel kita kok. Dari bumi negara kita kok. Silakan," ungkapnya.

Hilirisasi Industri Nikel Bukan Tanpa Alasan

Diketahui dengan adanya larangan ekspor bijih nikel mentah ini berdampak pada peningkatan nilai ekspor karena harganya meningkat 10 kali lipat di pasar global. Jokowi kembali menyampaikan bahwa di bulan Oktober ini, nilai ekspor sudah berada di US$16,5 miliar atau Rp234 triliun dan diperkirakan di akhir tahun 2021 bisa menjadi US$20 miliar atau Rp284 triliun. 

Nikel diketahui mengalami kenaikan yang cukup drastis sepanjang 2021. Harga komoditas ini mencapai US$19.800 atau Rp281 juta per ton pada November 2021. Dibandingkan dengan di tahun 2020 di mana harga rata-rata nikel berada di kisaran US$12.000-13.000 per ton atau Rp170 juta - Rp 185 juta. Sedangkan di akhir tahun 2019, harga nikel berada di angka US$14.075 atau Rp200 triliun.

Indonesia perlu memanfaatkan kondisi serta peluang di tengah meningginya harga seluruh komoditas mineral dan bahan bakar fosil. Namun, langkah hilirisasi ini memerlukan teknologi yang lebih canggih dan juga pabrik olahan nikel serta besi baja yang mumpuni. 

Maka dari itu, diperlukan investasi baik dari dalam negeri maupun luar negeri, serta dukungan pemerintah untuk mengolah sumber daya alam nikel menjadi produk turunan bernilai tambah. Ketika memiliki value added, maka harganya mampu bersaing di pasar global dan menambah pendapatan negara, sekaligus memberikan multiplier-effect dengan terbukanya lapangan pekerjaan. 

Kedepannya, tidak hanya nikel yang wajib diterapkan proses hilirisasi industri, namun produk mineral lain seperti tembaga, timah, bauksit bahkan emas juga perlu di hilirisasi. Dan jika tidak hanya nikel yang dilarang ekspor mentahnya, nilai ekspor bisa bertambah lagi sehingga mengakibatkan neraca perdagangan dan neraca transaksi berjalan menjadi semakin baik. 

Ikuti tulisan menarik Tania Adin lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler