Runner Up

Kamis, 25 November 2021 16:22 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content0
img-content
Iklan
Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Sebuah cerita perjuangan dari Baim untuk mengharumkan nama sekolahnya dalam pertandingan POPDA sepak takraw. Namun, di tengah cerita ia mengalami beberapa musibah yang membuat dirinya harus bersabar dan menerima kenyataan yang ada. Bagaimana cerita lengkapnya? Silakan dibaca, semoga dapat menggugah semangat kita.

Teriakan-teriakan penuh semangat terus membahana. Enam orang lelaki berada di dalam sebuah ruangan. Luas dan tinggi. Ruangan itu adalah GOR serba guna milik SMA Padang Jaya. Digunakan untuk futsal, voli, bulutangkis, dan sepak takraw. Bisa pula dipakai untuk upacara.

Di luar, hujan turun begitu deras membasahi bumi. Tidak ada sehelai daun pun yang terlewat. Semuanya basah kuyup. Angin yang berembus kencang tak bisa dihalangi dengan sempurna oleh dinding GOR setinggi delapan meter. Itu karena dinding pada bagian atas terbuka. Rintik-rintik air hujan pun berhasil menelusuk ke dalam ruangan. Lantai yang terbuat dari susunan kayu tipis (dibaca: parquette) menjadi licin.

Sebuah serangan kencang tepat menghantam tulang rusuk Baim. Kuda-kuda yang kurang kuat ditambah dengan lantai yang tidak lagi kesat, membuat ia tak dapat menahan serangan tersebut. Baim terpelanting. Punggungnya menghantam lantai dengan keras. Beruntung kepalanya tidak ikut terbentur.

Pertandingan dihentikan. Coach Ole, pelatih yang sekarang menjadi musuh dalam lapangan, berlari menghampiri Baim. Raut mukanya menggambarkan kegelisahan. Beliau takut Baim mengalami cedera. Teman-teman Baim juga ikut menghampirinya, kecuali Isco.

Coach Ole adalah pelatih yang sangat berdedikasi bagi perkembangan sepak takraw di SMA Padang Jaya. Tahun lalu, beliau membawa tim putra SMA ini menjadi juara di POPDA tingkat kabupaten. Lalu menjadi runner up di tingkat provinsi.

Smes dari Coach Ole luar biasa kencang. Tubuhnya melayang di udara, melawan arah gravitasi bumi. Kaki kirinya lurus, sejajar dengan tubuhnya hingga kepala. Sementara kaki kanannya diayunkan lurus ke atas. Bola ditendang tepat pada bagian punggung kaki. Dengan energi yang maksimal, bola yang terbuat dari plastik sintetis (dibaca: fiber) pun menghujam tajam ke arah lapangan lawan. Seperti yang barusan terjadi.

“Maaf, Im. Saya nggak sengaja. Baim, kamu dengar nggak?”

“Dengar, Coach.”

“Kamu nggak papa?”

Nggak papa kok. Aku masih bisa lanjut main.”

“Beneran?”

Baim mencoba bangkit. Kedua tangannya menapak pada lantai, memberikan dorongan. Tetapi kaki kanannya kaku. Tidak bisa bergerak. “Aduh!”

“Sepertinya kamu keseleo, Im,”

“Iya benar, Vit. Cepat kita bawa Baim ke rumah sakit. Kalau nggak segera dibawa ke rumah sakit, nanti dia bertambah sakit. Kalau bertambah sakit nanti ibunya bakal cemas.”

“Tuman kamu, To. Jangan menambah keruh suasana dong!” ujar Renaldi.

“Lah cuma keseleo ringan kayak gitu, Im. Dulu aku pernah patah tulang juga biasa saja,” ketus Isco sembari melakukan sepak sila.

“Tuman kamu, Co. Ada temannya yang sakit kok nggak bersimpati sama sekali.”

Isco bergeming. Sementara itu, Coach Ole memegang kaki kanan Baim lalu mengangkatnya. “Bagaimana, Im?”

Baim meringis, menahan rasa sakitnya. “Sudah mendingan, Coach.”

“Sekarang kamu istirahat dulu ya!”

Sepertinya saya mau balik dulu deh. Entah mengapa perasaanku nggak enak.”

Tapi di luar hujan masih deras, Im.”

Nggak papa, saya bawa mantel hujan.”

“Ok, mending aku antar saja, Im. Motormu biarkan di sini. Besok aku bakal jemput kamu,” usul Vito.

“Betul, Im. Bahaya dengan kondisi kamu yang begini, ditambah hujan yang deras. Dua hari lagi kita membutuhkan jasamu. Kalau kamu tidak bisa ikut, kita cuma berkekuatan empat pemain. Kalau ada yang cedera lagi bahaya, Im.”

“Betul kata coach, Im. Mending kamu istirahat dulu. Kalau kamu istirahat kan kaki kamu bisa sembuh. Kalau kaki kamu sembuh kan nggak perlu ke dokter. Kalau kamu nggak ke dokter kan bisa main di POPDA. Kalau bisa main kan kita bisa juara.”

“Berarti kalau aku nggak main, nggak bakal juara?”

“Ya nggak gitu juga.”

“Tuman kamu, To.”

“Sudah-sudah, jangan pada ribut! Cepat bantu Baim!” pinta Vito.

Coach Ole dan Renaldi merangkul Baim di kanan dan kirinya. Vito berlari menuju motornya. Wanto mengambil tas Baim. Sementara Isco tetap melakukan sepak sila. Sesekali ia melompat lalu kaki kanan diayun lurus ke atas untuk melakukan smes kedeng.

Kini Vito telah duduk di atas motornya. Ia juga telah mengenakan mantel hujan miliknya. Dari dalam GOR, Wanto berlari untuk menyerahkan tas milik Baim.

“Mantelnya di mana, Im?”

“Itu di dalam tas.”

Wanto merogoh tas Baim. “Nggak ada.”

Baim berpikir sejenak, megingat-ingat di mana ia menaruh mantelnya. “Oya aku baru ingat. Mantelnya ketinggalan di rumah, To.”

“Aduuh!”

“Pakai mantel saya aja, To. Nih kunci motornya! Mantelnya ada di bagasi motor,”

“Siap, Coach.”

Setelah memakai mantel, Baim langsung naik ke motor. Vito tak berani memacu motornya. Hujan masih deras. Baim masih cedera. Jalanan licin. Angin berembus kencang. Jarak pandang terbatas. Beberapa kali mereka melewati jalan berlubang. Jalan menanjak. Jalan menurun.  Dan akhirnya sampai juga di rumah Baim.

Dari depan tampak sepi, seperti tak berpenghuni. Gelap. Padahal saat ini sudah pukul 17.30, tetapi lampu rumah tak menyala.

“Kok kayak nggak ada orang, Im.”

“Kayaknya mati listrik, Vit. Kalau hujan gede kayak gini biasanya satu RT mati listrik.”

“Ooh.” Vito turun dari motor, merangkul Baim dari kanan. Mereka berdua berjalan perlahan. Mantel dilepas. Lalu Baim mengetuk pintu rumah. “Assalamu’alaikum. Baim pulang.”

Tidak ada yang menjawab. Sunyi. “Assalamu’alaikum. Bu! Pak!”

Tetap hening. Baim mencoba membuka pintu, barangkali tidak dikunci. Tetapi tak berhasil. Pintu dikunci. Ia mengintip dari jendela, tetapi gorden menutupi pandangannya.

“Sepertinya nggak ada orang, Im.”

“Iya, Vit. Pada ke mana ya?”

“Mungkin lagi ke warung bakso. Kan enak kalau dingin-dingin gini makan yang hangat-hangat.”

Nggak mungkin.”

“Atau mungkin lagi ke warung soto.”

Nggak mungkin, Vit. Kayaknya kamu yang lagi kepingin deh.”

“Hehehe …”

“Kayaknya ada yang nggak beres,” ucap Baim dalam hati.

Tiba-tiba seorang wanita bersuami satu, beranak dua, genap berusia dua puluh tujuh tahun pada hari ini, melangkah menuju rumah Baim. Ia memegang payung untuk melindungi tubuh seksinya dari terjangan air hujan.

“Ibumu dibawa ke rumah sakit, Im,” teriak wanita itu.

Sambaran petir yang saling bersahutan di timur, barat, selatan, dan utara, serta hujan yang tak kunjung reda, membuat suara wanita itu hanya terdengar sayup-sayup. “Apa? rumah bersalin?”

Vito menepuk bahu Baim. “Akhirnya kamu punya adik juga, Im.”

Tapi ibuku nggak hamil, Vit. Ngarang kamu.”

Wanita itu berjalan semakin mendekat. “Rumah sakit, Im. Ibu kamu dibawa ke rumah sakit. Beliau terpeleset di kamar mandi.”

“Beneran, Mbak?”

“Iya, masa Mbak Lisa berbohong.”

“Terus di rumah sakit sama siapa, Mbak?”

“Cuma sama bapak kamu. Katanya kalau kamu pulang, kamu di rumah saja. Nggak perlu menyusul ke rumah sakit.”

Nggak bisa, Mbak. Aku harus menyusul sekarang juga. Tolong antar aku ke rumah sakit, Vit!”

“Siap, Im. Laksanakan.”

Baim dan Vito kembali mengenakan mantelnya. Mereka berdua menerobos hujan yang semakin deras. Andai kata hujan ini terjadi di ibu kota, bukan tidak mungkin akan terjadi banjir setinggi dua meter. Embusan angin dan sambaran petir turut menemani perjalanan mereka. Kali ini Vito membawa motornya dengan cepat.

Lima belas menit kemudian, mereka berdua sampai di rumah sakit. “Kamu kalau mau pulang sekarang nggak papa, Vit. Terima kasih ya atas boncengannya.”

“Beneran? Kamu sudah bisa jalan sendiri?”

“Insyaallah bisa.”

“Ok deh. Salam ya buat ibu dan bapakmu. Semoga ibumu cepat sembuh.”

“Amin.”

Sementara Vito bergerak pulang, Baim langsung berlari terpincang-pincang. Ia menuju loket pendaftaran untuk menanyakan ruang yang dihuni ibunya.

“Ibu Sulasmi ada di Ruang Anggrek nomor 15, Mas. Dari sini jalan lurus, terus belok ke kiri. Nah di situ ada plang bertuliskan Ruang Anggrek. Mas tinggal mengikuti saja arahnya.”

“Baik, Bu. Terima kasih.”

Ia berjalan sesuai arahan petugas. Tanpa mengucap salam, tanpa permisi, Baim langsung masuk ke dalam sebuah ruangan. Ia tercengang manakala melihat seorang wanita yang tergeletak di atas ranjang. “Ibu …! Ibu …! Sadar, Bu! Ini Baim.”

Tetiba ada seorang lelaki paruh baya menepuk bahunya. Baim pun menoleh ke arahnya. “Maaf, Mas. Dia bukan ibumu. Itu istri saya.”

Baim langsung memalingkan muka ke arah wanita yang sedang digenggam tangannya. “Oya maaf, Pak. Saya salah ruangan.”

Baim berdiri lalu berjalan keluar dengan penuh rasa malu. Ia melihat sekilas tulisan yang ada di tembok depan ruangan. Ternyata ruangan tadi adalah Ruang Anggrek nomor 14. Seharusnya ia memasuki ruangan di sebelahnya. Tanpa pikir panjang, ia langsung masuk ke ruang tersebut.

“Baim! Kenapa kamu ke sini?” tanya Pak Kardi, bapaknya Baim.

“Baim juga kepingin menjaga ibu, Pak. Bagaimana keadaan ibu?”

“Ibumu belum sadarkan diri.”

Malam itu, Baim bersama bapaknya tidur di rumah sakit. Ia tak mau beranjak dari samping ibunya. Ia terus menamani ibunya, hanya keluar untuk menunaikan salat magrib dan isya.

**

Keesokan harinya, Vito, Isco, Renaldi, Wanto, dan Coach Ole kembali ke GOR. Hari ini, mereka hanya melakukan pemanasan ringan. Berlari mengelilingi GOR, meregangkan kaki dan tangan, dan split. Lalu menyiapkan taktik untuk menghadapi pertandingan POPDA esok hari.

“Bagaimana ini? Baim tampaknya nggak bisa ikut,” ujar Vito.

“Dia belum sembuh?” tanya Coach Ole.

“Bukan itu saja Coach. Ibunya juga sedang berada di rumah sakit.”

“Aduh! Dia itu pemain serba bisa. Dia bisa jadi tekong, feeder, maupun spiker. Ok, tapi tak mengapa. Vito, kamu seperti biasa jadi tekong. Isco di posisi apit kanan jadi spiker, dan tugas Baim sebagai feeder di apit kiri diganti Wanto. Sementara Renaldi tetap jadi cadangan.”

Sore ini, hujan kembali membumi. Sementara teman-temannya di dalam GOR, Baim tetap berada di Ruang Anggrek nomor 15. Sudah lebih dari 24 jam ibunya tak sadarkan diri. Selepas salat isya, ia menengadahkan tangan.

“Ya Allah, Ya Syafii. Sadarkanlah ibu. Berilah kesembuhan kepada ibu. Hanya kepada-Mu hamba memohon dan hanya kepada-Mu hamba meminta pertolongan.” Air matanya menetes.

**

Pertandingan POPDA sepak takraw putra akan segera dimulai. SMA Padang Jaya sebagai tuan rumah, juara bertahan, sekaligus unggulan pertama tak bisa tampil dengan kekuatan penuh. Salah satu pemainnya, Baim tak bisa datang.

Suasana di dalam GOR telah riuh, terutama dipenuhi oleh pendukung tuan rumah. Hari ini para siswa SMA Padang Jaya diberi kebebasan untuk mendukung tim takraw yang akan bertanding mewakili sekolahnya. Sisi selatan dan utara GOR telah dikerubungi penonton. Mereka berteriak-teriak serta menyuarakan yel-yel. Sementara di sisi barat dan timur, dipenuhi oleh para pemain dari 16 tim. Pertandingan ini menggunakan sistem gugur. Pemenang di pertandingan pertama akan melaju ke babak delapan besar. Jika menang lagi maka akan menuju semifinal, lalu final dan perebutan juara ketiga.

Pertandingan pertama yang dilalui oleh tim SMA Padang Jaya berjalan mulus. Menang dua set langsung. Di babak delapan besar, mereka juga mampu menggulung lawannya dengan mudah. Hanya membutuhkan waktu tiga puluh menit.

Di babak semifinal, mereka bertemu dengan SMK Kalisunyi. Pertandingan kali ini berjalan cukup alot. Butuh tiga set untuk menyudahi pertandingan. Dan pada pertandingan ini, Isco harus mengalami cedera sesaat setelah pertandingan usai.

“Bagaimana ini, Coach?” tanya Vito.

"Tenang masih ada aku.”

“Tapi kamu nggak bisa smes, Ren,” ujar Wanto.

“Andai ada Baim, pasti kita nggak akan kesulitan seperti ini,” gumam Coach Ole.

**

Sementara di Ruang Anggrek nomor 15, Baim tetap duduk memandangi wajah ibunya. Beliau belum juga siuman.

“Im, kamu ada pertandingan kan hari ini?” tanya Pak Kardi.

“Iya, Pak.”

“Lah terus kenapa masih di sini?”

“Baim nggak mau meninggalkan ibu.”

“Di sini masih ada bapak. Sekarang kamu pergi! Bantu teman-temanmu!”

Tapi.”

Nggak ada tapi-tapi.”

“Baik, Pak.”Dengan terpaksa Baim menuju ke sekolah. Ia menggunakan motor bapaknya.

Sementara itu, pada pertandingan final, SMA Padang Jaya telah menyelesaikan set pertama. Kalah dengan skor 21-14.

“Bagaimana ini Coach. Kita nggak punya pemain yang bisa smes,” keluh Wanto.

Pandangan mata Wanto, Renaldi, Vito, Isco, dan Coach Ole tertuju pada seseorang yang menghampirinya. Mereka semua terkejut. Baim datang. “Assalamu’alaikum.”

Wa’alaikumsalam. Baim?”

“Iya.”

“Alhamdulillah. Akhirnya kamu datang. Bagaimana kakimu? Bagaimana ibumu?”

“Sudah jangan banyak tanya, Vit. Yok kita selesaikan pertandingan ini!”

Kedatangan Baim membuat semangat tim SMA Padang Jaya membara. Baim yang menggantikan posisi Renaldi berhasil memberikan perbedaan. Smes kedengnya selalu memberikan poin. Set kedua pun berhasil diraih dengan skor 21-10.

Namun, memasuki set ketiga, kaki Baim mulai terasa nyeri. Keseleonya kambuh. Ia tak sanggup melakukan smes. Lawan pun dapat memanfaatkan situasi yang ada. Pertandingan berlangsung ketat. Skor berkejar-kejaran sampai pada poin 20-20. Deuce.

Sebuah smes dari lawan membuahkan hasil. Skor 21-20 untuk MAN Sester. Match point. Di poin krusial ini, Baim mendapatkan bola yang enak untuk dismes. Tak menyia-nyiakan kesempatan. Ia pun melompat tinggi. Bukan smes kedeng seperti biasanya, melainkan smes gulung seperti yang dilakukan oleh Coach Ole. Bola berhasil ditendang keras dan jatuh di lapangan lawan.

Semua penonton terpana. Menahan napas. Menelan ludah.

“Keluar. Skor 22-20.”

Pemain dan pelatih MAN Sester bersorak-sorai menyambut kemenangan. Sementara Baim dan rekan-rekannya tertunduk lesu. Penonton terdiam.

“Baim …! Baim …!” Sebuah suara sayup-sayup mendarat ke telinga Baim. Ia membuang pandangan ke arah penonton. Matanya berhenti kepada seorang wanita di kerumunan penonton. Senyumnya tersungging di wajahnya.

“Ibu?”

***

Bagikan Artikel Ini
img-content
Hasan Ali

Penulis Indonesiana

0 Pengikut

img-content

Runner Up

Kamis, 25 November 2021 16:22 WIB

Baca Juga











Artikel Terpopuler











Terkini di Fiksi

img-content
img-content
img-content
img-content
Lihat semua