x

Iklan

Nanthi Pasissa

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 17 November 2021

Rabu, 24 November 2021 19:29 WIB

Mentari Tak Lagi Menerangi

Hubungan sebab akibat kehidupan. Jadilah sebab untuk akibat yang bermanfaat agar hidup lebih berarti. Jika tidak dapat menjadi sebab yang baik maka ambilah peran yang dapat merubah akibat menjadi lebih baik.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

MENTARI TAK LAGI MENERANGI

 

Ketika aku tidak mengenali siapa diriku. Aku menarik diri jauh dari hingar bingar pertemanan, persahabatan bahkan persaudaraan. Orang bilang hidup ini pilihan, menyendiri menjadi pilihanku kini. Sejenak diam memberi ruang diri untuk memulai kontemplasi. Tidak mudah pasti karena aku tidak tau harus memulai renungan ini dari mana. Melihat kekurangan, kesalahan, kesombangan diri tidaklah mudah. Bukan aku yang salah tapi aku ini korban.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Tidak ada kebetulan di dunia ini, semua peristiwa terjadi karena sebab akibat. Tapi untuk bisa menerima bahwa kita adalah sebab dari peristiwa itu butuh kedewasaan yang tinggi. Usia tidak menggambarkan kedewasaan. Terlalu banyak orang dewasa yang merasa dirinya akibat dalam peristiwa. Aku tak cukup dewasa untuk menyatakan aku adalah sebab.

Hasil karya tercipta dari pemikiran dan usaha nyata. Bukan ajang unjuk diri, mencari popularitas, atau membuat sensasi. Mendapatkan banyak pelajaran dari setiap proses, mensyukuri hasilnya, legacy, dan menjadikan diri menjadi berarti. Sudahkah kamu menjadi berarti?

Perkenalkan namaku Mentari, perempuan manis yang sedang belajar mengenali siapa dirinya. Bukan terlahir dengan kondisi yang kurang sempurna tapi dalam menjalani hidup membuat pikiran ini menjadi tidak sempurna. Obsesi diri sendiri atau orang tua untuk menjadi perempuan kuat membuat aku menjadi sangat kuat dan tegar tak tergoyahkan.

Muda, terlewat mandiri, bersemangat, pantang menyerah, dan tak mengenal air mata. Impian demi impian aku goreskan dengan tinta hitam pada secarik kertas yang kemudian aku tempel di kaca kamarku. Kini kertas itu tak lagi goresan tinta hitam tapi sudah berwarna warni. Bagaikan pelangi yang mewarnai diri ini menjadi lebih berarti.

Hidup tak selamanya penuh dengan teka teki. Ada kalanya hidup menjadi membosankan. Ketika tak ada lagi impian yang ingin diraih, seolah otak sudah tidak dapat menstimulus tangan untuk menggoreskan tinta hitam itu lagi. Sejenak kunikmati “istirahat” ini. Tapi tak perlu waktu lama dan aku menjadi gila karenanya. Hidupku tanpa arah tujuan lagi.

Menjalani hari dengan mengalir saja mensyukuri semua yang datang dan pergi. Nasehat bijak yang telah aku coba jalani dan semakin membuatku gila. Pikiran ini seolah berhenti bekerja karena aku hanya menunggu dan menerima apa yang ada di hadapanku. Kita diciptakan untuk dapat membuat hal baru bukan untuk menunggu. Tuhan memberi semua yang ada di diri ini untuk memaksimalkan yang ada menjadi sesuatu yang kita syukuri.

Berlebihan mungkin terdengarnya. Manusia menjadi gila tidak mengenal dirinya hanya karena tidak memiliki impian. Aku tidak sesempurna itu kawan. Resapilah ketika kita menjalani hari tanpa ada lagi impian yang ingin dicapai. Semangat menjalani hari pun musnah karena kita berjalan tanpa arah tujuan. Menjalani hari bagai air yang mengalir tapi kita berada di tengah samudra tanpa tau harus dibawa kemana perahu ini. Apa yang sudah terjadi dalam hidupku sampai aku berada di titik ini? Siapa sebabnya? Aku kah sebabnya? Yang pasti aku korbannya.

Tujuan saja sudah tak ada bagaimana diri ini menjadi berarti. Berarti memiliki makna memberi manfaat. Aku manusia tidak bermanfaat. Apa aku menjalani hari dengan sia-sia?

Setiap impian yang terwujud memberikan rasa bahagia, puas, dan bangga. Melebarkan lingkup pertemanan, persahabatan, dan persaudaraan. Materi yang aku miliki saat ini tidak dapat memberikanku rasa yang sama. Sungguh aku tidak lagi berarti.

Kontemplasi dimaknai dengan perenungan. Apakah bertanya pada diri dengan pemikiran-pemikiran negatif tentang segala kemungkinan penyebab hilangnya impian, menyudutkan diri karena menjadi sebab, dan menghukum atas ketidak bermanfaatan diri adalah sebuah perenungan? Aku menjadi semakin gila karena aku menjadi manusia yang membenci diriku sendiri.

 Sebelum akal sehat ini hilang permanen aku tinggalkan kursi biru ternyamanku ini untuk sejenak mencari udara segar. Mungkin aku terlalu nyaman. Merenung tidak selamanya dilakukan dengan berdiam diri. Meletakkan permasalahan dan melihatnya dari sudut pandang yang berbeda juga merupakan perenungan.

Tanpa terasa hampir dua jam aku keliling kota. Mungkin semua ruas jalan sudah aku lewati. Aku bisa berkata tapi tidak bisa melakukannya. Bagaimana caranya melihat dari sudut pandang yang berbeda? Kita manusia yang penuh dengan perasaan, emosi, dan ego. Aku bukan lagi perempuan tangguh yang dapat melakukan apapun. Aku hanyalah perempuan lemah.

Aku parkirkan mobil pada sebuah cafe terkenal yang belum pernah aku singgahi. Mungkin satu-satunya cafe terkenal yang belum pernah aku coba. Bangunannya kokoh dengan jendela-jendela besar berwarna hitam. Pintu depannya pun besar dengan warna hitam polos. Menarik perhatianku ketika pintu nan kokoh itu terbuka disambut dengan dinding berwarna hijau tua polos sebagai aksen utamanya. Sedangkan dinding lainnya berwarna putih dengan meja dan kursi kayu cat duco memberikan kesan santai. Apa yang kita lihat diluar tidak mencerminkan apa yang ada di dalamnya.

Aku memilih duduk di meja paling pojok agar dapat menikmati setiap detail yang ada. Semangkuk es kacang merah dengan sampler platter menemaniku. Menarik diri dari pertemanan bukanlah hal yang mudah dan juga bukan tanpa alasan aku melakukannya. Ketika aku merasa tidak mendapat jawaban atas keresahanku saat bersama mereka dan materi yang aku miliki tidak dapat membuat mereka mengerti apa yang aku alami. Aku memilih mundur.

Satu, dua, tiga, empat, terdiri atas ayah, ibu, dan dua anak perempuan dan laki-lakinya duduk di meja sebelahku. Sepintas dari penampilannya mereka dari kalangan di atas rata-rata. Sang ayah duduk bersebelahan dengan istrinya dan berhadapan dengan kedua anaknya. “kakak mau makan apa? Adek? Ayah, ibu pilihin aja ya”, kata sang Ibu.

Pertama kalinya berat untuk bernafas hingga sedikit pusing yang aku rasakan. Sesaat aku terdiam mencoba mengendalikan tubuh ini. Menarik nafas panjang kemudian bernafas lagi pelan. Berangsur pusing pun hilang.

“Kita jadi liburannya?”, tanya ibu meja sebelah pada anaknya. “Semua sudah beres. Adek yang atur. Ayah, Ibu, kakak tinggal berangkat aja. Jangan lupa tanggalnya ya, kita mau liburan tolong kondisikan kerjaan”, singkat, padat, dan jelas jawaban anak perempuannya.

Telinga ini telah beralih fungsi menjadi cctv pada meja sebelah. Setiap percakapan terdengar dan terekam dengan jelasnya. Obrolan ringan hingga diskusi berat yang disisipi canda tawa mengisyaratkan kedekatan keluarga ini. Komunikasi menjadi nadi keluarga.

Komunikasi merupakan proses mengirim dan menerima pesan antara dua orang atau lebih. Dapat dilakukan secara langsung ataupun melalui media lain sehingga pesan tersebut tersampaikan dan dapat dimengerti.

Entah disadari atau tidak pipi ini sudah basah dengan air mata yang menetes dengan derasnya. Tidak dapat dikontrol tapi aku merasa lega setelahnya. Sejenak aku termenung apa yang membuat air mata ini dengan sukses membasahi pipi tanpa ada penolakan. Perempuan kuat tidak mengenal air mata sudah mengakar kuat dalam pikiranku.

Emosi, kecewa, ketidak berdayaan, dan lemah adalah yang aku rasakan saat ini. Ketika kebahagiaan, kesuksesan, dan kebanggaan membuat kita seolah tanpa batas. Terlena dan kesombongan membalutnya menjadi indah. Ketika jiwa ini lemah batas itu menjadi nyata karena hakikatnya manusia penuh dengan keterbatasan.

Persekian detik lamunanku membawaku pada Ibu. Wanita cantik pekerja keras yang selalu mengusahakan apapun untuk kebahagiaanku. Mengajarkan gadis kecilnya ini menjadi perempuan kuat dan mandiri. Dalam susahnya tidak pernah aku temukan setetes air mata. Senyum di bibir indahnya yang selalu aku jumpai. Dimana Ibu?

Air mata ini kembali menetes dengan derasnya. Kini aku sadari rinduku pada Ibu lah yang membuat air mata ini jatuh tanpa penolakan. Dalam setiap impianku tidak ada satupun impian membahagiakan ibu. Karena dalam pikirku ketika impianku terwujud ibu pasti bahagia.

Memiliki impian untuk Ibu saja tidak, bagaimana aku bisa memiliki tujuan dan hasil karya untuk ibuku. Aku adalah anak yang tidak memberikan arti bagi ibuku. Walaupun aku tau ibu pasti bilang aku sangatlah berarti untuknya.

Rumah adalah tempat untuk pulang. Keluarga juga tempat kembali untuk pulang. Namun keluarga adalah rumah tanpa batas yang akan menerima kita dengan jujur apa adanya. Kemana selama ini aku pulang?

Sibuk adalah alasan klise yang selama ini aku ucapkan. Menjadi sangat tidak bermoral ketika aku ucapkan saat ini.  Menjadi awal malapetaka bagiku karena ucapan itu membuatku lupa akan komunikasi dalam keluarga. Aku hanya pulang ke rumah tanpa pulang ke keluarga. Benar aku adalah sebab.

Tidaklah salah menjadi sebab ketika akibatnya menjadi sangat berarti. Dan sangatlah salah menjadi sebab ketika akibatnya sangat berarti. Ketika arti menjadi penentu, tauladan, manfaat yang berguna bagi manusia lain ambillah peran dalam sebabnya. Tapi ketika arti menjadi duka, luka, kehancuran, kekecewaan jauhi menjadi sebabnya. Berbaliknya menjadi peran yang dapat merubah akibatnya agar menjadi arti yang lebih baik.

Aku usap air mata ini dan segera meninggalkan cafe itu. Bergegas aku injak gas untuk pulang menemui ibu. Senyum, tertawa, bicara sendiri aku lakukan selama perjalanan. Baru saja aku pikirkan akan bertemu ibu sejuta cerita yang ingin kusampaikan. Kenapa baru sekarang. Segala sesuatu yang berlebihan memang tidak baik. Berpikir terlalu kuat dan mandiri telah menjadikan aku manusia yang dingin. Hakikatnya aku hanyalah perempuan yang seolah-olah kuat dan mandiri.

Tidak ada kata terucap ketika melihat ibu di hadapanku, aku peluk ibu erat dengan air mata yang terus membanjiri. Ibu membalas dengan pelukan hangat yang entah kapan terakhir aku merasakannya. Telah lama Mentari tak lagi menyinari. Kini impianku telah kembali dan Mentari siap bersinar lagi.

 

Ikuti tulisan menarik Nanthi Pasissa lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler