x

Iklan

sangpemikir

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 6 Oktober 2021

Jumat, 26 November 2021 20:59 WIB

Green Industrial Park: Tanggung Renteng Biaya Industri Ramah Karbon

Berhulu di Gunung Ukeng di perbatasan Kalimantan Utara – Sarawak, Sungai Kayan mengalir ke arah Timur sepanjang 576 km km dan bermuara di kawasan delta di tubir Laut Sulawesi. Debit airnya kuat dan cukup stabil karena terlindung oleh hutan raya Taman Nasional Kayan Mentaran yang tebal dan hijau, Kayan Sungai Kayan adalah sumber energi yang abadi.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Dalam pembukaan Indonesia Con-Ex (Conference and Exibition) mengenai  Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) ke-10 tahun 2021 di Istana Negara, Jakarta, Senin 22 November 2021, Presiden Joko Widodo mendorong pemanfatan energi air untuk membangkitkan listrik dalam kaitan dengan ekoomi hijau. Sungai Kayan di Kalimantan Utara dan Sungai Memberamo di Papua.

“Kita coba dua dulu, saya sampaikan ke Pak Menko, coba dua, Sungai Kayan, Sungai Mamberamo. Sungai Kayan sudah dihitung kira-kira bisa (membangkitkan listrik) 13.000 megawatt. Mamberamo bisa kira-kira 24.000 megawatt,” ujar Presiden seperti dikutip siaran pers di laman presidenri.go.id.

Menko yang dia maksud  ialah Menteri Kordinator (Menko) Kemaritiman dan Investasi (Marinves) Luhut Binsar Panjaitan, yang membawahi sektor energi, yang mendampingi  Presiden dalam acara tersebut. Turut hadir dalam acara itu Menteri Menteri Sekretaris Negara Pratikno, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Arifin Tasrif, dan Ketua Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia Surya Darma.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Indonesia, tutur Presiden Jokowi, memiliki potensi besar untuk mengembangkan energi baru dan terbarukan (EBT). Ada energi air  seperti dari Sungai Kayan dan  Memberamo, energi panas bumi, energi angin, matahari dan arus air laut. Semuanya bisa dimanfaatkan terkait kontribusi Indonesia bagi tata kelola planet bumi yang lebih bersih dan ramah karbon. Energi fosil seperti minyak bumi dan batu bara yang mengemisikan banyak karbon akan segera ditinggalkan.

Dalam forum G20 di Roma (29 - 30 Oktober), Forum Konferensi Perubahan Iklim COPs ke-26 (1 – 2 November) di Glasgow dan Dubai Expo (3 – 4 November), Presiden Joko Widodo mempromosikan program EBT, yang direncanakan akan digelar di proyek green industrial park di Kalimantan Utara. Sekitar 20.000 ha lahan disiapkan untuk mengembangkan kawasaan industri ramah karbon itu.

Green industrial park bukan proyek gampang. Di situ , energi untuk industri seluruhnya ialah EBT, utamanya dari energi hidro Sungai Kayan. Semua industri di situ juga melakukan proses bisnisnya dengan tanpa menghamburkan emisi karbon. Limbah industrinya pun harus diolah secara rendah karbon. Secara keseluruhan, kawanan industri ini akan net zero emission. Tak ada emisi karbon.

Produknya harus kompetitif di pasar internasional.  Persoalannya, segala proses itu memerlukan biaya lebih mahal. Energi listrik hidro lebih mahal dari energi fosil. Secara umum, Presiden Jokowi memberi gambaran bahwa EBT itu jauh lebih mahal dari energi listrik batu bara yang dibangkitkan dari PLTU (Pembangkit Listrik Tenaga Uap). Ada gap harga yang cukup besar.

Selisih harga itu akan terlalu besar bila harus disokong oleh pemerintah. Gap harga itu juga tak bisa dibebankan kepada konsumen. Masyarakat internasional dan negara maju, sebagaimana sikapnya terekam dari arena G20 di Roma maupun COPs ke-26 di Glasgow, Skotlandia, tak terlalu tegas. Tak ada komitmen jelas dari mereka menanggung gap harga itu guna mendorong EBT global bergulir.

Namun, di tengah ketidakpastian itu, Indonesia tetap teguh berkomitmen menjadi negara net zero emission di tahun 2060. ‘’Perdana Menteri Inggris Boris Johnson sempat bertanya, mengapa 2060, bukan 2050. Saya mengatakan, sulit karena dukungan dari  negara maju belum cukup jelas,’’ kata Presiden Joko Widodo dalam sambutannya.

Toh, Indonesia tak mau berdiam diri. Pemerintah bertekad mengambil inisiatif untuk membangun EBT dan kawasan hijau untuk kontribussi bagi masa depan planet bumi yang lebih baik, terhindar dari bencana perubahan iklim.

“Pertanyaannya, skenarionya seperti apa sekarang kita? Itu yang saya tugaskan kepada Pak Menko Maritim dan Investasi dan juga pada Pak Menteri ESDM, plus Menteri BUMN. Yang konkret-konkret saja, tapi kalkulasinya yang riil, ada itung-itungan angkanya yang riil,” kata Presiden pula.

Presiden Jokowi menantang para pakar dan pelaku industri EBT bisa memberikan masukan kepada pemerintah agar skenario transisi energi  bisa bergulir. Namun, Presiden mengingatkan agar semua perhitungan dilakukan secara rinci. ‘’Tidak hanya, oh ini di Sungai Kayan dapat  dibuat hydro power, geotermal di gunung ini bisa. Iya bisa, saya tahu bisa semuanya. Tapi, siapa yang akan menanggung angka yang tadi saya sampaikan,” tambahnya.

Presiden Jokowi meminta agar ada kalkulasi yang rinci terkait biaya pembangkitan EBT di Indonesia, baik yang berbasis hidro, panas bumi, angin, matahari, biomassa dan yang lain. Data aktual itu akan sangat diperlukan ketika Indonesia mengundang investasi asing yang mengincar bisnis hijau.

Nyatanya, di arena COPs ke-26 Glasgow sekelompok pengusaha Inggris menyatakan komitmennya untuk berivestasi di sektor EBT dan industri hijau di Indonesia. Nilainya USD 9,3 Milyar. Dari arena Dubai Expo,  raksasa industri gula globa Al Khaleej Sugar Co (AKS), menyatakan komitmen investasi USD 2 Milyar untuk budidaya tebu di Kalimantan Timur, dan mempproduksi tetes gula tebu untuk difermentasi menjadi etanol sebagai bahan bakar yang berkelanjutan.

Kalkukasi teknis yang rinci diperlukan untuk memperoleh gambaran yang nyata di lapangan terkait harga, fluktuasi produksi serta resiko lainnya. Dengan kalkulasi yang cermat, Pemerintah Indonesia bisa menawarkan insentif pada investor, sekaligus  proposal pemintaan kontribusi dari masyarakat internasional untuk mendukung proyek industri hijau ini,

“Sekali lagi saya minta masukan dan kalkulasi yang detail, angka-angka kenaikannya berapa, gap yang harus dibayar berapa untuk Indonesia saja, kalau ketemu syukur bisa langsung dirumuskan. Jurus ini harus bisa diselesaikan,” kata Presiden. Kalkulasi yang rinci, efisien dan kompetitis, akan menghasilkan terobosan untuk merealisasikan industri ramah karbon yang lebh murah. Toh, gap biaya akan masih ada dan harus ditanggung renteng.

Dengan Presidensi di G-20 hingga Oktober 2022, Pemerintah Indonesia punya kesempatan untuk mengolah isu ini menjadi proposal kegiatan ekonomi hijau yang siap diimplementasikan. Dengan catatan, ada kalkulasi yang rinci berapa porsi kontribusi dari pemerintah indonesia, negara-negara maju dan konsumen global untuk menyerap produk industri rendah emisi. Termasuk, kalkulasinya yang terkait perdagangan karbon dan harganya.

‘’Nanti saya bisa sampaikan di G20 di Bali tahun depan,” ujarnya. Menurut jadwal, KTT G20 tahun 2022 akan digelar di Bali di bulan Oktober.

Ikuti tulisan menarik sangpemikir lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB

Terkini

Sengketa?

Oleh: sucahyo adi swasono

2 jam lalu

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB