Peradaban Pendidikan Indonesia

Rabu, 24 November 2021 19:33 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content0
img-content
Iklan
Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Peradaban pendidikan di Indonesia di mulai dari menengok kembali peristiwa kesejarahan kita. Tulisan ini dimulai dari ditemukannya prasasti Yupa sebagai penanda kegiatan literasi di Indonesia. Kemudian disambung dengan cerita mengenai founding nation yang pernah mengenyam profesi guru, sebagai tauladan guru masa kini. Terakhir membahas mengenai pemikiran Dewantara sebagai refleksi Hari Guru Nasional.

Penanda penting dari gerak maju peradaban barat pada era pencerahan terletak pada, dari kalangan yang kurang membaca, mau membeli buku, hingga akhirnya punya kepustakaan sendiri

-Lucian Febvre & Henry-Jean Martin

Peradaban Indonesia telah mengenal aksara pada abad ke-4 Masehi yang ditandai dengan ditemukannya prasasti Yupa yang beraksara Pallawa dengan bahasa Sansekerta di Kalimantan Timur milik kerajaan Kutai Kartanegara. Prasasti Yupa terdiri dari 7 isi (Muarakaman 1-7). Di dalamnya menceritakan silsilah kerajaan dan juga bagaimana seorang Raja memberi sumbangan kepada kaum Brahmana. Perjumpaan dengan aksara oleh nenek moyang kita, lalu menuliskannya pada prasasti merupakan wujud pengamalan literasi.

Pada zaman pemerintah kolonial Belanda institusi modern awal yang dibangun adalah sekolah keguruan (Sekolah Pelatihan Guru Pribumi) [Latif 2020]. Sistem pendidikan guru yang dibangun oleh Belanda diakui oleh dunia internasional sampai pada suatu masa Pemerintah Malaysia saat terjadi defisit guru dan meminta melatih guru di negaranya, guru-guru di Indonesia didatangkan untuk mendidik orang-orang melayu di sana. Pada masa kini Malaysia berada jauh di atas Indonesia jika kita meminjam benchmarking pendidikan dari PISA tahun 2018.

Zaman kolonial Belanda para pendiri bangsa yang merasakan pendidikan yang baik, mempunyai pondasi literasi yang kuat. Suatu peristiwa ketika Bung Karno saat menerima tamu Sutoto, tidak mempunyai uang untuk menyuguhkan makanan kepadanya. Lalu ketika itu muncullah seorang wartawan di depan rumahnya. Ia menuliskan sebuah tajuk untuk wartawan yang lewat depan rumahnya selama 15 menit dengan harapan dibayar olehnya. Setelah selesai Bung dibayar 2 Rupiah. Uang 2 Rupiah tersebut dibelanjakan kopi dan peyeum untuk Sutoto. 15 Menit tulisan yang dilakukan tidak melihat referensi, ia mengandalkan kekuatan ingatannya untuk memadukan interkorelasi teori dan isu yang sedang hangat dibahas, yaitu mengenai kolonialisme di Indonesia.

Karya yang hebat juga dari Bung karno adalah Indonesia Menggugat yang menjadi "Pledoi" (pidato pembelaan) saat masih berusia 29 tahun, sehingga membuka mata internasional mengenai kekejaman kolonialisme di Indonesia. Tidak lupa "Penyambung Lidah Rakyat", dan juga "Di Bawah Bendera Revolusi" juga menjadi sebuah karya-karya yang ditulis oleh Bung Karno.

Bung Hatta menyusun buku "Alam Pikiran Yunani", sekaligus sebagai mas kawin untuk istrinya. Tan malaka yang mengurangi pembelian baju dan juga makanannya untuk membelanjakan buku serta alat tulis, setelah itu ia membuat buku yang menjadi magnum opus, MADILOG (Materialisme Dialektika dan Logika).

Sukarno, Hatta, dan Tan Malaka pernah mengenyam profesi menjadi guru. Sukarno pernah menjadi guru di sekolah Muhammadiyah di Bengkulu. Bung Hatta pernah mengajar beberapa anak muda ketika pengasingan di Banda Neira. Tan Malaka pernah mengajar anak kuli di Tanjung Morawa di Deli, Sumatera Utara. Selain itu juga pernah mengajar pada Sekolah Rakyat di Semarang.

Sistem persekolahan Belanda telah melahirkan generasi emas pejuang-pemikir Indonesia yang hebat, dengan tingkat literasi yang kuat, euridisi yang luas, serta penguasaan multibahasa. sehingga menjadi bagian dari warga "republik kepustakaan dunia" (Respublica Litteraria) (Latif, 2020).

Mengapa para pejuang pemikir Indonesia dahulu mempunyai tingkat literasi yang kuat melalui pendidikan di era kolonial Belanda? Apa yang membedakan dengan pendidikan di Indonesia hari ini? permasalahannya terletak pada faktor pemahaman esensial pendidikan dan pengajaran serta peran guru yang akan dibahas pada sub berikut.

Pemikiran Dewantara Sebagai Refleksi Hari Guru Nasional

Hari Guru pada tanggal 25 November 2021 bertemakan "Bergerak Dengan Hati Pulihkan Pendidikan" dari tema tersebut dapat dilihat terdapat hal yang perlu dilakukan dengan hati, untuk memulihkan pendidikan. Pertanyaannya adalah sejak kapan pendidikan kita sakit dan perlu dipulihkan? Apakah selama penutupan sekolah pada masa pandemi ini, atau jauh dari masa itu. Menurut hemat penulis penyakit kronis terhadap dunia pendidikan jauh sebelum masa pandemi COVID-19, karena reputasi pendidikan di Indonesia selalu kedodoran.

Masalah pendidikan yang dibicarakan dewasa ini masih berkutat kepada masalah pendidikan satu dasawarsa lalu, yaitu mengenai upah guru, masalah guru terhadap pembelajaran, pengejewantahan kurikulum di lapangan yang jauh panggang dari api dan juga sarana prasarana sekolah yang kurang memadai.

Terdapat masalah fundamental dan esensial mengenai pendidikan di Indonesia. Ki Hajar Dewantara yang merumuskan beberapa konsep pendidikan yang masih relevan hingga masa kini, dan sebagai refleksi bagi praktisi dan pembuat kebijakan pendidikan di Indonesia.

Menurut pandangan Ki Hajar Dewantara pendidikan (opvoeding) merupakan sesuatu yang lebih luas dan esensial daripada pengajaran (onderwijs). Bila pengajaran lebih terbatas pada pemberian materi berkaitan dengan pengetahuan dan keterampilan, pendidikan bermaksud menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak itu, agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapatlah mencapai keselamatan dan kebahagiaan setinggi-tingginya. Pengaruh pengajaran itu umumnya memerdekakan manusia atas hidupnya lahir, sedang merdeka hidup batin itu terdapat dari pendidikan (Dewantara, 1977).

Guru sebagai seorang yang melakukan pengajaran juga harus memahami makna pendidikan. Pengajaran yang selama ini dilakukan juga harus membumikan konsep dari pendidikan, yaitu menuntun kodrati manusia agar mereka selamat dan bahagia batinnya dalam menempuh pembelajaran. Menuntun sebagaimana yang dimaksud adalah guru tidak memaksakan sesuatu pada anak, melainkan menuntun, mengeluarkan potensi-potensi agar bertumbuh. Dari situlah muncul istilah education (educare; ex-educare) yang berarti mengeluarkan dan menuntun, dalam arti mengaktifkan kekuatan terpendam sang anak.

Sudah sampai di mana bapak dan ibu guru merefleksikan apa arti pendidikan di dalam pengajaran selama ini. Sudahkah anak dituntun pribadinya, sudahkah guru mengetahui potensi yang ada pada peserta didik. Serta apakah sudah memberikan layanan pendidikan yang membuat peserta didik bahagia? Jika kita sudah memahami makna mengenai pendidikan kita sekarang beralih kepada sistem pendidikan.

Sistem pendidikan yang menjadi pemikiran Ki Hajar Dewantara terkenal dengan nama tri-kon (kontinu, konvergen, dan konsentris): kontinu atau bersambung dengan alam kebudayaan sendiri secara tak tercerabut dari akal masa lalu; konvergen dengan perkembangan aliran-aliran kebudayaan sedunia; agar dapat konsentris atau bersatu dalam alam kebudayaan universal secara berkepribadian (Dewantara, 1977).

Dengan kata lain sistem pendidikan menurut Ki Hajar dilaksanakan secara bersambung, tidak loncat-loncat sehingga membangun kontruksi pemikiran bagi peserta didik. Sistem pendidikan juga tidak boleh menutup diri, penggabungan atau asimilasi kebudayaan diperbolehkan asalkan sesuai dengan karakter bangsa Indonesia serta tidak tercerabut dari jati diri bangsa.

Guru Tonggak Bangkitnya Peradaban Pendidikan Indonesia         

Sejak lama sekali mungkin apa yang kita pikirkan mengenai makna pendidikan dan pengajaran kita mengalami miskonsepsi. Pendidikan dan pengajaran adalah dua pilar utama dalam pembentukan perilaku, pikiran dan keterampilan peserta didik.

Guru juga tidak boleh memaksakan, Ki Hajar memberikan sebuah perumpamaan yang menarik, bahwa peserta didik itu merupakan sebuah kertas yang di dalamnya terdapat sketsa tipis-tipis. Fungsi guru adalah menebalkannya jika memang itu merupakan potensi dan minat serta bakatnya, dan juga menghapus garis sketsa tersebut apabila cenderung termasuk dalam perilaku atau kebiasaan negatif di kemudian hari.

Ki Hajar Dewantara juga memaparkan dalam menuntun peserta didik diberikan waktu secara berkala untuk memperhatikan individu, jadi kegiatan pembelajaran tidak melulu dilakukan secara klasikal. Perlu dilakukan identifikasi mengenai minat bakat, asesmen mengenai potensi yang dapat dibentuk oleh guru dari peserta didik.

Melalui UU NO 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, untuk menjadi guru mempunyai kualifikasi minimal sarjana yang sesuai di bidangnya. Sarjana menurut penulis adalah orang yang terdidik yang mampu memberikan perubahan bagi lingkungan disekitar. Dewasa ini sarjana sudah kehilangan maknanya, bukan lagi berfungsi sebagai agen sosial dan agen perubahan. Sjahrir mengkritik mengenai isu kesarjanaan sebagai berikut;

Bagi kebanyakan orang-orang kita "yang bertitel" ¬ saya pakai perkataan ini akan pengganti intelektuil, sebab di Indonesia ini ukuran orang bukan terutama tingkat penghidupan intelek, akan tetapi pendidikan sekolah. Bagi orang-orang bertitel itu pengertian ilmu tetap hanya suatu barang yang mati, bukan hakikat yang hidup, berubah-ubah dan senantiasa harus diberi makan dan dipelihara. Sutan Sjahrir

Guru hebat tentu melakukan pembelajaran sepanjang hayat. Mengoreksi diri ketika salah, atau meningkatkan pemahaman dan pengetahuan yang orientasinya untuk pengembangan keprofesian. Guru hebat Indonesia merupakan ujung tombak dalam perubahan secara revolusioner pendidikan kita. Pendidikan kita dewasa ini masih terjebak dalam prinsip hafal-menghafal, membaca teks tanpa memahami makna, dan terkesan guru menjejali ilmu pengetahuan.

Perubahan kita hari ini selain menuntun peserta didik dalam menemukan potensi, minat serta bakatnya juga harus kembali mengangkat martabat peradaban Indonesia di Dunia. Amerika Serikat pernah mengalami kemunduran daya saing bangsa, solusi yang diambil adalah membuat kurikulum yang mewajibkan pelajaran tentang mengarang (composition) di tingkat pendidikan dasar dan menengah (Godzich, 1994).

Kegiatan literasi merupakan keutamaan dalam melaksanakan pembelajaran. pentingnya literasi juga sebagai organ kemajuan sosial. kemunduran dalam tingkat literasi menimbulkan ancaman terhadap kemajuan dan demokrasi (Lerner, 1958)

Kegiatan literasi bagi peserta didik jangan hanya sekadar membaca, namun juga melakukan pembelajaran menulis. Pembelajaran menulis membuat peserta didik mencari sumber tulisan dan juga melakukan analisa mengenai informasi atau data yang didapatkan, kemudian merumuskan menjadi sebuah tulisan yang padu. Jika tulisan yang dibuat mengenai kesusastraan peserta didik mengeksplorasi dirinya dengan membuat sebuah imajinasi tokoh dan konflik dari cerita atau tulisan yang dibuat.

Sebagai ilustrasi pada zaman dulu era kolonial, di Sekolah diwajibkan membaca sejumlah buku dan disertai tugas mengarang. Pada tingkat sekolah menengah (AMS), setiap siswa wajib menulis satu karangan setiap minggu; 18 karangan satu semester, 36 karangan setahun, 108 karangan 3 tahun (Ismail, 2009).

Bangsa kita bangsa besar, sejarah peradaban kita juga menggambarkan mengenai kegiatan literasi yang kuat. Founding Nation kita adalah intelektual besar yang kuat dalam kegiatan literasinya pula. Kaum guru, masa depan pendidikan Indonesia ada ditanganmu. Kaum guru bukan orang bertitel yang mengenyahkan ilmu pengetahuan seperti kata Sjahrir, kaum guru adalah intelektual dan pahlawan peradaban.

Selamat Hari Guru Nasional 2021

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Bagikan Artikel Ini
img-content
Reszky Fajarmahendra Riadi

Guru Sekolah Dasar & Pecandu Belajar

0 Pengikut

Baca Juga











Artikel Terpopuler