x

Iklan

Rudi Hartono

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 1 Agustus 2019

Jumat, 26 November 2021 21:02 WIB

Menelisik Fenomena Deklarasi Relawan Pemilu 2024

Kemunculan relawan politik, sejatinya, tidak bisa dipahami hanya sebatas gimmick politik. Ada agenda politik tertentu yang hendak dibawa. Sala satunya adalah pengenalan sekaligus mempengaruhi pikiran publik untuk mendukung kandidat yang mereka usung.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Walaupun hajatan elektoral baru digelar pada 2024 mendatang, namun keriuhan politik dalam rangka menyambut pesta lima tahunan ini sudah terasa dari sekarang. Pelbagai lembaga survei berlomba-lomba merilis nama-nama tokoh yang diproyeksikan akan maju berkontestasi dalam gelanggang Pemilu. Ruang-ruang publik hendak disesaki pernak-pernik baliho politisi yang tak jelas apa gunanya bagi masyarakat di tengah terjangan pandemi. Begitupun partai politik yang terang-terangan mengorbit Ketum partai untuk diusung di Pemilu.

Di samping fenomena survei dan perang baliho, belakangan ini, mulai bermunculan fenomena deklarasi relawan kepada tokoh tertentu yang dianggap layak dan representatif untuk mereka usung di Pemilu 2024. Di kota Malang, semisal, sekelompok orang relawan mendeklarasikan Gema Puan untuk Pilpres 2024. Sedangkan di Jakarta, ada kelompok yang mengatasnamakan Aliansi Nasional Indonesia Sejahtera (ANIES) yang menyatakan dukungannya kepada Anies Baswedan. Selain itu, ada pula relawan Sahabat Ganjar.

Gema Puan, ANIES dan Sahabat Ganjar hanyalah beberapa relawan yang sudah menyatakan sikap secara terbuka. Karena di luar itu juga terdapat relawan yang menyatakan dukungan pada tokoh lain, seperti dukungan pada Prabowo dan Jokowi. Analis politik dari Poltracking Hanta Yuda, semisal, menyebut tren deklarasi adalah hal positif karena bisa menjadi penyeimbang dari dominasi partai politik. Karenanya, fenomena deklarasi relawan merupakan hal lumrah dalam dunia politik.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Aksi dukung-mendukung dalam dunia politik merupakan hal yang lumrah. Namun kehadiran relawan di waktu yang terlalu dini membuat publik mulai bertanya-tanya. Mengapa Pemilu yang masih menyisakan tiga tahun lagi, deklarasi dukungan politik sudah bermunculan? Apa yang melatari kemunculan fenomena tersebut? Kemunculan relawan politik, sejatinya, tidak bisa dipahami hanya sebatas gimmick politik. Ada agenda politik tertentu yang hendak dibawa. Sala satunya adalah pengenalan sekaligus mempengaruhi pikiran publik untuk mendukung kandidat yang mereka usung.

Faktor Pemicu

Tren deklarasi relawan maupun praktik dukung mendukung dalam gelanggang pemilu memang lumrah dalam politik. Karena hal tersebut adalah bagian dari partisipasi publik. Namun tetapi, kemunculan relawan di waktu yang masih terlalu dini, tentu, membuat orang bertanya-tanya. Apakah tren ini datang dengan sendirinya tanpa desain? Dalam gelanggang politik praktis, jelas tidak ada yang alamiah atau kebetulan. Karenanya, kemunculan relawan dapat dilihat sebagai desain politik jangkap panjang – terlepas kemunculannya itu diketahui atau tidak oleh tokoh terkait.

Bagi sebagian orang, mungkin, Pemilu 2024 dipandang masih terlalu jauh. Sehingga deklarasi politik belum dilihat sebagai agenda penting yang harus dilakukan. Namun bagi sebagian lainnya waktu tiga tahun, tentu, bisa menjadi tiga bulan atau tiga menit dari sekarang. Sehinga mempersiapkan segala sesuatunya mulai dari sekarang adalah keharusan. Siapa cepat, dialah yang menjadi pemenang. Itulah prinsip utama yang tepat di dalam menggambarkan realisme politik Indonesia akhir-akhir ini.

Ada tiga faktor penting yang menarik untuk di bongkar lebih dalam untuk melihat kemunculan fenomena deklarasi relawan. Karena kalau berkaca dengan periode sebelumnya, secara timing, kemunculan relawan tidak seperti yang terjadi sekarang ini.

Pertama, merujuk pada hasil survei yang dirilis sejumlah lembaga survei, ada sejumlah nama yang bukan penentu kebijakan partai dan/atau bukan berstatus sebagai kader partai. Munculnya nama-nama seperti Anies Baswedan dan Ridwan Kamil–yang notabene merupakan tokoh non-partai – atau, sosok Ganjar Pranowo, Sandiaga Uno dan Tri Rismaharini–sebagai figur yang bukan Ketum Partai tentunya ini menjadi warning bagi tokoh-tokoh seperti Puan Maharani, Airlangga Hartarto atau Prabowo yang memiliki kedudukan dan pengaruh besar di internal partai masing-masing.

Kedua, antagonisme politik di level elite cenderung menajam. Hal ini merupakan konsekuensi logis dari kemunculan nama-nama bakal calon kandidat yang bukan penentu kebijakan partai dan/atau bukan berstatus sebagai kader partai. Pertentangan di internal PDIP yang melibatkan gerbong Puan Maharani dengan Ganjar Pranowo adalah contoh konkretnya. Ada juga contoh lain yang terlihat dalam konteks Partai Demokrat lewat prahara "kudeta" kepemimpinan AHY. Maka dengan hadirnya relawan dapat dilihat sebagai counter dominasi elite parpol.

Ketiga, persoalan presidential threshold. Trend kemunculan relawan tak dapat dipisahkan dari desain kelembagaan politik di Indonesia yang cenderung eksklusif dan menguntungkan interest elite semata. Hal ini dapat dicermati dari kontestan yang berlaga di arena Pemilu 2014 dan Pemilu 2019 yang hanya menyisakan dua pasangan calon, yakni Jokowi vs Prabowo. Memang tak disangkal, kehadiran presidential threshold 20 persen berimplikasi terhadap "tertutupnya" kesempatan bagi tokoh-tokoh potensial untuk dicalonkan dan mencalonkan diri.

Menurut hemat saya inilah ketiga faktor yang jadi pemicu di balik munculnya deklarasi relawan tokoh-tokoh tertentu yang dilakukan mulai dari sekarang. Sehingga apa yang terjadi saat ini, dengan demikian, harus dilihat sebagai setting politik guna menciptakan prakondisi-prakondisi yang dapat mempengaruhi keputusan politik kepartaian dalam kaitannya dengan dukungan politik ke kandidat yang mereka jagokan.

Rudi Hartono, Forum Intelektual Nuhu Evav Malang

Ikuti tulisan menarik Rudi Hartono lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler