Melihat cekcok kelas elite (?), cekcok ya bukan debat akademik, jadi teringat waktu masih kanak-kanak dulu. Teman-teman yang sering bersahabat kadang-kadang berantem juga karena soal sepele, misalnya kalah main kelereng lalu sewot. Ketika beradu mulut, masing-masing mengeluarkan jurus yang biasa dilakukan anak-anak, yaitu membawa-bawa nama saudara dan orang tua. “Tak bilangin kakakku,” lalu dibalas “Tak bilangin bapakku” terus dibalas lagi “Tak bilangin kakekku......” Yang berantem sama-sama tidak berani membawa dirinya sendiri saja, dan karena itu membawa-bawa nama nenek moyang.
Cekcok anggota DPR dan orang lain yang mengaku anak jenderal (dan diberitakan merupakan isteri jenderal bintang satu) rupanya sudah menyita banyak perhatian publik. Media massa memberitakan, media sosial juga riuh rendah. Komentar-komentar berseliweran. Alangkah riuh, tapi keriuhan bukan dari jenis yang mencerahkan masyarakat, melainkan kegaduhan yang memperlihatkan kualitas egoisme. Sungguh sayang bahwa ruang publik, termasuk yang ada dalam pengelolaan para jurnalis, diisi oleh berita-berita semacam itu. Pembaca disuguhi berita berkelanjutan bagaikan drama serial.
Semakin berlebihan pula ketika ada anggota DPR meminta agar cekcok tersebut diusut hingga tuntas. Anggota lainnya bilang masalah ini akan kita selesaikan dengan baik sebagai sesama anak bangsa. Ada pula anggota yang menimpali: gelar bukan untuk gaya-gayaan. Ada pimpinan DPRD yang berusaha menengahi tapi dituding jadi beking. Mahkamah Kehormatan Dewan pun bersuara. Begitu riuh, sehingga elite papan atas turun tangan, sehingga banyak energi dan waktu yang seharusnya digunakan untuk urusan negara malah tercurah untuk mengurusi cekcok ini.
Apakah karena cekcok ini melibatkan kerabat jenderal dan anggota Dewan maka banyak politisi ikut merespons? Bagaimana jika salah satunya rakyat biasa yang tidak bisa dibawa-bawa namanya untuk mengangkat kepercayaan diri dalam perselisihan atau untuk mengintimidasi lawan cek-coknya? “Awas kamu, tak bilangin bapakku...”
Entah apa kebaikan keriuhan itu bagi masyarakat luas. Ruang-ruang publik diisi dengan berita percekcokan, komentar politisi, tanggapan pejabat tinggi, betapa sayang. Bukankah itu kesia-siaan, sebab ruang-ruang publik itu bisa diisi dengan pembicaraan mengenai hal-hal yang penting bagi kehidupan masyarakat luas? Banjir, longsor, penyakit, dan seterusnya, pokoknya yang penting bagi masyarakat agar memperoleh perhatian dari pihak-pihak yang punya otoritas untuk menanganinya.
Cekcok semacam itu tak perlu menyita banyak ruang publik. Para anggota Dewan lainnya mestinya tetap fokus pada urusan kepentingan rakyat banyak, tidak ikut terseret dalam perdebatan atas nama solidaritas sesama legislator. Anggota Dewan juga perlu becermin bahwa arogansi kerap menghinggapi sebagian mereka. Arogansi karena jabatan, kekerabatan pejabat, ataupun arogansi karena status terjadi secara verbal maupun tidak.
Seperti kata seorang netizen: “... jadi anak jenderal atau anggota DPR tak perlu merasa lebih dari yang lain.” Netizen lain merespon secara lebih santai: “Arogan ketemu arogan jadi rame ... kita rakyat jelata gelar tiker sambil nyruput kopi sachetan.” Bahkan, saking cerdiknya ingatan netizen, netizen pun mengingatkan anggota Dewan dengan kejadian yang dialami Prof. Emil Salim dalam sebuah acara televisi. Begitulah rakyat jelata, di tengah kesulitan hidup pun rakyat masih bisa menikmatinya walaupun drama itu tidak memberi pencerahan apapun untuk mengatasi kesulitan hidup rakyat. Seperti kata netizen tadi, sekedar tontonan sembari minum kopi setelah letih bekerja. >>
Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.