x

Pelaksanaan bimbingan bagi orang tua dan PJJ membaca kartu huruf Braille

Iklan

anissa zulfahmi

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 24 November 2021

Kamis, 25 November 2021 08:15 WIB

Bunga Rampai PJJ, Menjadikan Parental Engagement Sebagai Penguat Rasa Dalam Dunia Pendidikan

Bagaimana kita menyikapi PJJ yang telah berlangsung selama dua tahun tetapi belum memberikan hasil sesuai dengan harapan? melalui artikel ini, kita akan membahas solusi dari permasalahan tersebut.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

BUNGA RAMPAI PJJ : MENJADIKAN PARENTAL ENGAGEMENT  SEBAGAI PENGUAT RASA DALAM DUNIA PENDIDIKAN

Oleh :

Anissaa Alhaqqoh Darwis

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Kita semua menjadi saksi sejarah bahwa di bumi ini pernah terjadi wabah Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) yang menyebabkan perubahan besar dalam tatanan kehidupan berbangsa dan bertanah air bahkan di seluruh dunia, tidak terkecuali dunia pendidikan. Tidak seorangpun dapat mengira, masa pandemi ini telah meluluskan dua generasi hasil pembelajaran yang minim unsur pendidikan. Dan diakui atau tidak, generasi ini mengalami missing something yang terasa tapi tidak terungkapkan.

Pemerintah kita tidak menutup mata akan hal ini, melalui Surat Keputusan Bersama 4 Menteri yakni Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Menteri Agama, Menteri Kesehatan, dan Menteri Dalam Negeri Nomor 03/ KB/ 2021 Nomor 384 Tahun 2021, Nomor HK.01.08/Menkes/ 4242/ 2021, Nomor 440-717 Tahun 2021 tentang Panduan Penyelenggaraan Pembelajaran di Masa Pandemi Coronavirus Disease 2019 (Covid-19); SKB ini menyiratkan kemerdekaan bagi masyarakat untuk menentukan sendiri prioritas dalam hidupnya namun tetap dalam koridor kehidupan bersama. Kemerdekaan tersebut juga mengisrayatkan bahwa pendidikan harus menyediakan menu baru agar dapat terus berjalan, yakni Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ).

Sesuai dengan panduan tersebut, kegiatan pendidikan tetap berjalan. Yah, learning must go on meskipun terseok-seok, namun tiada alasan bagi siapapun untuk menghentikan proses belajar mengajar yang akan menyebabkan munculnya generasi learning loss. Tetapi ternyata kemudian sistem PJJ melahirkan generasi missing something seperti yang telah dikemukakan pada awal pembahasan ini. Tak ada gading yang retak, bukan? Dengan segala daya, semua pendidik tentunya berupaya maksimal. Kompetensi dalam menggunakan IT dipaksa sedemikian rupa untuk mengimbangi kemampuan para siswa yang notabene adalah penguasa teknologi. Berbagai pelatihan online diikuti untuk menambah wawasan dan pengetahuan tentang seluk beluk PJJ. Berbagai kompetensi dijejalkan pada pendidik sebagai keharusan untuk dimiliki meskipun dalam usia yang tidak muda lagi. Maka, ketika guru kemudian memiliki kesibukan baru untuk meningkatkan berbagai kompetensi tersebut sehingga “kurang bumbu saat memasak”, siapa yang salah?

Hal yang perlu kita semua sadari bahwa pendidikan bukan tanggung jawab salah satu pihak sebab akan sangat berdampak seumur hidup pada outputnya. Sejalan dengan  filosofi yang dikemukakan Ki Hajar Dewantara bahwa “semua orang menjadi guru dan setiap rumah adalah sekolah”. Makna terdalam dari filosofi tersebut adalah setiap orang tua adalah guru karena merupakan orang dewasa yang bertanggung jawab dalam rumah. Meskipun tidak dilengkapi fasilitas yang sama dengan lembaga pendidikan (sekolah), peran orang tua sebagai model kehidupan bagi anak tidak dapat dipungkiri dan harus mendapat dukungan penuh dari semua pihak.

Sependapat dengan filosofi tersebut, Meador (2010) dalam Sapungan (2014 : 43)    menyatakan bahwa :

“True school reform will always begin with increased parental involvement in their children’s education. It has been proven time and time again that parents who invest time and place value on their children’s education will have children who are more successful in school. There are always exceptions, but teaching a child to value education brings a positive impact on their education”.

Dengan kata lain, keterlibatan orang tua akan mempengaruhi cara pandang anak terhadap pendidikan yang dijalaninya. Maka itu, proses pendidikan harus dilakukan secara kolaborasi sehingga bila kita ibaratkan siswa sebagai pisau, maka tentu mereka akan tajam pada kedua sisinya. Artinya mereka tidak hanya dilengkapi dengan ilmu pengetahuan tetapi juga memiliki keterampilan dalam menyikapi hidup dalam semua kondisi.

Maka, bila kita kembali pada pertanyaan mengapa PJJ yang sudah berlangsung kurang lebih dua tahun masih terasa hambar dan kurang berasa? Bahkan lulusannya mengalami missing something, jawabannya tentu karena kurangnya pelibatan orang tua atau disebut pendekatan Parental Engagement dalam proses pendidikan.

Beberapa cara Parental Engagement (PE) yang cukup berhasil dilakukan di 10 negara oleh Education Endowment Foundation (EEF) sebuah lembaga amal pendidikan Britania dan dapat diterapkan di negara kita yaitu :

  1. Menyesuaikan komunikasi untuk mendorong dialog positif tentang pembelajaran.
  2. Secara teratur meninjau seberapa baik sekolah bekerja dengan orang tua.
  3. Mengidentifikasi area untuk perbaikan.
  4. Menawarkan dukungan yang lebih berkelanjutan dan intensif jika diperlukan.

Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) sebagai menu baru dalam dunia pendidikan perlu diberikan penguat rasa agar tidak hambar dan lebih berasa, Parental Engagement (PE) merupakan solusi yang dapat digunakan untuk masalah ini.

Bagaimanapun, pandemi ataupun tidak, proses pendidikan tetap harus berjalan. Tinggal kita menemukan formula yang tepat agar outputnya sesuai dengan harapan dan kodrat alam yang dimiliki setiap anak.

Ikuti tulisan menarik anissa zulfahmi lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler