x

Gambar dari Eepeng Cheong dari Unsplash

Iklan

Sarwendah Puspita Dewi

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 9 November 2021

Selasa, 23 November 2021 05:50 WIB

Batu Bata Kebaikan

Kegiatan ini bukan difungsikan untuk menetrasi semua ucapan saya ke dalam pikiran teman-teman tanpa melalui proses filtrasi. Silakan ambil dan serap apa saja pernyataan dari saya yang memang baik dan bermanfaat menurut teman-teman.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Matahari nyaris terbenam, namun chat WhatsApp dari atasannya sejak pagi tadi belum juga ia respons. Entah bagaimana Nina harus membalasnya. Ia sadar bahwa setidaknya apa yang dia tulis seharusnya mencerminkan pendapat dan pemikirannya. Masalahnya, jika dia menuliskan apa yang benar-benar dia pikirkan, ia khawatir itu akan mencederai perasaan dan harapan Mbak Rima—atasannya.

Nina tidak tega jika itu sampai terjadi. Bukan masalah karena yang ia hadapi adalah atasannya atau lebih senior darinya, lebih dari itu karena mb Rima adalah sesosok manusia yang benar-benar baik. Kepada siapa saja ia selalu memancarkan gelombang kebaikan, dan Nina, pada khususnya, selalu merasakan resonansi kebaikan mbak Rima bahkan sejak pertama kali Nina berstatus sebagai seorang calon pegawai negeri sipil (CPNS) di kantornya.

Kalau setiap kebaikan mbak Rima kepadanya bisa dikonversikan dengan sebuah batu bata, mungkin Nina sudah bisa membangun sebuah rumah minimal tipe 45. Sebaliknya, jika kebaikan yang dilakukan Nina kepada mbak Rima dinilai sama, barangkali mb Rima hanya dapat membangun sebuah ruangan kecil, itupun juga tak sampai 1x1 meter. Itulah kenapa Nina sungguh berutang budi pada mb Rima, dan itu adalah hal yang selalu ia ingat.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Gimana, Na?” tanyanya. Absennya balasan chat dari Nina mendorong mbak Rima untuk meneleponnya.

“Mmm.. gimana ya, Mbak? Aku juga bingung ini,” kejujuran kata-kata Nina tersekat di tenggorokan, ia tak mampu melanjutkan kalimatnya.

Lha kok gimana. Memangnya kenapa? Ada apa? Kamu nggak mau jadi narasumber di acara workshop penulisan opini?” selidik mbak Rima.

“Ya gimana ya, Mbak,” Nina mulai merasa bersalah. “Aku kan nggak pernah jadi narasumber acara seperti itu sebelumnya. Lagipula, aku juga belum sering menang lomba acara serupa, dan tulisan opiniku juga belum pernah dimuat di media massa nasional manapun. Jadi, aku merasa belum terlalu berkompeten,” kilah Nina.

“Akhir-akhir ini kamu kan beberapa kali menang lomba menulis opini. Itu tandanya kamu cukup berkompeten. Selain kamu, teman-teman di sini kan jarang banget yang nulis opini, paling cuma satu atau dua. Paling banter nulis artikel jurnal….”

“Nah itu dia, Mbak,” dengan cepat Nina menyambar ucapan mbak Rima, dan tiba-tiba Nina menjadi asing dengan dirinya sendiri, serasa bagai orang yang tidak mengerti sopan santun. “Maksudku, kita kan lebih familiar dengan karya tulis ilmiah yang seperti itu ketimbang menulis artikel opini…”

“Itulah, Na!” seru mbak Rima bersemangat. “Kita perlu penyegaran. Kita juga harus bisa menulis artikel opini yang baik seperti halnya dirimu. Itu akan mendukung kualitas kompetensi kita sebagai seorang editor apalagi sejak dua bulan lalu kita sudah resmi menyandang jabatan fungsional Penata Penerbitan Ilmiah. Sungguh ironis bila kita ternyata kurang pandai menulis opini. Bagaimanapun juga, masyarakat awam lebih gampang membaca tulisan opini ketimbang murni karya tulis ilmiah,” ia berhenti sejenak.

“Di website kita juga ada kolom opini kan? Biar kita semua bisa berpartisipasi juga mengisi website organisasi kita dengan ide-ide yang fresh dan cemerlang, bukan cuma sekadar nulis opini asal-asalan. Lagipula nanti pesertanya kan bukan cuma pegawai di kantor kita saja, ada juga anak-anak mahasiswa yang sedang magang, nanti kita undang mereka juga, toh acaranya juga via daring,” Nina mendengar aura kegembiraan dan keceriaan dalam suara mbak Rima yang membuatnya semakin tidak tega untuk tak menyetujui permintaan atasannya itu. 

Nina berpikir sejenak lalu berkata, “Baik kalau begitu, Mbak,” itu adalah ucapan pamungkas yang ia harap dapat menyudahi percakapan mbulet mereka. Kalau Nina masih terus menolaknya, toh mbak Rima tetap akan melancarkan alasan-alasan logis lainnya. Bagaimanapun juga pokok pembicaraan itu sangat jelas: kantor mengadakan webinar penulisan opini yang narasumbernya merupakan orang dalam sendiri untuk mendorong dan memompa semangat di antara para pegawai.

Barangkali bukan cuma Nina yang beranggapan bahwa siapa lagi yang paling relevan untuk mengisi kegiatan tersebut selain dirinya? Karena sejauh ini di antara semua pegawai di kantor Nina, dialah yang paling aktif menulis opini, baik untuk website kantor maupun platform kepenulisan yang lain serta beberapa kali Nina telah memenangkan kompetisi lomba menulis serupa. Lebih dari itu, Nina sejatinya hanya tidak ingin mengecewakan mbak Rima yang bagi Nina, merupakan sesosok manusia dengan hati yang teramat mulia.

****

Ketiba tiba saatnya, ia mencoba menguatkan diri dan berkata serileks mungkin. “Ada dua hal yang ingin saya katakan sebelum saya mulai menyampaikan materi,” ucap Nina di acara workshop tersebut. “Pertama, posisi saya di sini bukanlah sebagai narasumber yang semata hendak menyampaikan tips dan trik bagaimana cara menuangkan pendapat argumentatif kita ke dalam sebuah tulisan, melainkan lebih sebagai narasumber yang hendak menyampaikan pengalaman-pengalaman pribadi saat proses kreatif menulis itu berlangsung. Karenanya, tips menulis yang akan turut saya sampaikan adalah tips menulis berdasarkan olah rasa dan pengalaman saya.”

“Kedua, karena saya merasa bukanlah seorang pakar dan saya merasa tidak pernah melahirkan karya-karya adiluhung, dan karena apa yang saya sampaikan boleh jadi bersifat subjektif, jadi teman-teman tidak harus menyetujui semua hal yang saya katakan. Bisa jadi apa yang saya katakan, itu memang cocok untuk saya, tetapi belum tentu untuk teman-teman,” Nina berhenti sejenak, mengatur napas, dan bersiap mendengar dengusan atau mungkin ungkapan kekecewaan peserta lainnya. Hening, ia lantas melanjutkan,    

“Mohon cerna dengan baik apa yang saya sampaikan, jangan langsung di-iya-kan begitu saja. Selain itu, teman-teman sangat diperbolehkan untuk menolak ataupun tidak setuju dengan apa yang saya katakan. Kegiatan ini bukan difungsikan untuk menetrasi semua ucapan saya ke dalam pikiran teman-teman tanpa melalui proses filtrasi. Silakan ambil dan serap apa saja pernyataan dari saya yang memang baik dan bermanfaat menurut teman-teman. Jadi, mohon aktifkan proses berpikir dan nalar sehat teman-teman semua,” ujarnya mantap.

“Sekarang, mohon izinkan saya untuk berbagi layar kepada Anda semua…”

Sambil menunggu tampilan layar yang sedang loading, Nina merasakan kelegaan menjalari tubuhnya. Beban berat kebingungan yang sempat menghimpit dirinya kini seolah terangkat, tercerabut dari dirinya. Pikirannya terasa jauh lebih ringan, dan napasnya terasa lebih plong.

Dalam lubuk hatinya, Nina sadar bahwa ia tidak ingin mengecewakan teman sekaligus atasannya karena Nina merasa kompetensinya belum maksimal untuk disejajarkan dengan kolomnis maupun penulis aktif nasional lainnya sehingga ia merasa belum layak untuk menjadi narasumber acara tersebut. Sementara di sisi lain, Nina juga tidak mau mengiyakan begitu saja penugasan itu sehingga harus berlaku bak seorang narasumber yang tahu segalanya. Agak berat memang, tetapi Nina berusaha jujur dan meyakinkan diri untuk tidak terpengaruh dengan apapun penilaian orang terhadap dirinya.

Keluasan hati untuk menerima segala macam perspektif dan pandangan peserta tentang dirinya sebagai seorang narasumber telah ia persiapkan. Dicap sebagai narasumber yang ahli di bidangnya ataupun narasumber yang kurang kompeten akan diterimanya sama-sama dengan lapang dada. Ia belajar untuk tidak terlalu ambil pusing dengan hal-hal remeh semacam itu. Fokusnya hanya satu: dengan jujur menyampaikan informasi yang diharapkannya dapat menjadi jembatan pengetahuan bagi yang lain untuk menghasilkan tulisan yang bermutu dan bermakna bagi kemanusiaan.     

Nina juga tak pernah bercita-cita menjadi seorang penjajah. Oleh karena itu, ia merasa tidak memikul tanggung jawab maupun obsesi apapun untuk memengaruhi atau menguasai siapapun. Tugasnya adalah melakukan hal yang bermanfaat bagi sekitarnya. Jadi, siapa tahu dengan bersedia menjadi narasumber sebagaimana mandat dari mbak Rima tanpa melupakan kesejatian dirinya dan peserta lainnya, ia berpikir Tuhan akan mengganjarnya dengan batu bata kebaikan, bukan hanya untuk dirinya dan mbak Rima, melainkan juga untuk (pemajuan kedaulatan berpikir) bangsa ini dalam skala yang lebih luas.

           

Ikuti tulisan menarik Sarwendah Puspita Dewi lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB