x

-

Iklan

Safar Sirajuddin

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 23 November 2021

Rabu, 24 November 2021 18:58 WIB

Eksistensi Energi “Supranatural” Pendidikan

Intervensi pihak luar yang empunya kepentingan membuat pendidikan tidak hanya kacau, tapi independensi ilmu akan mengalami bias. Akhirnya masa depan penerus bangsa yang dipertaruhkan. Kekuatan supranatural pendidikan tak lagi natura.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Lepas

 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

“Tuntutlah ilmu hingga ke liang Lahat”. Seperti kiasan itu, ilmu mesti dikejar (baca: dituntut). Ilmu menjadi dasar manusia dikatakan memiliki peradaban atau tidak. Sejak zaman sebelum ada tulisan hingga saat ini yang sarat dengan iptek, ilmu selalu terdepan untuk kedua masa tersebut. Ilmu ditawarkan dari rumah ke rumah, teras ke teras yang lain, pasar ke pasar lain. Hingga saat ini disediakan tempat yang formal yang kita sebut sebagai sekolah/kampus atau dalam arti luas dunia pendidikan.

Menurut Driyakarkara (1950:74), pendidikan didefinisikan sebagai upaya memanusiakan manusia muda atau pengangkatan manusia muda ke taraf insani. Selaras dengan pendapat pakar, pendidikan dengan energinya mampu menarik rasa keprihatinan para orang tua yang dahulunya tidak punya sekolah mengusulkan bahkan mengharuskan agar anaknya menempuh jalur pendidikan ini. Mulai dari tingkat paling dasar hingga tingkatan paling top dengan gelar mentereng. Jenjang pendidikan sangatlah beragam, tergantung sejauh mana kita mampu mengejar dan meraihnya. Pendidikan memiliki andil yang besar dalam perubahan sebuah peradaban. Bahkan menjadi tolak ukur kemajuan sebuah negara untuk saat ini.

Pendidikan bukan hanya menarik dari segi landasan pengembangannya, atau landasan kenapa harus berpendidikan sebagai kebutuhan manusia. Akan tetapi, pendidikan memiliki energi lain. Ada gula ada semut, pendidikan itu manis layaknya gula, banyak yang menginginkannya. Banyak yang berjuang mengatasnamakan pendidikan. Akan tetapi lain di mulut lain di atas kertas. Menggelontorkan dana besar untuk pendidikan bukan tanpa sebab dan tanpa perhitungan yang matang.

Kartono (1997:97) mengemukakan bahwa tingginya tingkat pendidikan dan tingginya taraf kebudayaan rakyat akan menjadi barometer bagi pertumbuhan bangsa dan negara yang bersangkutan. Mungkin hal tersebut menjadi salah satu dasar tingginya anggaran pendidikan di negara ini. Anggaran yang tinggi tidak serta merta dapat mengelaborasi semua masalah yang ada di lapangan dan terpecahkan begitu saja. Akhirnya, lahirlah istilah komersialisasi pendidikan, kapitalisasi dalam dunia pendidikan.

Memandang komersialisasi pendidikan, sebenarnya bukan lahir dari pintu gerbang sekolahan atau kampus tapi lahir dari sistim yang selama ini jadikan panutan. Komersial dari sistim dapat berupa aturan yang melegalkan komersialisasi karena sudah tidak mampu membiayai pendidikan nasional secara utuh dan menyeluruh, seperti Badan Hukum Pendidikan yang menuai kritik dari berbagai pihak. Yang lebih parah jika pendidikan adalah bagian dari bisnis keluarga. Banyak kemudian pendirian yayasan atau sekolah tapi tidak dikuti oleh pemenuhan kemampuan pengelolaan, perangkat dan yang paling penting adalah keseriusan memanusiakan manusia. Sehingga yang terjadi adalah banyak diantara mereka itu tidak diakui hingga pencabutan izin operasional. Dampaknya tidak hanya psikis dari alumni atau lulusan tapi dari masyarakat yang mulai ragu dengan keseriusan pendidikan kita.

Pandangan atas kesamaan pola pikir dalam keberagaman masyarakat, banyak sedikitnya menjadi bumerang bagi dunia pendidikan di Indonesia. Ini bagaikan pisau bermata dua, sangat dilema bahkan terkesan melemahkan dunia pendidikan. “Sebutlah, daerah kita yang dilewati garis khatulistiwa”,  seorang dosen saat duduk dibangku kuliah berkelakar “Kita, orang Indonesia, semakin dekat dengar garis khatulistiwa kehidupan dan perilaku masyarakatnya semakin keras dan kasar, jadi agak susah diatur dengan hanya imbauan atau teguran mulut, butuh sentuhan.”

Meski tidak ada korelasi ilmiah tentang hal tersebut tapi saya menggaris bawahi kata sentuhan, jelas di raut muka beliau saat itu seakan mengatakan bahwa pendidikan itu juga mesti variatif. Keras bukan berarti kasar, kasar bukan berarti keras, ini keberagaman, budaya A akan sangat berbeda dengan budaya B. Mengkonsumsi daging pada budaya A akan menjadi tabu bagi budaya B bahkan bisa jadi sangat tidak biasa.

Hukum persamaan terkait hal tersebut seakan-akan tidak berlaku dalam dunia pendidikan, seperti layaknya kucing dan singa, mengajari anak mereka cara berburu dan memangsa dengan cara mereka sendiri. Pemerataan pendidikan menjadi hal posistif bagi kesenjangan pengetahuan dan ilmu yang selama ini ada di kota dan desa akan tetapi di lain pihak menjadi reduksi nilai lokal, menggeser peradaban dan nilai luhur lokal. Kembali lagi, pengakuan hak-hak asasi manusia adalah baik tapi keadilan tidak memandang kebaikan.

Produksi perangkat pendidikan yang pro keberagaman disambut baik oleh seluruh masyarakat. Tapi sayang hingga saat ini, wacana itu hanya di atas kertas, implementasinya bisa dikatakan jauh dari tujuan luhurnya. Budaya lokal atau kearifan lokal seakan tidak bisa menyatu dengan penddiikan walaupun banyak riset dan hal-hal yang menyangkut hal tesebut tapi ruang geraknya sangat terbatasi oleh modernitas. Gaya berbahasa yang menjadi budaya lokal misalnya, bukan hanya dihilangkan tapi dianggap racun modernitas yang menghambat laju perkembangan iptek . Keren gak keren diukur dari sebagaimana anda menguasai bahasa yang bukan bahasa ibu. Semua orang berbondong-bondong menguasai bahasa asing dengan ekpektasi selangit. Berniat sekolah atau menuntut ilmu di tempat atau daerah dengan budaya yang berbeda.

Hal tersebut merupakan jalan utama, mulus tapi perlahan menjauhkan kita dari budaya lokal. Meskipun kemungkinan tersebut jarang tapi sebagian ilmu yang mereka dapatkan di luar itu akan menjadi bahan perbandingan untuk budaya yang telah lama kita miliki. Perbandingan ini akan menghasilkan 2 hal; yang pertama  yaitu terima dan kedua, jauhkan. Menerima budaya lokal untuk budaya asing bukan sebaliknya dan jauhkan budaya lokal dari anak-anak, dari kehidupan keluarga agar nilai budaya asing yang diterima tetap terawat.  Inilah reaksi atas resolusi yang mereduksi nilai.

Berbagai inovasi yang dirancang oleh para pakar pendidikan di dunia, termasuk di Indonesia telah dianggap mampu untuk menelurkan generasi berilmu yang kompeten dan layak di lepas ke dunia kerja. Sebagai masyarakat modern, kerja dalah solusi akhir dari pendidikan, tidak kerja berarti pendidikan gagal. Dogma yang keliru yang terpelihara bahkan subur di masayrakat. Mencoba menilik lebih dalam dan disatukan dengan pemerataan pendidikan layaknya memberi makan bayi dengan nasi (bukan bubur) padahan belum punya gigi. Kalau tidak tersedak maka kemungkinan akan terjadi kerusakan dalam sistem pencernaan si anak.

Senada dengan dunia pendidikan, inovasi yang timpang akan melahirkan ketimpangan pengetahuan dan ujungnya adalh ketimpangan sosial dimana pengangguran semakin banyak, yah, bukan semata-mata kesalahan inovasi gagal. Kegagalan bukan menitik beratkan pda individu yang gagal tapi pihak tertentu mencoba mencari penyebab kegagalan tak lain dan tak bukan ke-becus-an pihak institusi atau yang paling seksi, kesalahan pola ajar (asah, asuh dan asih), yakni kesalahan pendidiknya. Meyangsikan latar belakang hingga kompetensi si pendidik itu sendiri, sangat tak beralasan.

“Guru sebagai ujung tombak” bisa dikategorikan pujian yang merendahkan. Dalam perhelatan Pendidikan Nasional, guru selalu menjadi sasaran yang seyogyanya menjadi tombak yang baik bagi pemerintah. Menjadi unjung tombak untuk membunuh kebodohan, dalam keadaan tumpul atau dalam keadaan tajam. Program yang pro guru diluncurkan dari waktu ke waktu. Peningkatan kompetensi guru selalu dicanangkan dan dievaluasi agar tetap tajam meski hal tersebut bukan tanpa masalah. Contoh, Program Peningkatan kesejahteraan yang memungkinkan administrasi terkait hal tersebut lebih diutamakan ketimbang berhadapan dengan siswa, tombak jadi tumpul dan tak lagi tepat sasaran. Meskipun selalu ada pro kontra antara berhasil atau tidaknya tapi program yang demikian atau serupa akan selalu ada, walaupun kadang menggandeng masalah pelik dibelakangnya.

Sejatinya, pendidikan itu mengalir, pemilik kebijakan hanya butuh membuat bendungan dan menghitung debit alirannya. Biarkan ujung tombak yang berjalan membagikan ilmu, menanam di tiap kepala penerus bangsa, bukan malah membuat bimbang pengajar ataupun yang diajar. Intervensi pihak luar yang empunya kepentingan, membuat pendidikan tidak hanya kacau tapi independensi ilmu akan mengalami bias dan akhirnya masa depan penerus bangsa yang dipertaruhkan. Kekuatan supranatural pendidikan tak lagi natural.

Ikuti tulisan menarik Safar Sirajuddin lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu