x

Budaya Literasi untuk Meningkatkan Toleransi Sejak Dini

Iklan

Eka sugeng ariadi

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 24 November 2021

Rabu, 24 November 2021 19:44 WIB

Budaya Literasi untuk Meningkatkan Toleransi


Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Sesungguhnya, ribuan tahun yang lalu budaya literasi telah menjadi budaya dan karakter madrasah. Akan tetapi, hingga tulisan ini disusun, budaya itu seakan pudar dari karakter pendidikan di madrasah. Demikian pula yang terjadi pada sikap toleransinya. Maka dari itu, perlu kiranya penulis menyampaikan opini ini untuk mengingatkan kembali kepada diri pribadi dan stakeholder madrasah di mana pun berada bahwa sangat penting mengkristalisasikan budaya literasi dalam karakter dan identitas madrasah.

Apa itu (Budaya) Literasi?

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, literasi disebut juga literer, yang artinya sesuatu yang berhubungan dengan tulis-menulis. Beberapa ahli perpustakaan menterjemahkan kata literasi dengan istilah keberaksaraan, yang artinya kemampuan seseorang untuk membaca dan menulis. Bila dikaitkan dengan sebuah budaya, maka budaya literasi bisa dijabarkan sebagai pembiasaan kegiatan membaca pada seseorang/kelompok orang, yang kemudian diikuti dengan aktifitas menulis sebagai bentuk karya/produk akhir dari budaya tersebut. Kepala Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kemendikbud, Mahsun, memperjelas bahwa budaya ini bertujuan untuk membiasakan dan memotivasi siswa agar mau membaca dan menulis guna menumbuhkan budi pekerti. Beliau menambahkan bahwa kegiatan literasi ini tidak hanya membaca, tetapi juga dilengkapi dengan kegiatan menulis yang harus dilandasi dengan keterampilan atau kiat untuk mengubah, meringkas, memodifikasi, menceritakan kembali, dan seterusnya.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Fenomena Literasi di Indonesia

Yumni (2012) menyebutkan antara lain; data dari Association For the Educational Achievement (IAEA) misalnya, mencatat bahwa pada tahun 1992, negara dengan tingkat membaca tertinggi di dunia adalah Finlandia dan Jepang, sedangkan Indonesia peringkat ke-57 dari 65 negara di dunia atau 8 peringkat terakhir. Mantan Wakil Mendiknas, Fasli Djalal, menandaskan bahwa kemampuan ilmuwan Indonesia menulis untuk jurnal ilmiah hanya 0,8 artikel per 1 juta penduduk. Berdasarkan data di kurun waktu tahun 1996–2010, Indonesia memiliki 13.047 jurnal ilmiah, sedangkan Malaysia memiliki 55.211 dan Thailand 58.931 jurnal ilmiah. Badan Penelitian dan Pengembangan Kemendikbud, menambahkan hanya sekitar 37,6% dari pelajar Indonesia usia 15 tahun bias membaca tetapi tidak bisa menangkap makna. Dalam hal produktifitas menulis, SDM Indonesia mampu menghasilkan sekitar 8.000 buku/tahun, akan tetapi Vietnam sudah mampu menghasilkan 15.000 buku/tahun.

Pada tahun 2012, laporan UNESCO tentang indeks minat baca warga Indonesia baru mencapai angka 0,001, yang artinya dalam setiap 1.000 orang, hanya 1 orang yang memiliki minat baca. Ketua Forum Pengembangan Budaya Literasi Indonesia, Satria Darma, turut melengkapi data dari hasil penelitian Programme for International Student Assessment (PISA) bahwa di tahun yang sama, budaya literasi masyarakat Indonesia terburuk kedua dari 65 negara di dunia. PISA juga menempatkan Indonesia di urutan ke 57 dari 65 negara yang diteliti terkait kemampuan membaca pada siswa. Satria mensiyalir penyebabnya antara lain policy maker pendidikan tidak sepenuhnya memahami pentingnya budaya literasi sehingga literasi tidak pula menjadi bagian dari Kurikulum 2013. Penyebab lainnya, karena budaya menonton TV yang cukup tinggi. Berdasarkan data BPS, ‘prestasi’ anak Indonesia menonton televisi adalah selama 300 menit/hari. Sedangkan anak-anak di Australia yang hanya 150 menit/hari, di Amerika hanya 100 menit/hari dan di Kanada 60 menit/hari.

Laporan UNDP juga menunjukkan bahwa presentasi melek huruf orang dewasa di Indonesia hanya 65,5 persen saja, sedangkan Malaysia sudah 86,4 persen. Oleh karenanya, ada baiknya pemimpin negeri ini meniru tekad, Perdana Menteri India, Jawaharlal Nehru yang mengatakan, "Kemajuan iptek dan industri harus sejalan dengan kemajuan sosial dan kebudayaan. Indikator paling nyata adalah tingginya minat baca masyarakat agar mampu memahami dan menghargai berbagai kekayaan tradisi, seni dan budaya di masyarakat India sendiri". Tak heran, dengan prinsip ini, SDM India mampu menikmati waktu membacanya sekitar 10,7 jam/minggu dan menempati peringkat wahid negara di dunia dalam menggunakan waktu untuk membaca.

Budaya Literasi Di Madrasah Perkuat Toleransi

Madrasah, dalam arti lembaga pendidikan, merupakan media terdepan dan strategis dalam menyebarluaskan nilai-nilai mulia agama Islam kepada masyarakat luas, termasuk di dalamnya toleransi.  Barangsiapa telah menjadi bagian di dalamnya baik sebagai pendidik maupun tenaga pendidiknya, maka harus dan wajib menjadi pengemban tugas mulia ini. Penulis, sebagai salah satu pengembannya, mengingatkan akan pesan singkat Khulafaur Rasyidin Ali bin Abi Thalib ra terhadap pelajar kaum muslimin semuanya agar benar-benar mengikat ilmu dengan tulisan, karena sebuah ilmu lambat laun akan hilang. Bukankah pesan ini sangat berliterasi? Bukankah nasehat ini sangat menganjurkan agar para pencari ilmu segera MENULIS apa-apa ilmu yang diperolehnya setelah membaca/mendengar? Bukankah sudah sejak ribuan tahun yang lalu, pesan ini menjadi budaya literasi bagi umat Islam dan bagi institusi madrasah hingga kini?

Pesan literasi ini dilanjutkan oleh penerusnya, salah satunya Khalifah al Makmun di Baghdad-Iraq, dengan cara membangun perpustakaan dalam setiap membangun masjid, yang kemudian diberi nama dengan Istana Kebijaksanaan/Bait al Hikmah. Pembangunan perpustakaan ini berlanjut hingga pembangunan Universitas Al Azhar di Kairo dan Universitas Corodova di Spanyol yang sejak dulu sampai saat ini menjadi referensi dan inspirasi pembangunan perpustakaan di universitas-universitas di Barat. Jadi, dalam urusan ilmu pengetahuan toleransi antarnegara atau antaragama adalah keniscayaan.  

Oleh karena itu, berdasarkan uraian di atas, sudah sewajarnya (dan seharusnya) institusi madrasah kembali lagi menjadi pusat literasi akademisi dunia, tanpa membedakan ras, suka, agama dan golongan. Beberapa data dan fakta yang sudah penulis rentangkan dalam paragraf fenomena literasi di Indonesia di atas menjadi bukti nyata kebenaran pesan Khalifah Ali bin Abi Thalib ra bahwa budaya literasi telah pudar dan hilang dari ‘jantung’ madrasah-madrasah di negeri ini. Kebiasaan menulis setelah mendengar/membaca sudah sangat jarang dilakukan, budaya menulis untuk mengikat ilmu-ilmu yang diperolehnya tidak lagi dipraktikkan, maka pantaslah kaum muslimin banyak yang kehilangan ilmu-ilmunya dan tidak lagi menjadi referensi dan inspirasi kaum lainnya. Akibatnya, sikap toleransi pun di kalangan warganya semakin menurun.

Akhirnya, sangat penting dan perlu, stakeholder madrasah segera mengambil langkah strategis untuk menggugah kembali budaya literasinya dengan berbagai macam cara. Memperbanyak buku-buku di perpustakaan dan kegiatan inovatif di dalamnya, menyusun program kegiatan interaktif di madrasah dalam hal membaca dan menulis, mendesign berbagai bentuk lomba dalam rangka untuk meningkatkan kreatifitas membaca dan menulis, dan lain sebagainya. Tentu, ending goal-nya bukan semata untuk meningkatkan level literasi peserta didik namun juga level pendidik, tenaga pendidik dan masyarakat di sekitarnya.

Ikuti tulisan menarik Eka sugeng ariadi lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler