x

Iklan

Dodo Hinganaday

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 November 2021

Jumat, 26 November 2021 21:13 WIB

Jika Ia Bisa Kubunuh


Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

“Jika ada orang yang ingin kubunuh, ialah orangnya.” Itu bukan suara mulut Eni. Itu suara batinnya, batin yang ingin berteriak, membalas makian “Goblok! Bodoh!” dari Hardja.
Siang tadi Hardja masuk ke dapur. Mencariku. Bernafsu ingin memaki Eni.

“Goblok! Masakan nggak enak! Sudah kubilang jangan masak pakai micin! Apa kau mau meracuni kami?” Napasnya memburu, tanda emosi yang tak teratur.

Sementara itu, sambil menangis Eni hanya bisa memohon ampun pada majikannya itu.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

“Masih untung kau tidak kupecat! Dasar perempuan bodoh!”


***

Napas memburu Hardja tak tertahankan lagi. Tanpa basa-basi ia terus menindih Eni. Tanpa henti. Hingga Eni kelelahan.

Biarpun sudah berumur 60 tahun, nafsu Hardja malam itu masih sekuat dirinya ketika 30 tahun. Obat yang ia konsumsi benar-benar manjur. Imajinasinya yang liar bermain di atas tubuh muda Eni, yang masih tetap menarik walaupun sudah berulangkali dipakai Hardja. Sudah dipaksanya Eni meminum pil KB sehingga tak akan ia hamil, walaupun dijebol berkali-kali.

“Maafkan aku siang tadi, Sayang. Istriku mengeluh terus soal masakanmu. Padahal buatku oke-oke saja kok,” bisik Hardja setelah puas meluapkan nafsunya. Merayu. Gombal. Busuk.

“Mas bicara kayak gitu hanya karena istri Mas sudah tidur. Kalau masih melek, omongan Mas pasti berbeda,” kata Eni.

“Eh, siapa bilang? Istriku itu sebenarnya pengen kamu keluar dan pergi jauh dari sini. Tapi selalu kutahan. Tak mungkin kau kupecat. Bisa sebatang kara dirimu nanti.”

Ya, tak mungkin dirimu mengusirku, batin Eni. Kalau aku pergi, siapa yang sudi melayani nafsu kakek bangkotan macam kau? Istrimu mungkin sudah tahu perselingkuhanmu denganku sehingga mau mengusirku. Hampir tiap malam diam-diam dirimu menghampiriku ketika istrimu terlelap, Hardja. Dan, pada siang hari dirimu selalu berakting yang sama. Dengan makian yang sama, makian menyayat hati. Sementara kamu memakaiku pada malam hari. Dengan akting dan rayuan yang sama.

***
Setiap hari seperti itu membuat Eni lelah. Siang malam diperlakukan layaknya budak. Siang hari dimaki-maki sampai hancur, malam harinya dianggap layaknya pelacur.

“Aku harus membunuhnya,” kata Eni dalam hati. Penuh kobaran amarah.

Malam itu Eni melihat Hardja yang terlelap di sampingnya. Kakek tua itu mendengkur seperti babi.

“Kata-katamu akan segera menjadi kenyataan, Hardja,” bisik Eni perlahan.

***

Siang itu Eni sudah menunggu Hardja di dapur. Menunggu dimaki-maki, layaknya yang sudah terjadi hampir setiap hari. Menanti sang aktor besar berakting dengan kata-kata kotornya yang menyayat hati.

Tapi, alih-alih Hardja, justru istrinya yang menyambangi pintu dapur. Tangannya memegang pisau. Berlumuran darah.

“Ya Allah, Bu! Ada apa?” Eni panik melihat kondisi nyonyanya yang seperti itu.

“Hari ini telah kubebaskan dirimu dari bandot tua itu, Eni,” ujar istri Hardja. Suaranya bergetar, tapi puas. Ia telah meluapkan amarah dan kesumat yang terpendam sekian lama.

Eni kaget, tapi berusaha menenangkan dirinya.

“Membebaskan diri saya bagaimana, Bu?”

“KAU PIKIR AKU TIDAK MENGETAHUI KEBIASAANNYA DENGANMU?” Tiba-tiba suara sang majikan meninggi.

Eni sebenarnya sudah mulai bisa menangkap maksud nyonyanya, hanya masih pura-pura bodoh, “Kebiasaan yang mana, Bu?”

“KEBIASAANNYA MEMPERLAKUKANMU LAYAKNYA SAMPAH DAN PELACUR!”

Meracaulah istri Hardja. Disebutkan segala makian dan hinaan yang biasa Hardja lontarkan di hadapan Eni pada siang hari. Dengan penuh geram ia menceritakan Hardja yang pada hampir setiap malam diam-diam meninggalkannya demi bisa menikmati tubuh indah Eni.

“Dari mana Ibu tahu semuanya?”

“Bukan cuma dia yang bisa akting. Aku juga!” Tiba-tiba perempuan tua itu terdiam.

“Caranya memandangmu…penuh nafsu. Tak bisa ia membohongiku. AKU JUGA PEREMPUAN YANG BISA MEMAHAMI MATA LAKI-LAKI!”

“Tapi, kini kau pun kubebaskan dari diriku. Tak perlu kau dengarkan keluhanku soal masakanmu yang tidak enak. Aku sudah menelepon polisi dan mengakui semuanya.” Suaranya melunak.

Tiba-tiba perempuan itu tertawa histeris, lalu menangis.

“Para polisi itu akan menjemputku. Lalu akan kuhabiskan masa tuaku di penjara.” Kata-katanya lirih, layaknya seorang nenek yang berusaha tabah memasuki dunia kesepian.

“Tabah ya, Bu,” kata Eni, tampak berusaha menenangkan istri Hardja. Kini kau tahu betapa bajingannya suamimu itu! Bedebah!

Ia lalu teringat akan masakan yang baru saja dibuatnya.

“Ini, Bu, iciplah dulu. Ibu akan kangen dengan masakan saya ketika di penjara nanti.”

Eni menyodorkan semangkuk kecil sayur asem.

Istri Hardja menyeruput kuahnya.

“Wah, tumben masakanmu enak, Ni!”

Senyumnya mengembang. Tidak lama. Segera suaranya tercekat, ia seperti dicekik orang.

“Ada apa ini, Eni? Leherku panas. Kerongkonganku seperti terbakar.”

Tubuhnya terjatuh, tergeletak di lantai dapur. Pertanyaannya tak pernah terjawab. Istri Hardja sudah terlanjur menjemput ajal, menyusul suami yang sudah dibunuhnya.
Melihat istri Hardja menjemput kematian, Eni tiba-tiba terbahak-bahak.

“Ini tanda terima kasihku, Bu, karena engkau telah membebaskanku dari kakek berengsek hidung belang itu. Kini kau kubebaskan dari tahanan polisi. Biar aku yang menggantikanmu.”

Ikuti tulisan menarik Dodo Hinganaday lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler