x

Iklan

Dian Savitri

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 23 November 2021

Rabu, 24 November 2021 07:59 WIB

Sudahkah Guru Merdeka dalam Menilai Siswa?

Konsep merdeka belajar dibuat untuk membuat guru dan siswa bahagia dalam melaksanakan proses pembelajaran. Ada empat pokok kebijakan yang dikeluarkan Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan terkait merdeka belajar ini. Dari sekian kebijakan merdeka belajar, apakah konsep ini sudah membuat guru sepenuhnya merdeka dalam melakukan penilaian pembelajaran?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Konsep merdeka belajar dibuat untuk membuat guru dan siswa bahagia dalam melaksanakan proses pembelajaran. Ada empat pokok kebijakan yang dikeluarkan Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan terkait merdeka belajar ini, yaitu mengganti Ujian Nasional (UN) dengan Asesmen Kompetensi Minimum (AKM) dan survey karakter; pengalihan kewenangan Ujian Sekolan Berstandar Nasional (USBN) ke pihak sekolah; penyederhanaan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) dan perluasan zonasi untuk Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB). Dari sekian kebijakan merdeka belajar, apakah konsep ini sudah membuat guru sepenuhnya merdeka dalam melakukan penilaian pembelajaran?

Langkah berikutnya setelah memberi materi dan berdiskusi di kelas adalah melaksanakan penilaian terhadap siswa. Kegiatan ini dilakukan untuk mengukur seberapa jauh pemahaman siswa terhadap materi yang mereka dapat. Tentu ada banyak cara untuk menilai siswa dan tidak hanya sebatas duduk diam mengerjakan soal di lembaran kertas. Meskipun pada akhirnya guru masih juga belum merdeka dalam menentukan nilai kepada siswa. Potensi siswa yang begitu banyak hanya dibuktikan dengan sebentuk angka di lembar laporan siswa.

Tidak dapat dipungkiri bahwa tugas administrasi guru lebih besar dan menyita waktu daripada menyiapkan bahan ajar bagi siswa. Guru harus membuat perangkat pembelajaran sebegitu tebalnya untuk berbagai keperluan seperti pemberkasan pribadi, akreditasi sekolah, penilaian kinerja kepala sekolah, supervisi dan lainnya. Pada jenjang SMP, jumlah pertemuan mata pelajaran bahasa Inggris hanya 2 kali pertemuan selama satu minggu dengan rincian 35 menit x 2 JP (jam pelajaran). Bahkan untuk sekadar melakukan praktik di kelas, waktu yang ada sangatlah kurang sebab jumlah siswa di sekolah bisa mencapai 30 orang. Padahal, baik guru dan siswa ingin mengetahui seberapa jauh pemahaman mereka terhadap materi yang baru saja dipelajari. Pada mata pelajaran ini, pembelajaran siswa masih berkutat pada textbook yang seharusnya seimbang dengan pembelajaran listening dan speaking. Akhirnya, praktik di kelas jarang dilakukan karena guru harus mengejar "ketertinggalan" materi di kelas.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Masalah seputar pemberian nilai tidak berhenti sampai di sini. Adakalanya guru terbelenggu dengan pemangku kebijakan di saat harus menilai siswa yang tidak sesuai dengan kenyataan. Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) terkadang menjadi hambatan bagi guru untuk melaksanakan penilaian. Pasalnya, sekolah meminta guru untuk hanya memberi nilai pas KKM atau di atas KKM. Guru tidak diperbolehkan untuk memberi nilai di bawah KKM. Apa dampaknya? Siswa yang sudah berulang kali melakukan perbaikan nilai dan belum mampu menyentuh KKM, akhirnya tetap menerima laporan bahwa nilai di semester sekian sudah melampaui batas KKM. Apa yang dirasakan siswa lain? Ah, dia yang jarang mengerjakan PR dan nilai ulangannya jelek saja masih bisa naik kelas, masih bisa dapat buku raport. Saya rasa akan berbeda kondisi ketika guru masih diberi wewenang untuk memberi nilai sesuai dengan kenyataan, bahwa siswa tersebut belum mampu mencapai nilai KKM.

Masih seputar penilaian. Pada kondisi pandemi, pemerintah melalui Kemendikbud mengeluarkan kurikulum dalam kondisi khusus, atau kita sebut dengan kurikulum darurat, yang cukup membantu guru dalam menjalankan pembelajaran dalam kondisi yang sangat terbatas. Guru dan siswa berjarak waktu dan tempat dengan adanya larangan tatap muka di kelas. Namun di sisi lain, guru menjadi merdeka dalam memilih materi esensial dan melaksanakan penilaian. Contohnya pada pelaksanaan Penilaian Akhir Semester (PAS) dan Penilaian Akhir Tahun (PAT). Di akhir Desember 2020 dan Juni 2021, sekolah memberi kewenangan pembuatan soal kepada masing-masing guru dengan berporos pada silabus dan kisi-kisi yang dibuat oleh MGMP. Soal yang dibuat oleh guru diperbanyak sesuai jumlah siswa yang biayanya berasal dari sekolah. Berbeda dengan sebelum pandemi ketika sekolah harus "membeli" soal untuk penyelenggaraan PAS dan PAT yang materinya terkadang belum diterima oleh siswa. 

Pada dasarnya, konsep merdeka belajar dibuat untuk membebaskan guru dan siswa dari berbagai macam belenggu. Sayangnya, kita masih nyaman berjalan dengan pakem lama. Sudah seharusnya sumber daya manusia, dalam hal ini adalah guru, untuk mempersiapkan diri menghadapi era baru. Kita harus berpikir maju daripada sebelumnya. Terlebih lagi di era digitalisasi ini, setiap orang wajib menguasai pengoperasian gawai dan komputer. Selain itu, konsep ini belum berjalan beriringan dengan kebijakan yang ada. Pelaksanaan PAS dan PAT di beberapa daerah masih diambil alih oleh pemegang kebijakan yang mana sekolah harus mengeluarkan biaya untuk itu dan isi soal belum tentu sama dengan apa yang diterima oleh siswa. Dengan demikian, ketika guru sudah semangat untuk menerapkan konsep merdeka belajar, hendaknya kebijakan pun harus dapat berjalan beriringan tanpa ada kepentingan yang memberatkan guru dalam praktiknya.

Ikuti tulisan menarik Dian Savitri lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu