x

Iklan

Irma Desi Rahmawati

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 28 November 2021

Minggu, 28 November 2021 16:41 WIB

Malam Pengubah

Sebuah kejadian buruk yang mengusir kejadian buruk lain.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Jam 21.00. Aku menonton tv sendirian di ruang keluarga. Menurunkan volumenya sampai batas nol. Meski tanpa suara, aku masih bisa mengerti jalan ceritanya karena itu film luar. Ada subtitlenya. Ayah entah sedang apa di kamar. Mungkin sudah tidur karena kelelahan bekerja seharian. Sedangkan Ibuku sudah dari satu tahun lalu tidur dan tak akan pernah terbangun lagi kecuali sangkakala kedua berbunyi. Aku melihat ibuku untuk yang terakhir kalinya saat usiaku menginjak tujuh belas tahun. Dengan pisau dapur tertancap di perutnya. Di depan mataku sendiri.

Jam 23.00. Aku mematikan tv, beranjak ke kamarku. Merebahkan badan dalam remang lampu tidur. Berbagai bayangan melintasi kepalaku. Kehidupanku. Kesepian, rasa sakit, pandangan kasihan orang-orang, yang terjadi pada ibu, dan keluargaku satu-satunya, ayah. Memikirkan semua itu membuatku lelah, sampai akhirnya mataku terpejam dan kesadaranku mulai menghilang. Kurasa baru sekitar 15 menit, ketika tiba-tiba saja terdengar suara seperti daun kering terinjak. Disusul suara lirih orang berbisik. Telingaku yang peka ini jelas sekali mendengarnya. Mataku langsung terbuka. Siapa? Jam segini? Untuk beberapa saat aku terdiam. Lalu, memberanikan diri mengintip dari bawah gorden jendela kamarku. Aku hanya melihat dari sela-sela, dengan gerakan perlahan dan sangat hati-hati. Betapa terkejutnya aku. Terlihat dua orang mencurigakan dalam balutan pakaian hitam sedang mengendap-endap di bawah pohon mangga samping rumah. Aku langsung meringkuk di bawah jendela. Tapi dengan segenap rasa penasaranku, aku mencoba mengintipnya lagi. Astaga! Sekarang mereka sedang mencoba masuk lewat jendela ruang baca yang terletak di sebelah kamarku persis.

Bagaimana ini? Jantungku berdegup sangat kencang sampai rasanya ingin meloncat keluar. Tenang. Aku harus tenang. Haruskah aku membangunkan ayah dulu? Dia mungkin sudah tertidur lelap. Iya. Pertama-tama aku harus keluar kamar tanpa menimbulkan suara. Perlahan-lahan namun harus bergegas, sebelum si maling berhasil masuk. Kamar ayah terletak di samping ruang tamu, berbatasan dengan ruang keluarga. Kamarku juga berhadapan dengan ruang keluarga sedangkan ruang baca berhadapan dengan dapur. 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Klek . Terlambat. Mereka pasti sudah berhasil masuk. Bagaimana mungkin mereka mencokel jendela terkunci secepat itu? Pintu ruang baca masih tertutup, namun aku harus segera bersembunyi. Cepat atau lambat mereka akan keluar dari sana. Aku memutuskan bersembunyi di dapur. Di sana pasti aman karena tak ada yang bisa diambil. Mereka pasti akan mencari barang berharga di ruang lain. Ceklek. Sangat pelan. Terdengar suara pintu dibuka. Mereka keluar. Aku membeku di tempat. Tolong jangan ke sini, jangan ke sini. Dalam hati aku meminta. Huft... Tidak. Meski akhirnya mereka beranjak ke ruang keluarga, aku tak bisa lega. Ayo berpikir, berpikir. Ya Tuhan! Ponsel! Aku melihat ponsel di atas meja. Ah, ternyata aku melupakan ponselku di sini saat minum tadi sebelum tidur. Langsung saja ku raih. Pertama-tama aku harus menelepon 110. Tapi kalau menelepon, bisa-bisa aku ketahuan oleh malingnya. Sms tetangga saja dulu. Minta bantuan. Prang. Sesuatu jatuh. Sepertinya vas bunga yang pecah. Suara yang sangat cukup membuat siapa saja terbangun di tengah mimpi indahnya sekalipun. Tak lama, lampu ruang tengah menyala dan terdengar seseorang berkata, “Sudah malam begini , beraninya kau-,” Itu suara ayah. Namun yang terdengar selanjutnha adalah erangan kesakitan. Kemudian, terlihat dari tempat persembunyianku, maling itu buru-buru kabur. Keluar melalui jalan masuk mereka tadi. Aku langsung bergegas menghampiri ayah. Terkesiap. Memandang ayah yang tersuruk di lantai di depan pintu kamarnya. Memegangi perut yang bersimbah darah. Sebuah pisau tergeletak di samping ayah. Pisau dapur yang aku gunakan untuk membuka buah saat menonton tv beberapa jam lalu. Pisau yang telah berubah warna menjadi merah. 

Ayah merintih kesakitan. Aku berdiri memandangnya tanpa menggerakan badan sedikitpun. Bayangan ibu berkelebat. Di saat terakhirnya, aku melihat dengan mata kepalaku sendiri. Ibu yang jatuh ke lantai. Tangannya memegang perut yang bersimbah darah persis seperti ayah sekarang. Dan dengan sangat jelasnya aku masih mengingatnya dengan baik, tangan ayah yang memegang pisau bernoda merah. Tanpa rasa bersalah di wajahnya. 

“Hei, anak gila, apa yang kau lakukan ban*sat! Cepat cari bantuan dan tolong ayah!” dengan sisa tenaganya, ayah menyadarkan lamunanku. Kemudian senyum tipis menghias wajahku.

~

Aku ziarah ke makam orang tuaku. Mendoakan mereka setulus hatiku. Walau mungkin yang kusebut ayah itu tak tulus dalam membesarkanku. Tak apa, setidaknya ini sebagai persembahan terakhirku untuknya. Aku tahu ayah tak pantas menerima setiap doa yang kupanjatkan atas apa yang sudah ayah lakukan terhadapku dan ibu. Tapi dia tetap orang yang ada dibalik keberadaanku kan? Mungkin ini sebagai bentuk permintaan maafku karena telah membiarkannya mati begitu saja. Tunggu. Aku juga tak minta untuk menjadi putrinya kan? Menjadi samsak tinjunya ketika masalah pekerjaan menekannya, memarahiku saat aku menuntut hakku, menjadi pelampiasan amarahnya saat aku bahkan tidak melakukan kesalahan apapun. Dan terakhir, yang membuatku tega menontonnya sekarat. Dia membunuh ibu setelah menuduhnya selingkuh. Setelah semua yang ibu lakukan kepada ayah. Tak pernah meninggalkannya meski hanya penderitaan yang ibu terima dari ayah. Sebelumnya, ibu yang menghadapi semua sikap bejat ayah. Setelah ibu meninggal, aku menjadi targetnya. Namun, rasa sakit saat melihat perlakuan ayah pada ibu sama besarnya dengan rasa sakit yang aku terima langsung saat aku menjadi target ayah.

Bebas. Kini rasa takut dan kekhawatiran itu pergi bersamaan dengan perginya ayah. Kini aku benar-benar sendirian. Tinggal sendiri dengan bermodalkan bantuan dari saudara-saudara ibu, dan kebaikan orang-orang di sekitarku. Dulu mereka memang segan pada ayah. Tak bisa membantu aku dan ibu atas situasi kami. Ayah yang bersikap baik di depan, dan main tangan di belakang. Namun orang-orang juga tahu apa yang sebenarnya terjadi. Hanya saja tak ada bukti untuk melaporkan pada pihak yang berwajib kecuali korban yang bersuara. Aku hanya diam. Karena aku tahu ada ancaman lain menunggu jika aku bersuara. Segalanya terlalu rumit untuk aku pahami. Akan lebih mudah untukku menerimanya dan menjalani aktivitas seperti biasa dan berpura-pura semua baik-baik saja. Tapi sekarang tidak lagi. Masa itu sudah berlalu. Waktunya melanjutkan hidup yang masih panjang.

~

Malam itu, tak lama setelah kedua maling itu kabur, polisi datang. Lekas setelah suara sirine berbunyi aku keluar mencari pertolongan pada tetangga yang aku mintai bantuan lewat sms sebelumnya. Mereka juga yang segera menelepon polisi, sehingga polisi berhasil membekuk kedua maling itu. Sedangkan ayah sudah kehilangan kesadaran ketika ambulans datang. Nyawanya tak tertolong. Ia kehilangan banyak darah. Jika penanganan dilakukan lebih awal mungkin ia masih bisa selamat, itu kata dokter.  

 Diketahui, mereka mengambil sejumlah uang dan laptop yang ada di ruang baca. Lalu mengutip jam tangan di meja ruang keluarga. Tak sempat mendapat barang lain lagi, ayah keburu keluar. Mereka mengaku kaget sehingga dengan panik menusuk ayah, lalu buru-buru kabur. Untungnya semua barang sudah dikembalikan.

  

~

Jam 21.00. Setelah mengerjakan PR, aku beranjak ke dapur. Mengambil snack yang aku beli tadi siang dan sebotol air mineral di kulkas. Setelah lelah menjalani aktivitas seharian, sekolah, kerja part time, mengerjakan tugas rumah, mengerjakan PR, kujatuhkan badanku di atas sofa. Berusaha mendapat posisi terbaik dan kunyalakan TV. Meninggikan suaranya sampai telingaku benar-benar mendengarnya.

Ikuti tulisan menarik Irma Desi Rahmawati lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB