x

Ilustrasi wajah wanita

Iklan

Tiara Febrianie

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 18 November 2021

Jumat, 26 November 2021 08:38 WIB

Gadis Diantara Perisai Dan Bayangan

Jika saja dirinya tahu, kalau aku juga tidak menyukai hal ini. Kalau aku mengerti bahwa itu semua hanya salah paham dan aku ingin ia percaya padaku. Aku sebenarnya ingin berlari kearahnya dan memeluknya dengan erat Jika saja dirinya tahu, aku punya alasanku sendiri.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Laki-laki itu tinggi perawakannya dan Iris mata nya akan mengingatkanmu pada gelapnya langit malam. Jika disandingkan dengan murid lain yang kulihat di sekolah ini, dia sama mencoloknya dengan seorang pemimpin geng anak nakal, namun ia tidak berperilaku seperti itu, atau setidaknya itulah yang dikatakan semua orang tentangnya. Aku memang terdengar sinis namun akan kutunjukkan padamu alasannya.

Benar-benar mengejutkan. Pagi ini, kulihat pemandangan sepasang manusia yang berpelukan di taman belakang sekolah dengan mengenakan seragam sekolah kami. Dari tempatku berdiri, laki-laki itu adalah orang yang sama dengan yang kulihat kemarin, kali ini ia terlihat sedang mengelus pelan punggung sang gadis yang masih sesenggukan. Terlihat manis, tapi sayang sekali kegiatan itu diketahui olehku. Tanpa pikir panjang,aku memotret mereka dengan kameraku.  Bu sintia akan mendapatkan potret yang bagus di kotak suratnya esok hari, batinku.

“Selamat pagi,Anak-anak. Sebelum memulai pelajaran…Rian,bisakah kemari sebentar?” Pak Hasan, atau guru Bahasa Mandarin sekaligus wali kelas kami tengah memasang wajah serius yang tidak pernah kulihat sebelumnya. Semua kepala refleks menoleh kearahnya. aku telah menantikan raut wajah ketakutan darinya, tapi kini malah ekspresi datar, seolah berkata ”Syukurlah, Aku benci  bahasa mandarin” yang ia tampilkan.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Dia berdiri namun belum setengah jalan, pintu kelas diketuk dengan keras. Seolah seseorang memiliki berita  maha penting yang harus segera disampaikan. Pintu terbuka, dan seseorang muncul dibaliknya. Seingatku, itu adalah Bu Sintia, wakil kepala sekolah kami.

“Rian Alvared, Ke ruanganku sekarang.” Seluruh murid penasaran akan apa yang terjadi sementara Aku tidak menyangka, bahwa hal itu akan membawa begitu banyak perhatian.

 

2 Bulan sebelumnya…

Saat itu, sedang memasuki Musim hujan. Seperti beberapa minggu belakangan, membawa payung telah jadi kebiasaan baru bagiku. namun sore hari setelah kegiatan eskul, aku harus menunggu hujan reda di sekolah. Bisa saja bagiku untuk menerobos hujan,tapi sore itu langit sepertinya sedang bermusuhan denganku, Jadilah aku menunggu dalam kelas, sambil menatap lapangan basket yang tengah diguyur hujan melalui jendela. Semuanya tenang sampai Aku melihat kepulan asap tipis mengudara di Lorong kelas.

Aneh? tentu saja.

Apakah embun itu berasal dari hujan? Pertanyaan retoris, tentu saja.

Aku bangkit dan mengikuti arah sumber asap tipis itu berasal. Siapa yang menyangka, bahwa ada seseorang yang berani merokok di dalam sekolah, bahkan di waktu Patroli guru sedang berlangsung? Aku berani bertaruh, seseorang yang sekarang bersembunyi seutuhnya di balik dinding, menyisakan bagian sisi kiri punggung dan tangan panjangnya yang tengah memegang putung rokok yang masih menyala, tidak menyadari dirinya dalam bahaya sekarang.

“Dasar, sialan.” Tadinya aku berniat pura-pura buta,atau semacamnya tetapi begitu mendengarnya berdecih dan berkata kasar yang seolah diperuntukkan untukku, membuatku mengurungkan niat dan malah terus bersembunyi disana dan memperhatikan punggungnya dari belakang.

 

“Hoi!”. Aku terbangun secara paksa dan dengan cara yang tidak menyenangkan. Cowok itu menatapku sinis setelah mengebrak meja. Huh,sungguh tidak manusiawi. ”Apa? kuharap kau punya alasan bagus untuk membangunkanku di waktu meditasiku.” Dia bergumam ‘Dasar aneh’ dan malah memintaku mengikutinya.

Kami berjalan ke daerah Gedung D, Gedung sekolah ini terletak di bagian belakang dan hanya diisi oleh tiga kelas, Gedung ini selalu sepi dan digunakan untuk tempat jurit malam saat perkemahan.

“Apa?” aku mengulangi pertanyaanku sebelumnya. ”Nah, kuminta kau berhenti menjadi penguntitku”. Bisakah kau bayangkan gempa yang terjadi di kepalaku saat mendengar perkataan eksplisit itu?

 ”Aku tidak mengerti”. Kataku,pura-pura amnesia. “kau tahu, semua yang menimpaku belakangan ini bukanlah sekedar kesialan yang lewat begitu saja. Ini memiliki semacam pola”. Aku menganggukkan kepala dan menambahkan, ”Masih tidak melihat apa hubungannya dengan diriku.” Dia terlihat kesal mendengarnya.

Aku terkejut bukan kepalang, saat ia menunjuk kearahku seraya berkata,“ kau harus berhenti menjadi penguntitku. Jujur, aku tidak tahu apa kesalahanku padamu tapi ini mulai semakin menjengkelkan.” tuduhnya dengan tatapan masam.

“biar kuluruskan, pertama, apakah sopan membangunkan seorang gadis seperti itu? Kedua, apakah tiba-tiba diseret seseorang kemudian dituduh sebagai penguntit, terdengar menyenangkan bagimu? Terakhir,  MENUNJUK SESEORANG TEPAT DIWAJAH ITU TIDAK  SOPAN,Apakah ibumu  belum mengajarkannya?”

Wajahnya ditekuk dan semakin masam,”Semua pengaduan itu, mulai dari pelukan, insiden pencurian, sampai foto ketika aku sedang merokok, semuanya berada di lingkungan sekolah. Waktu pengambilan bukti  mungkin tidak menentu namun Ketika itu semua terjadi kau ada disana.”

Aku disana?”

“ya, saat insiden pertama dan kedua terjadi kau dapat giliran piket dikelas sampai sore, aku sudah memastikannya, kau baru pulang satu jam setelah bukti-bukti itu diambil. Sedangkan untuk insiden ketiga, aku tidak mengerti bagaimana caramu melakukannya tetapi kau pasti selalu mengikutiku seharian. Jangan mengelak dan mengakulah.”

Aku tercengang. Orang ini benar-benar…

“itu omong kosong, tuduhan bodoh yang tidak berdasar. Tidak,aku tidak akan mengakui apapun. Jika ini berhubungan dengan hancurnya predikatmu sebagai ‘anak baik yang cerdas’ maka jangan jadikan aku kambing hitam untuk itu.Bentakku.

“cih, kuharap aku bisa percaya padamu..” Aku mendengar suara seraknya bergumam lemah, sesaat setelah tubuhnya merosot ke lantai, dengan punggung menempel pada dinding. Entah mengapa, aku merasa sangat bersalah. Aku duduk di sampingnya, hanya hening diantara kami, bersamaan dengan turunnya derai hujan  yang sama derasnya dengan dua bulan lalu.

“maaf, aku tidak bermaksud serius dengan semua makianku padamu. ” dia diam dan rasa bersalah seolah mengajakku untuk segera mati saja.

“katakan se-” Rian memotong perkataanku.

“kau benar, Aku memang berniat memojokkan mu. Aku juga berlaku kasar dengan menganggumu dan menuduhmu seenaknya. Aku merangkai cerita bodoh bahwa kau adalah pelakunya dan kau juga yang mengirim bukti fotonya ke kotak pos rumah Pak Hasan. “

“Maaf.” Di telingaku, permintaan maaf nya terdengar begitu tulus dan menyentuh. Membuatku ingin membiarkan mulutku lancang dan menceritakan segalanya, setidaknya tentang sedikit kebenaran atas tuduhannya. Hampir.

“Tak apa, itu bukan masalah. Maaf karena aku menyinggung soal ibumu.”

“itu kenyataan. Tidak ada yang mengajariku etika memperlakukan Wanita selama ini.” Suaranya terdengar seperti bisikan dalam hujan.” Ibumu..terdengar sangat sibuk,ya?”       Aku memilih kata-kataku dengan sangat cermat.

“sangat sibuk hingga ia tidak pernah pulang ke rumah hanya sesaat setelah aku lahir.”

“oh, maaf.” Aku segera menundukkan kepala, jika sebelumnya rasa bersalahku membuatku ingin mati,maka sekarang mungkin adalah saat yang tepat.

“huh, kemana Gadis aneh yang tadi mengamuk karena seseorang menganggu sesi meditasinya?” suara tawanya terdengar sangat jernih. Aku hanya menunduk mendengarnya.

” Sebenarnya hidupku tidak sesuram itu. Aku masih punya ayah dan kakak perempuan. Selama ini Kami bertiga, dan  kuharap akan tetap begitu selamanya.”  Dia menerawang ke depan. Mungkin ini sudah melebihi waktu yang ditentukan, seharusnya aku sekarang ada diruangan-nya , tapi aku masih ingin disini, menemaninya.

“sebenarnya kakak juga sudah pergi dari rumah, sekitar 6 tahun lalu. Aku tak tahu mengapa para Wanita dikeluarga kami selalu melakukannya, tapi itu jelas keinginannya sendiri.” Dia bangkit, menepuk  debu yang menempel di celananya.

Sebelum pergi, ia menundukkan badannya, menyamakan tinggi denganku yang masih terduduk,”Sampai sekarang, aku masih membayangkan, jika ibuku tidak pernah meninggalkanku, apakah kakak juga akan tetap berada disini?”

 

Aku mengetuk pintu bertuliskan ‘Ruang Kepala Sekolah’,begitu terdengar sahutan dari dalam, aku segera menerobos masuk. Bu sintia memandangku sebentar lalu mempersilahkanku duduk.

“bagaimana laporan hari ini?” aku diam.

“apakah Rian terlibat perkelahian atau kesalahpahaman lainnya?” aku masih terdiam. Detik selanjutnya,perkataanku membuat beliau terkejut.

“ibu..bisakah kita berhenti melakukannya?” Bu sintia  melepas kacamatanya dan menatapku tegas.

“kita membuat kesepakatan bahwa tidak ada hubungan ibu-anak di sekolah dan kau menyetujuinya.”

“ibu, tidakkah kau sadar? Ini semua menyakiti Rian. Kita menyakitinya. Lagipula, mengapa aku ikut serta dalam permainan ini? Ibu,aku tidak bisa melakukannya lagi.” begitu teringat bagaimana suaranya terdengar begitu putus asa membuatku hampir menangis.

Jika saja dirinya tahu, kalau aku juga tidak menyukai hal ini.

Jika saja dirinya tahu, kalau aku mengerti bahwa itu semua hanya salah paham dan aku percaya padanya.

Rian hanya menenangkan gadis itu sesaat setelah ia ditinggalkan Sang kekasih, Rian hanya memegang putung rokok milik seorang guru yang telah melarikan diri setelah tertangkap basah merokok didepannya, dan bukan Rian yang menandatangani sekaligus memalsukan pengeluaran di pembendaharaan kelas sebesar satu juta rupiah. Seseorang melakukannya. Demi menghancurkan Rian dari dalam.

Jika saja dirinya tahu, kalau aku sebenarnya ingin berlari kearahnya dan memeluknya dengan erat sambil berkata  ' ini kakak..maafkan aku Rian’.

Jika saja dirinya tahu…

“kau sudah memilih untuk menjadi seorang bayangan. Tugasmu adalah menjauhkan diri dari Penerus utama dan melindunginya dalam bayangan. “

“itulah yang tidak aku mengerti. Mengapa harus seperti itu. Kita telah menyakiti ayah dan Rian. Aku kakak yang tidak berguna namun ia masih berkata seolah aku adalah orang paling berjasa. Jika memang harus mengorbankan kehidupanku Bersama ayah dan Rian demi kesempatan bertemu dengan ibu, maka bukankah itu tidak adil?”

Ibu memelukku hangat, sebuah pelukan yang mungkin tidak pernah Rian dapat seumur hidupnya.”Penerus Utama memainkan peranan penting dalam keluarga. Kita, para Bayangan harus memuluskan jalan apapun yang mereka tempuh dan melindunginya seumur hidup kita. “

Ibu menangkupkan pipiku seraya berkata,”kita tidak boleh menyerah sekarang. Ini masih permulaan. Terror yang dihadapi Rian akan semakin menjadi, dan bukankah tugas seorang kakak untuk melindungi adiknya? Selama ini,aku bisa berkelit untuk menghindarkan Rian dari masalah namun kita tidak mengerti siapa yang sengaja mengincarnya dan menjatuhkan segala tuduhan keji itu. Aku mengandalkanmu,anakku.”

Pintu terbuka,Kepala Pak Hasan menyelip diantaranya. Aku gugup, kami ketahuan.

Sejak kapan ia ada didepan sana?

 “apa yang bisa kubantu,pak?” ibu  bangkit setelah melepas tangkupan tangannya di pipiku, menyahut dengan suara bergetar, yang baru pertama kali kudengar seumur hidupku.

“Aku tidak menyangka, selama ini kalian memiliki ikatan yang dalam ya.” Pak Hasan tersenyum mengerikan. Saat itu,perkataan Rian masih berputar di benakku.

 

Sampai sekarang, aku masih membayangkan, jika ibuku tidak pernah meninggalkanku, Apakah Kakak juga akan tetap berada disini?

Ikuti tulisan menarik Tiara Febrianie lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler