x

Suasana ibu Kota Jakarta pagi hari. Foto: Tulus Wijanarko

Iklan

Fajar Martha

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 9 November 2021

Minggu, 21 November 2021 08:14 WIB

Pada Kota yang Ratusan Kali Terluka

Sinar mentari sore mengintip dari sela-sela gedung. Matanya memandangi belasan tanda yang menempel di barisan raksasa nan congkak itu. Di kota ini, kilau artifisial baliho dan reklame tampak begitu keji di malam hari, yang dengan pongahnya memaksamu untuk memercayai apa yang mereka sampaikan; atau yang terparah, menertawaimu karena tak sanggup membeli segala yang mereka sodorkan.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Kobaran api merayap dan menjilati pemukiman. Para penghuni berlarian sembari memekik panik. Orang-orang terjungkal dan mengaduh, malam beranjak muram dan gaduh. Malam ini, belalang dan jangkrik pun mafhum siluet kematian telah menjelma malaikat pencabut nyawa.

Di kamar petaknya yang dipenuhi sarang laba-laba, hati Thio Tjin turut berkecamuk. Akankah nasib masih berpihak pada kaumnya, sehingga sanggup mengalahkan tirani? Thio Tjin tak sepenuhnya yakin. Ia tak bisa lari karena tubuhnya, terutama kulit dan matanya, mudah ditandai.

Dar! Dar! Dar!

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Thio Tjin tahu gedoran itu bukan untuk menagih uang sewa, seperti yang sudah-sudah.

“Keluar! Owe mau mati, hah?!” bentak Tuan Lau, induk semangnya. Tragedi membuat tuan dan hamba berbagi nasib yang sama.

Thio Tjin menyesali keputusannya untuk tak meninggalkan benteng, lalu bergabung ke laskar Sang Kapiten. Dengan bertempur, walau berakhir dengan kekalahan, ia akan tercatat sebagai salah satu pengupaya hidup. Tetapi, untuk apa berjuang di perang yang mustahil mereka menangi? Musuh terlalu banyak, dan celakanya, orang-orang yang mulanya bukan musuh pun kini berkhianat, melampiaskan kemiskinan yang mereka derita pada kaum Thio Tjin.

Meriam pertama telah berdentum. Thio Tjin memejam mata, bersiap menyongsong nirwana. 1740: tahun celaka yang membuat tempat itu bersalin rupa menjadi Sungai Merah.

***

Di terminal Kampung Melayu nan pesing, setelah menepikan motor Sobri berjalan gontai ke pedagang kaki lima.

Lima ribu rupiah untuk singkong, tempe dan aci. Lima ribu yang lain untuk sebotol air berukuran tanggung dan sebatang kretek. Ia sebenarnya berhak untuk lima ratus rupiah, sisa dari hal yang ia belanjakan. Namun, ia merelakannya kepada sang penjual lalu berujar, “Kembaliannya ambil saja.”

Sinar mentari sore mengintip dari sela-sela gedung. Matanya memandangi belasan tanda yang menempel di barisan raksasa nan congkak itu. Di kota ini, kilau artifisial baliho dan reklame tampak begitu keji di malam hari, yang dengan pongahnya memaksamu untuk memercayai apa yang mereka sampaikan; atau yang terparah, menertawaimu karena tak sanggup membeli segala yang mereka sodorkan.

Setelah menenggak air dengan rakus, Sobri pun mengumpat, "Dasar perempuan terkutuk! Semoga kau segera mampus.."

Ia meremas botol yang isinya telah tandas lalu mengempasnya ke aspal lalu merenung. Dia memang cantik dan cerdas, tapi teramat angkuh dan keras kepala. Karier Sobri sebagai copywriter di start-up keuangan telah ia bakar habis-habis di depan manajer personalia dan si perempuan terkutuk, perempuan yang mulanya ia hasrati secara diam-diam. Ia tak terima harga dirinya dilumat, lalu menyatakan diri angkat kaki dari perusahaan di hadapan para pembesar.

Betapa dulu si perempuan terkutuk mampu menghiburnya dari tekanan pekerjaan. Langkah kakinya, lekuk tubuhnya, sorot tajam matanya, senyum lesung pipitnya, apa lagi caranya berbusana dan mengibas rambut!

Sobri mutlak tak bernyali untuk menunjukkan kekaguman (terlebih menyatakan cinta!) secara terang: perempuan muda itu lulusan Yale dan menduduki posisi tinggi serta cemerlang. Pulang ke negara ini, yang orang-orangnya hanya bisa ia sapa sepatah-patah, kiprahnya dengan mudah menghias banyak media.

Namun, setelah waktu berselang ia menjelma perempuan bengis tak kenal ampun. Ia tak peduli bila Sobri pernah membuat layanan mereka, OmniKu, begitu populer di masyarakat. Hanya karena kesalahan sepele, perempuan itu menghardik Sobri di depan anggota tim. Di atas motor, Sobri sedikit menengadah, menyadari bahwa langit nilakandi tak sanggup mewarnai hatinya yang lindap. Laju motor hampir goyah, berkat terlampau jauh ia merenung.

***

“Saya di sini baik-baik saja. Haji Marli begitu baik sama kita. Tapi saya tak bisa terlalu lama berdiam di sini. Sisa tabungan akan saya pakai untuk mengungsi ke Pontianak. Urusan nanti biar saja menjadi urusan nanti. Cynthia bagaimana, Ma? Jangan sampai ia telat makan. Mama juga. Saya sayang kamu, Ma.”

“Jaga diri, Pa. Saya belum sanggup kehilangan kamu—cup, cup, cup, anak manis, Mama lagi ngobrol sama Papa. Ya Pa? Titip salam untuk Haji Marli sekeluarga. Di sini semua serba mahal. Minta tolong ke kedutaan juga percuma. Washington terlalu jauh, belum ongkosnya. Apa salah kita, Pa? Mengapa orang-orang bisa begitu beringas membakar, membunuh, serta memperkosa?"

"Yang terpenting kita masih selamat. Lihat Tante Lilie. Ia kehilangan anak gadisnya. Usaha tetangga-tetangga kita hangus, Ma, dibakar massa! Ah, jangankan mengungsi buat menyelamatkan diri. Tidur pun mereka pasti tak tenang. Betapa besar jasa Haji Marli pada kita. Risikonya besar sekali padahal."

"Betul. Walau begitu Papa tetap harus waspada. Selalu cari cara untuk mengabariku. Janji, Pa? Segera cari tiket ke Pontianak. Yang aku bingung, kita pun seperti mereka, sama-sama melarat, sama-sama susah beli beras. Ya, Tuhaaaan. Apa dosa kami??"

“Ma, Ma, sebentar, Papa harus lihat televisi. Peluk dan cium buat kamu dan Cynthia. Saya mencintaimu. Ingat selalu itu."

Sambungan terputus. Kota ini akan pulih, pikir pria itu seraya merapal doa. Di luar hujan batu dan sumpah serapah. Casio hitam yang melingkar di lengan kirinya menandakan 14.01, 15 Mei 1998.

***

Sekarang sudah pukul dua. Seorang bapak membangunkan Sobri dari tetirahnya yang centang perenang di musala tepi kali. Segera ia berkemas untuk pergi—tahu diri, ini rumah ibadah.

Laksana otomat, Sobri melajukan motor dengan kecepatan konstan. Ia ingin pulang ke Tambun, bukan ke kamar kosnya di Jati Padang. Itulah sebab mengapa ia musti melewati Kampung Melayu yang pesing, lalu menantang liarnya lalu lintas Kalimalang.

Kota ini tak mengasihi Sobri sebagaimana mereka telah kejam pada keluarganya. Pembangunan kanal membuat mereka tergusur jauh dari rumah yang telah puluhan tahun mereka tinggali. Derap pembangunan menjadikan mereka musafir di kota mereka sendiri.

Drug, drug, drug, drug. Mendadak tunggangannya oleng berkat ban belakang yang—dengan cepat bisa ia terka—bocor.

"Motor ini modelnya biasa, tapi irit dan onderdilnya bisa dibeli hampir di mana-mana. Cuma itu yang kau butuhkan," terang Bapak tujuh tahun silam. Betul, Pak. Luar biasa hemat. Tapi rantai dan kedua kakinya rajin kumat dan menambah masalah. Rumah keluarganya di Tambun tiba-tiba menjadi fatamorgana. Diraihnya ponsel, mencari musala mana lagi yang bisa ia singgahi di Google Maps. Ia tak berkenan mendorong motor jauh-jauh: jiwanya sudah terlalu letih untuk dibebani aniaya fisik.

“Bocor ya Bang?” terdengar suara dari belakang. Sobri menoleh, menjawab sang penanya dengan anggukan muram. “Saya bantu dorong ya, setut pakai kaki? Abang bisa, kan? Tinggal duduk saja, kok, beres. Saya punya kenalan orang bengkel yang bisa kita repoti malam ini.”

Malaikat kah ia? batin Sobri. Dari jaket yang ia kenakan, Sobri tahu ia pengojek daring. Kosa kata yang ia pilih tak mampu menyembunyikan logat sang pengojek. Bapak ini perantau, golongan yang telah merampas kesempatan Sobri dan ribuan pemuda asli kota mereka.

“Ayo, Bang. Siap, yaa..” Motor Sobri telanjur melaju. Ia ingin menolak namun terlalu malas untuk berdebat.

“Baru pulang?” tanyanya dengan kikuk.

“Iya, keasyikan mengejar bonus jadi lupa waktu. Abang sendiri, kok pulang kerja malam sekali?”

“Ini hari yang kelewat buruk,” balas Sobri, membuat sang pengojek membisu dan berkonsentrasi pada pijakan kakinya di motor Sobri. Kekosongan toh tak berlangsung lama. Sang pengojek, tak menghiraukan kekisruhan hati Sobri, kembali mencerocos.

“Tadi pagi ada razia. Licik banget polisi. Mereka tahu jalan ini satu arah, pengendara motor enggak punya waktu untuk putar balik. Banyak yang kena tilang. Saya pernah hampir apes, STNK dan SIM tertinggal di Kebon Baru, tempat saya mangkal. Mereka mengancam menyita KTP saya. Waduh, jangan KTP, deh. Bikinnya susah. Apa lagi saya perantau, KTP Jakarta itu tidak ternilai. Untung waktu itu ada teman yang bisa ambilkan tas saya di pangkalan.”

***

Sobri melupakan sejenak kejengkelannya pada pemerintah yang tak pernah becus menangani pemerataan ekonomi. Pemerintah, dengar-dengar, berencana memindahkan ibukota ke luar pulau. Itu juga ia tak pedulikan. Paling-paling gula-gula politik belaka.

Sesampainya di bengkel yang dimaksud, sang pengojek mengetuk pintu dan memanggil temannya. Setelah satu-dua lelucon, sang montir menyanggupi untuk membenahi motor Sobri.

“Abang ini kayaknya lagi suntuk. Bantu dia, Pin. Bang, ini Aripin, jago dia kalau cuma urusan ban bocor. Ada rokok, Pin?”

“Kalau enggak ngasih mending enggak usah nanya,” jawab Aripin sambil mengutak-atik ban belakang motor.

“Nih, tuh, isap. Gua tinggal, ya? Kasihan bini, pasti bingung. Abang, saya pamit. Enggak usah khawatir soal ongkos.”

Setelah tiga tepukan di pundak, sang pengojek begitu saja menyalakan motor, lalu lepas landas—membuat Sobri semakin terpana. Mata lima wattnya menangkap ada lipatan uang di bawah bungkus rokok.

“Sikat, Bang, rokoknya. Mungkin agak lama. Ban Abang bocor di tiga tempat. Ganti ban dalam saja, ya? Tapi saya harus ambil ke rumah. Santai saja, Bang, selonjoran,” kata Aripin, malaikat kedua Sobri malam itu, seraya mengacungkan jempol kanan.

Sayup-sayup, Sobri mendengar suara ketukan dari pelantang. Seorang muazin sedang bersiap membangunkan warga untuk salat subuh. Sejak lahir ke dunia, manusia telah dikutuk tak memiliki kehendak bebas. Namun, mereka toh dibebaskan untuk mengisi hidup dengan peran dan konsekuensinya masing-masing. Tak terkecuali di sini, di kota yang beberapa tahun terakhir Sobri sumpah serapahi.

Kota ini ternyata memiliki kadar puitisnya sendiri. Sejenak kemudian Sobri mengeluarkan ponsel, menatap layarnya dan mencari nama Cynthia. Setelah satu pesan singkat kepada bekas bosnya itu, ia lantas membuka berkas lama: sebuah draf Microsoft Word.

Tiga tahun lalu ia pernah memupuk ambisi menyelesaikan sebuah cerita. Setelah mengamati isinya, jemari Sobri pun menari lincah. Sembari mengulum senyum, dengan hati yang lapang ia mengubah judulnya menjadi “Pada Kota yang Berkali-kali Membuatnya Jatuh Cinta.”

Ikuti tulisan menarik Fajar Martha lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu