x

Iklan

Arie Hendrawan

Pendidik di SMA Islam Al Azhar 14 Semarang
Bergabung Sejak: 26 November 2021

Rabu, 1 Desember 2021 11:43 WIB

Quo Vadis Kewargaan dan Keadaban Digital Masyarakat Kita

Netizen atau Warganet Indonesia belum lama ini menyandang gelar sebagai pengguna internet yang paling tidak sopan se-Asia Tenggara. Hal itu kontradiktif dengan citra masyarakat Indonesia yang selama ini dikenal ramah dan kental akan budaya ketimuran. Lalu, apa yang sebenarnya menyebabkan warganet kita menjadi sangat “barbar” di dunia maya?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Netizen atau Warganet Indonesia belum lama ini menyandang gelar sebagai pengguna internet yang paling tidak sopan se-Asia Tenggara. Label itu diberikan oleh Microsoft, berdasarkan survei Digital Civility Index (DCI) sepanjang tahun 2020. Ironisnya, tidak berselang lama setelah survei tersebut dirilis, akun IG Microsoft pun ramai diserang warganet Indonesia hingga kolom komentarnya dinonaktifkan.

 

Hal itu kontradiktif dengan citra masyarakat Indonesia yang selama ini dikenal ramah dan kental akan budaya ketimuran. Lalu, apa yang sebenarnya menyebabkan warganet kita menjadi sangat “barbar” di dunia maya? Untuk menjawab pertanyaan itu, para ahli telah banyak berpendapat dengan sejumlah teori, mulai dari faktor lemahnya literasi, kesulitan ekonomi, sampai kefrustasian karena Pandemi Covid-19.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

 

Namun, sebelum terlalu jauh berasumsi, sesungguhnya ada “pertanyaan umum” yang perlu dijawab terlebih dulu, yakni mengapa seseorang cenderung lebih berani di dunia maya? Filsuf Prancis, Emmanuel Lévinas (1985), mengemukakan konsep “face-to-face relation”. Menurutnya, pertanggungjawaban etis terhadap orang lain akan terbentuk melalui interaksi tatap muka. Tetapi tidak di internet, yang bersifat virtual.

 

Senada dengan konsep tersebut, pengamat psikososial dan budaya Endang Mariani (2021) juga berargumen, bahwa orang menjadi lebih berani di internet, sebab mereka bisa menyembunyikan identitas aslinya (anomim), sehingga merasa tidak mempunyai tanggung jawab moral dan material. Jadi, warganet cenderung berinteraksi secara spontan, tanpa banyak mempertimbangkan konsekuensi dan dampaknya.

 

Kewargaan Digital

Menurut laporan terbaru dari HootSuite dan We Are Social, pada awal tahun 2021 ini, jumlah pengguna internet di Indonesia mencapai angka 202,6 juta jiwa. Jumlah tersebut meningkat 15,5 persen atau 27 juta jiwa jika dibandingkan pada Januari 2020 yang lalu. Dengan total penduduk Indonesia saat ini berjumlah 274,9 juta jiwa, artinya penetrasi internet di Indonesia pada awal 2021 mencapai 73,7 persen.

 

Angka tersebut menunjukkan, jumlah warganet Indonesia yang sangat besar. Mereka merupakan masyarakat yang telah melek internet dan menjadi bagian dari masyarakat digital dunia. Untuk itu, mereka harus dibekali pengetahuan tentang kewargaan digital sebagai karakteristik warga negara digital. Menurut Mossberger dan Tolbert (2008), kewargaan digital adalah kecakapan berpartisipasi dalam komunitas online.

 

Lebih jauh lagi, kewargaan digital dapat dimaknai sebagai konsep untuk memberikan pengetahuan mengenai penggunaan teknologi dunia maya dengan baik dan benar. Hal itu juga berimplikasi sebagai norma perilaku yang tepat dan bertanggung jawab atas penggunaan teknologi, seperti pemilihan kata yang baik saat berkomunikasi, tidak menyinggung pihak lain, dan tidak memberikan informasi palsu (hoax).

 

Sebagai warga digital, warganet Indonesia semestinya sadar akan hal yang baik dan buruk dalam teknologi, mampu menampilkan kecerdasan perilaku teknologi, dan juga membuat keputusan yang tepat ketika menggunakan teknologi. Kesadaran itu terkait erat dengan salah satu komponen dalam kewargaan digital, yaitu etika digital. Etika digital dibuat untuk menjaga perasaan dan kenyamaan user lainnya.

 

Keadaban Digital

Dalam definisi yang lebih luas, etika digital juga bisa disebut sebagai keadaban digital. Keadaban digital “menuntun” pengguna teknologi digital untuk saling menghargai dan dapat bertanggung jawab dalam melakukan komunikasi virtual sesuai dengan norma- norma yang berlaku. Untuk mewujudkan itu, kita mengenal konsep “THINK” sebagai perangkat atau sistem tata krama dalam kewargaan digital.

 

THINK adalah akronim dari True, Hurt Someone, Illegal, Necessary, dan Kind. Sebelum kita berinteraksi di jagat internet melalui media sosial, blog, maupun berbagai platform digital yang lain, hendaknya kita memfilter, apakah postingan kita valid (true)? Apakah akan menyakiti orang lain (hurt someone)? Apakah mengandung informasi tak resmi (illegal)? Apakah itu penting (necessary)? Dan, apakah sesuai kesopanan (kind)?

 

Untuk menciptakan kesadaran masyarakat atas gagasan THINK tersebut, sering kali peraturan atau regulasi saja tidak cukup. Perlu ada pengajaran dan pemahaman secara komprhensif. Salah satu caranya melalui strategi pendidikan. Persoalannya kemudian, dalam kurikulum pendidikan kita saat ini, muatan materi tentang kewargaan digital, termasuk etika digital, hanya ada di SMK pada mata pelajaran Simulasi Digital.

 

Sesuai Kurikulum 2013 hasil revisi, materi tentang kewargaan digital dan etika digital masing-masing terdapat dalam KD 3.8 dan 4.8, mata pelajaran Simulasi Digital, kelas X SMK. Sedangkan pada jenis institusi pendidikan lain, seperti SMP/MTs dan SMA/MA, tidak ada satupun mata pelajaran yang memuat materi tersebut. Bahkan, termasuk mata pelajaran PPKn dan Informatika yang tampak memiliki relevansi.

 

Strategi Edukasi

Jika mencermati struktur kurikulum mata pelajaran PPKn di tingkat SMP/MTs dan MA/MK, memang tidak terlihat sajian materi kewargaan digital. Padahal, dalam nama PPKn sendiri, terkandung term "pendidikan kewarganegaraan". Akan tetapi, pendidikan kewarganegaraan yang dimaksud belum berperspektif era revolusi industri 4.0 dan digital, kecuali hanya metode pembelajarannya yang memanfaatkan ICT.

 

Sementara dalam mata pelajaran informatika di jenjang SMP/MTs maupun SMA/MA, sebagian besar materinya terlalu berorientasi pada hal-hal bersifat teknis-operasional. Informatika hanya dipandang sebagai mata pelajaran tentang data dan informasi pada mesin berbasis komputasi. Oleh sebab itu, kajian mengenai kewargaan maupun etika digital sama sekali tidak tersentuh, apalagi mendapatkan fokus perhatian.

 

Idealnya, materi tentang kewargaan digital dan etika/keadaban digital tidak hanya terbatas untuk SMK, melainkan juga penting diberikan kepada anak-anak di jenjang SMP/MTs atau institusi SMA/MA, karena mereka pun “pengguna internet”. Menurut APJII, penetrasi pengguna internet tahun 2018 untuk usia 10-14 tahun adalah 66,2 persen dan pada usia 15-19 tahun mencapai 91 persen.

 

Dengan demikian, diharapkan mereka akan mampu menjadi masyarakat digital yang lebih “beradab”, tidak hanya sebatas mempunyai kecakapan digital tetapi nir-keadaban. Seperti yang pernah diungkapkan oleh Tan Malaka, bahwa tujuan pendidikan sejatinya untuk mempertajam kecerdasan dan memperhalus perasaan. Artinya, aspek kognitif dan afektif harus berjalan secara seimbang, tidak ada yang mendominasi.

 

Ikuti tulisan menarik Arie Hendrawan lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB