x

Iklan

Gilang Pamungkas

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 22 November 2021

Selasa, 23 November 2021 05:45 WIB

Morning Message


Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Ada yang aneh pagi hari itu. Aku tidak mendengar bunyi alarm yang kusetel setiap jam 5 pagi. Aku tidak mendengar lagu “Hyehwadong”, salah satu OST Reply 1988 yang memang aku sengaja atur sebagai nada dering alarm. Jangan tanya alasanku mengapa memakai lagu itu untuk alarm, aku hanya merasa tenang ketika mendengarnya, jadi aku rasa cocok untuk kujadikan alarm, supaya aku bangun dengan perasaan tenang dan tidak terburu – buru.

“Ahhh mungkin aku sudah mematikannya secara tidak sadar,” begitulah pikirku.

Waktu sudah menunjukkan pukul 05.15. Sudah saatnya aku beranjak dari tempat tidur, mengambil handuk, dan bergegas mandi di kamar mandi bersama. Hidup di camp dengan satu kamar berisi empat orang memang menjadi tantangan tersendiri.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Aku tidak mendapat kamar mandi yang mesin pemanas airnya masih berfungsi. Alhasil aku berkompromi dengan tubuhku sendiri supaya bisa memaksakan diri mandi menggunakan air dingin. Memang lebih segar dan membuat kantuk hilang, namun resiko untuk masuk angin menjadi sangat tinggi. Itulah mengapa aku menyediakan obat pencegah masuk angin yang cukup banyak di kamarku. 

Sambil bersiul aku mulai membuka keran dan membasuh kepala dan tubuhku dengan air yang nyaris membeku itu. Hidup lama di daerah yang dekat pantai dan panas, membuat tubuhku sulit berkompromi dengan udara dan kondisi dingin. Setelah menggunakan sabun yang memiliki merk sama dengan milik kekasihku, aku memakai sabun pembersih muka, menyikat gigi dan memakai deodorant, hingga aku menyudahi sesiku di kamar mandi tersebut.

Kupakai seragam kuning yang memang menjadi ciri khas perusahaan tambang, karena warnanya yang mudah dikenali oleh operator alat berat, sehingga meminimalisir terjadinya kecelakaan. Celana jeans yang terlalu panjang ini juga mau tidak mau kupakai, karena aku tidak mau celana jeans milikku menjadi kotor saat di lapangan. Aku memakai krim pemutih untuk kebutuhan kulitku, terutama area wajah. Setidaknya kulit yang sudah hitam ini tidak menjadi lebih hitam karena tersengat matahari.

Aku berjalan ke kantin untuk mengisi perut. Berjalan di belakang kerumunan orang yang tampak sama laparnya denganku.

“Pagi, Bebi! Mau sarapan bareng ngga?”

Ada suara di belakang yang memanggilku. Aku paham betul suara itu. Itu adalah salah satu suara favoritku di dunia ini. Ya, itu suara kekasihku, Ema.

“Eh oh, halo, Bebi! Ayok kita makan bareng, udah lama juga kan,” balasku dengan terbata – bata karena masih shock.

“Gimana tidurnya? Mimpiin aku ngga nih,” candanya kepadaku.

“Hehe nyenyak kok. Aku lupa mimpinya apa, tapi pasti mimpiin kamu sih,” jawabku.

Ahhh rasanya senang sekali bisa mengobrol langsung dengan Ema. Aku merasa seperti sudah lama sekali tidak bertemu dengan dia. Padahal semalam kita sudah video call hingga berjam – jam, tapi rasanya tetap kurang. Aku merasa sangat hidup pagi ini, bisa melihat wajah cantiknya dan mengobrol secara langsung.

Kami berdua sampai di kantin dan langsung menuju tempat duduk yang masih tersedia, menaruh tas, kemudian antri seperti karyawan yang lain. Seperti biasa, dia selalu menaruh porsi sayur lebih banyak daripada makanan yang lain. Dia memang suka makan sayur. Aku yang tidak terlalu fanatik dengan sayur, akhirnya sedikit demi sedikit mengikuti kebiasaan dia.

“Yahhh tidak ada salahnya, bisa jadi program diet juga,” pikirku sembari menyendok sayur dari mangkuk besar.

Duduk berdua di satu meja, makan bersama, dan mengobrol ringan tentang hal yang terkadang tidak penting. Sungguh aku sangat bahagia bisa merasakan itu lagi, aku sungguh rindu momen seperti yang sedang kita lakukan sekarang.

Saking asiknya makan sambil mengobrol, aku sampai lupa waktu. Saat melihat jam, aku langsung terkejut, karena jadwal keberangkatan bus jemputan sudah dekat. Aku segera membereskan piringku dan mengajak Ema untuk bergegas, supaya kita tidak tertinggal bus jemputan yang mungkin sudah hampir berangkat.

Kami duduk di kursi panjang bagian belakang, karena kursi di bagian depan yang berpasangan sudah penuh ditempati oleh karyawan lain. Tas kuletakkan di pangkuan dan kupakai sabuk pengaman, Ema pun melakukan hal yang sama. Ternyata bus tidak langsung berangkat, melainkan masih menunggu sekitar 5 menit lagi, sesuai jadwal yang biasanya diterapkan.

“Keasikan ngobrol jadi hampir terlambat kita nih,” aku membuka obrolan.

“Ahh nda, kan ini juga masih nunggu kan ternyata,” Ema menjawab.

“Hmm iya juga sih, hehe,” sahutku bingung.

Tak lama berselang, datang satu teman kami di departemen yang sama, yaitu Irsyad. Dia bergabung duduk bersama kami di deretan bangku yang paling belakang, karena memang sudah tidak ada tempat duduk lagi yang bisa dijangkau. Bus pun berangkat menuju kantor setelah jam menunjukkan waktu yang telah dijadwalkan, tepat pukul 06.00.

Ketika berada di kendaraan aku selalu suka melihat ke luar jendela dan melamun. Membayangkan diri ini berada dalam suatu situasi yang mungkin tidak akan pernah terjadi. Aku memang suka berfantasi seperti itu, bahkan berdialog dengan diriku sendiri, berusaha mencari skenario yang mungkin terjadi dan sikap apa yang harus aku lakukan ketika berada dalam skenario tersebut. 

Saat sedang asyik melamun, aku dibuyarkan oleh suara yang saling bersahut. Ternyata itu adalah Ema yang sedang berbincang dengan Irsyad. Aku tidak tahu persis apa yang sedang mereka bicarakan, namun rasanya seru sekali perbincangan mereka. Aku mencoba untuk tidak peduli dan tetap melanjutkan lamunanku. Namun tidak bisa, seolah ada benteng berdinding tebal dan tinggi yang menghalangi aku untuk bisa masuk kembali ke dunia lamunanku. Benteng tersebut yang kemudian disebut oleh anak – anak generasi milenial dengan sebutan ‘kepo’.

Aku ingin tahu apa yang sedang mereka asyik bicarakan. Aku penasaran mengapa mereka bisa sedekat ini. Akhirnya aku mencoba untuk memasang telingaku dengan waspada dan mencoba mendengarkan apa yang sedang mereka bicarakan. Aku masih tetap memalingkan wajahku ke arah luar jendela, supaya mereka tidak menyadari bahwa aku sedang menguping. Tapi aneh sekali, aku tidak bisa mendengarkan apa yang mereka bicarakan. Padahal Ema tepat duduk di sebelahku. Aku hanya bisa mendengar suara samar – samar dan tawa candaan mereka. Akhirnya aku mencoba memberanikan diri untuk menengok ke arah mereka, supaya aku bisa mendengarkan dengan lebih seksama.

Saat aku menengok ke arah mereka, aku melihat tangan Ema sedang berada di dagu Irsyad. Mencoba mengarahkan mukanya ke arah dia sembari mengatakan, “dengerin cerita aku dongg.”

Sebelum memulai aktivitas di kantor aku selalu menyempatkan diri untuk menyeduh minuman panas, bisa teh maupun kopi, tergantung mood dan kebutuhanku pada hari itu. Jika aku merasa kurang segar dan mengantuk biasanya aku menyeduh kopi, namun jika kepalaku cenderung berat dan pusing aku akan lebih memilih untuk menyeduh teh. Kebiasaan dari ayah dan ibuku yang selalu menyeduh teh tiap pagi dan sore, membuatku mengikuti kebiasaan mereka, rasanya kepalaku jadi lebih ringan dan segar ketika selesai menyeruput teh manis panas. Setelah kutimbang – timbang, sepertinya hari ini aku akan menyeduh teh saja. Kejadian yang kulihat saat di bus tadi membuatku pusing dan tidak tenang.

“Semoga aja teh ini bisa bikin aku lebih tenang,” ucapku dalam hati.

Aku kembali mendengar suara yang begitu aku kenal di tengah kantor. Aku tau persis kalau itu suara Ema. Kudengar dia berbalas suara dengan orang lain. Suara lawan bicaranya terdengar seperti suara seorang pria. Aku tidak masalah dengan hal tersebut, karena sesuatu yang wajar untuk berbincang dengan teman satu kantor.

Segera kuseduh tehku dan kuaduk supaya gulanya tercampur merata. Kupegang pegangan gelas dengan erat dan kuangkat gelas tersebut dari meja. Kubawa dengan hati – hati supaya teh yang kubawa tidak tumpah dan mengenai tanganku.

Saat aku keluar dari pantry, aku kembali merasa kaget melihat orang yang sedang berbincang dengan Ema mengusap – usap kepala wanita cantik milikku itu. Entah karena kejadian tersebut atau memang aku ceroboh, aku tersandung kardus yang ada di lantai kantor. Tidak sampai jatuh tersungkur, namun cukup untuk membuat teh yang sedang kubawa tumpah mengenai tanganku. Namun saat itu aku tidak merasa kesakitan, rasa panas yang berkecamuk di hatiku lebih kuat daripada rasa panas yang ada di tanganku saat ini.

Saat semua pekerjaan pagi itu sudah selesai dan suasana menjadi lebih santai karena mendekati jam makan siang, aku mencoba mendekati Ema. Aku mengajaknya untuk keluar sebentar bersamaku.

“Em, lagi sibuk ngga?” aku mencoba memulai percakapan.

“Engga kok, udah santai. Kenapa emangnya?”

“Kita ke depan sebentar yuk, aku pengen ngobrol. Mumpung makanannya juga belum dianterin,” aku mengajak.

“Boleh sihh, yuk!” Ema mengiyakan ajakanku.

Aku membuka pintu kantor dan keluar ruangan, diikuti oleh Ema. Aku menahan pintu yang sudah kubuka dan membiarkan Ema keluar terlebih dahulu. Salah satu kebiasaan yang muncul semenjak aku bersama dengan Ema.

Aku lihat ke sekeliling mencari tempat yang sesuai. Setelah menimbang – nimbang, rasanya tempat di bawah tangga di bagian tepi kantor cocok untuk berbicara empat mata dengan Ema. Lokasinya cukup jauh dari lingkungan kantor dan relatif jarang orang lewat, sehingga tidak perlu khawatir akan ada yang melihat atau mengganggu pembicaran kami. Aku duduk di tangga paling bawah, sedangkan Ema duduk di satu level tangga di atasku. Kami saling berhadap – hadapan.

“Em, is there anything you want to share with me?” Aku mulai bertanya.

“Hmm apa yaa? Kayaknya ngga deh. Emang kenapa, Bebi?” Ema balik bertanya.

“Aku pengen bilang sesuatu sih, tapi kamu jangan marah ya. Kan kita sudah janji kalau ada yang merasa mengganjal di hati, lebih baik dibagi dan dikomunikasikan, supaya tidak menjadi masalah yang lebih parah,” Aku mencoba menjelaskan.

“Iya bebi, bilang aja gapapa kokk,” Ema memberiku lampu hijau.

“Aku waktu di bus lihat kamu nyentuh dagunya Irsyad, terus tadi pagi di kantor juga aku lihat kamu ngobrol sama orang lain sambil kepala kamu diusap. Aku kok jadi gak nyaman ya sama hal itu,” aku mencoba menyampaikan komplainku.

“Kenapa sih? Aku kan cuma ngobrol biasa aja sama mereka, bukan yang aneh – aneh juga,” Ema membela diri,

“Iya aku tau kok, itu cuma sekedar ngobrol biasa aja. Tapi harusnya ga perlu sampai ada sentuhan segala kan. Kamu juga kan tau kalau pacar kamu ada disitu, pasti ada rasa ngga nyaman lihat pacarnya touchy yang gak wajar sama cowo lain,” Aku mencoba menjelaskan kembali.

“Udah ah, aku pusing. Lapar. Aku mau balik ke kantor!” Ema menutup percakapan.

Ema berdiri dan bergegas menaiki tangga. Aku yang masih terkejut hanya bisa memandangi dia pergi menjauhiku secara perlahan. Aku tidak menyangka kalau Ema akan semarah itu.
Aku dan Ema selalu mencoba menjalani hubungan ini dengan baik. Kita selalu bisa melewati semua masalah dengan komunikasi yang baik. Itu adalah kekuatan utama kami dalam menjalin hubungan ini, komunikasi yang mendalam dan jujur.

Tapi kali ini berbeda, kami tidak bisa melakukan komunikasi yang baik. Senjata utama kami tidak mempan untuk menyelesaikan konflik kami kali ini. Aku merasa sedih, sedih sekali. Lebih sedih dibanding melihat Ema mengobrol sembari bersentuhan dengan orang lain. Tanpa terasa area di sekitar mataku panas, aku seperti ingin menangis.

Tidak ada waktu bagiku untuk bersedih, aku harus mengambil keputusan sekarang juga. Akhirnya aku mencoba memanggil Ema, supaya dia mau kembali kesini dan melanjutkan obrolan kami hingga tuntas.

“Bebii!” Aku mencoba memanggil.

Namun tidak ada suara yang keluar dari mulutku, seolah ada yang menghalangi tenggorokanku.

“Bebiiiiiii!” Aku mengeluarkan sepenuh kekuatanku supaya suara mau keluar dari mulutku sambil memejamkan mata.

Aku berhasil mengeluarkan suaraku, perasaanku sedikit lega saat itu, karena aku yakin suaraku pasti terdengar olehnya. Saat aku membuka mata, aku tidak melihat Ema di depanku, melainkan langit – langit suatu ruangan yang berwarna putih dibalut cahaya kuning yang terpendar dari lampu yang ada di dekatnya. 

Peluh mengalir dari wajahku. Perasaanku masih bercampur aduk tidak karuan antara sedih, marah, lelah, dan bingung. Aku mencoba menarik nafas dalam dan mencoba memproses apa yang sebenarnya sedang terjadi.

Ada musik yang terdengar dan aku kenal dengan baik nadanya. Ya, itu adalah “Hyehwadong”. Suara itu menggema di sekitar ruangan, semakin keras tiap detiknya. Aku segera meraih sumber suara itu yang ternyata adalah handphone-ku sendiri. Kesadaranku yang belum pulih betul membuatku secara tidak sengaja menyenggol gelas yang masih berisi separuh teh sisa semalam. Setelah handphone berhasil kuraih, aku segera mematikan lagu tersebut.

Aku melihat ada notifikasi kecil di bagian atas layar handphone-ku. Mataku berbinar ketika melihat notifikasi tersebut adalah pesan dengan nama kontak yang terdiri dari tiga karakter, tercantum di pesan tersebut. Ya, nama kontak itu adalah Ema, wanita yang begitu aku cintai dan aku sayangi, dari lubuk hatiku yang paling dalam. Aku segera membuka pesan tersebut.

“Good morning, Bebiii..
Have a very nice day yaaa, jangan lupa makan yang bergizi, biar selalu sehat.
Aku saaayang banget sama kamu"

Aku tersenyum.

Ikuti tulisan menarik Gilang Pamungkas lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB