x

Iklan

Fatimah Nur Azizah

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 November 2021

Minggu, 28 November 2021 16:42 WIB

Tongkol yang Memaksa Masuk

Dibuang sayang

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Tongkol yang Memaksa Masuk

 

     Penerang bumi sudah di ufuk barat, bersiap untuk menghilang bak ditelan bumi. Sesekali hembusan angin menerpa wajahku, menggoyangkan pakaian yang sedang kuangkat dari jemuran. Tiba-tiba segelintir angin kembali menerpa sambil membawa aroma harum seperti sambal balado yang menusuk hidung. “Siapa yang sedang masak di penghujung hari?” tanyaku pada diri sendiri. “Jelas Bu Ipeh,” timpal anakku, Nahl yang sedang sibuk dengan kucingnya. Setumpuk pakaian kuberikan pada Nahl untuk ia setrika. Segera aku pergi ke warung untuk membeli garam sebelum warung tutup.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

     Seperti ada yang memanggilku ketika hendak menuju rumah. Terlihat Bu Ipeh, tetangga baru yang sedang berdiri di depan rumahnya sambil melambaikan tangannya kepadaku. Aku mendekat memenuhi panggilan Bu Ipeh. Di kursi kayu yang diukir indah aku duduk, membiarkan Bu Ipeh masuk ke dalam lalu kembali lagi dengan menyodorkan bungkusan plastik hitam kepadaku, entah apa isinya. “Coba ini rempeyek kacangnya, enak, gurih,” kata Bu Ipeh. “Oh ya, terima kasih, ini untuk anakku saja aku bawa pulang,” jawabku pada wanita itu yang jauh lebih tua dariku.

     Sesampainya di rumah, tidak aku berikan rempeyek tadi pada Nahl. Aku tidak mempercayai Bu Ipeh yang mengatakan bahwa ia memberikan rempeyek yang enak dan gurih. Ternyata firasatku benar, rempeyek itu sudah keras dan agak berbau apek. Tetangga yang baru tinggal sebulan itu memang sering berbagi makanannya dengan orang lain termasuk aku. Tetapi, apa yang ia berikan malah justru menyinggung perasaan. Bagaimana tidak, makanan yang ia berikan adalah makanan yang sudah lama. Namun, aku tidak bisa berbuat banyak, kini aku diam dan berusaha menghindar dari Bu Ipeh, maksudku menghindar dari makanan pemberian Bu Ipeh.

     Suara jangkrik dan orong-orong saling bersahutan. Aku tengah menikmati cahaya rembulan yang hanya ditemani secangkir teh hangat sambil menunggu Ayah Nahl pulang bekerja. Tak terasa sudah beberapa hari ini Bu Ipeh tidak memberiku makanan. Aku tidak perlu susah-susah membuangnya dan memikirkan jawaban jika Bu Ipeh menanyakan bagaimana rasa makanannya.

     Langkah kaki terdengar mengarah ke rumahku. Dari balik pintu datang seorang wanita dengan sebagian rambut putihnya. Dialah Bu Ipeh yang membawa piring di tangannya. Melihatku sedang makan siang, Bu Ipeh segera menaruh piring berisi tongkol balado yang dibawanya ke meja. “Pas banget lagi makan siang, ini aku bawa tongkol balado,” Bu Ipeh menawariku. Kali ini aku tidak bisa mengelak permintaan Bu Ipeh. Aku tidak bisa berpikir bagaimana caraku menolak untuk mencicipi pemberiannya itu. Terlebih aku memang sedang makan siang.

     Tongkol itu seakan melambai-lambai kepadaku, memaksa untuk masuk ke dalam mulutku. Akhirnya dengan terpaksa aku mengambil sepotong tongkol tersebut. Kucicipi secuil dan rasanya aneh. Sungguh tak sanggup untuk tertelan, ingin kumuntahkan nasi yang sedang kukunyah itu. Tongkol balado itu sudah tidak enak dan terasa tengik, mungkin sudah lama, dan aromanya sudah tak seenak yang aku cium beberapa hari yang lalu. Sontak aku baru ingat dan tersadar. Astaga, ini kan balado yang ia masak seminggu yang lalu! Hatiku bergumam heran. Aku mencoba membuang pikiran jelek itu, namun lidahku tak dapat berbohong. Hingga dugaanku semakin kuat jika tongkol ini sudah dimasak seminggu yang lalu. Selera makanku kian menghilang dan ingin segera kuakhiri, namun Bu Ipeh belum beranjak pergi. Ia menatapku seperti tahu apa yang kurasakan. Oleh karena itu, aku berusaha untuk tetap baik-baik saja, mengambil suapan demi suapan. Setelah Bu Ipeh pulang, tiga gelas air ludes kuteguk. Bukannya berlebihan, aku hanya tidak nyaman dengan rasa tengik yang masih tersisa di mulutku.

     Hujan deras mengiringi langkahku di pasir pantai yang putih. Seluruh tubuhku basah karena hujan yang mengguyur. Kaki ini terus berjalan tanpa tujuan. Hanya satu yang ada di pikiran, yaitu mencari ramuan. Aku ingin mencari ramuan untuk perutku yang mual karena tongkol Bu Ipeh. Tiba-tiba seseorang menarik tanganku, membawaku ke pemukiman kecil. Saat aku mulai memasuki pemukiman, para penduduk berbondong-bondong menghampiriku, lalu memasukkanku ke dalam sebuah bilik kecil yang terbuat dari empat helai papan. Ada pakaian di dalamnya, aku segera mengganti pakaianku yang basah. Aku keluar dari bilik dan para penduduk tersenyum lebar. Mereka memasangkan mahkota dari daun nangka di kepalaku dan membawaku berkumpul dengan yang lainnya.

     Mereka menghidangkan tongkol balado yang tengah dikerumuni lalat hijau. Sungguh menjijikkan! Aku pun menolak memakannya, namun mereka memaksaku untuk makan. Aku beranjak pergi, namun mereka menarik tanganku dan memaksa agar tongkol itu masuk ke dalam mulutku. Mereka terus memaksaku sampai aku tak bisa berkutik lagi. Aku hanya bisa menangis dan teriak. Terus aku berteriak dengan keras. Saat aku membuka mulut karena teriakanku, mereka menyumpal mulutku dengan tongkol itu beserta lalat hijaunya. Tanpa kukunyah tongkol itu langsung tertelan masuk ke dalam perut. Seketika penglihatanku menjadi kabur. Langit berputar dengan cepatnya. Aku terkapar lemas dan tidak bisa bicara. Keringat dingin terus bercucuran dan suara azan subuh terdengar di telingaku. Rupanya aku baru saja mengalami mimpi yang buruk! Segelas air putih kuteguk sampai habis. Melupakan mimpi aneh itu dan mulai beraktivitas seperti biasa.

     Hari mulai siang, Nahl belum pulang sekolah dan ayahnya masih bekerja. Aku sibuk memetik buah jambu di depan rumah untuk dibuat jus. Mbok Minah yang sedang berjalan kupanggil untuk diberi jambu. Mbok Minah tidak langsung pulang, kami pun masuk ke dalam rumah dan berbincang-bincang tentang banyak hal. Mbok Minah melihat rempeyek di meja yang dibiarkan terbuka. “Mbak ini rempeyeknya dibuka nanti melempem,” ujar Mbok Minah. “Memang sudah melempem, itu dari adikmu,” jawabku. Mbok Minah sontak terkejut dan mencicipi rempeyek itu. “Benar agak tengik, jangan dimakan ini,” kata Mbok Minah setelah mencicipi. Aku membeberkan perilaku Bu Ipeh. Tentang apa saja makanan yang ia berikan kepadaku dan orang lain, serta bagaimana rasanya. Kini aku lega bisa menceritakan perilaku Bu Ipeh yang selama ini membuatku jengkel, namun aku sedikit merasa tidak enak karena terlalu terbuka membicarakan kejelekan orang. Mbok Minah tidak marah kepadaku, ia justru senang karena dengan begitu ia tahu sifat adiknya itu yang sudah lama merantau di Jakarta.

     Keesokan harinya, Mbok Minah pergi ke rumah Bu Ipeh. Tanpa tangan kosong Mbok Minah membawa dua biji mendoan semalam untuk adiknya itu. “Mendoan ini sudah kaku, kenapa tidak untuk ayam saja?” ujar Bu Ipeh dengan jujur. “Mubazir, mending dikasih orang,” jawab Mbok Minah seperti menyindir. “Dikasih aku pun tidak mau makan, di sini juga banyak makanan,” kekeh Bu Ipeh dengan sombong. “Dikasih makanan yang masih bisa dimakan saja kamu sudah menolak, apalagi kalau makanan yang memang sudah tidak enak,” ucap Mbok Minah dengan nada sinis. Bu Ipeh hanya terdiam dan sepertinya ia sudah tahu arah pembicaraan kakaknya itu.

     Setelah perdebatan kecil antara adik-kakak itu, akhirnya Bu Ipeh mengakui bahwa dirinya memang suka memberi makanan yang sudah lama kepada tetangga-tetangganya. Makanan itu ia simpan di kulkas, jika sudah beberapa hari dan tidak ada yang memakannya baru ia berikan kepada orang lain. “Artinya kamu memberi sesuatu yang diri sendiri juga enggan untuk menerimanya,” sahut Mbok Minah. “Makanannya memang bukan baru dibuat, tapi kan disimpan dalam kulkas, mereka juga mau menerimanya,” Bu Ipeh membela diri, lalu mengambil mi goreng dua hari yang lalu di kulkas. Ketika dicicipi rasanya masih rasa mi goreng pada umumnya. Hanya saja teksturnya yang berubah dan ketika dikecap-kecap rasanya sedikit bercampur dengan aroma lainnya. Aroma sayur-sayuran ikut berbaur pada mi goreng, sehingga mengubah rasa aslinya.

     Kini Bu Ipeh baru mengetahui jika makanan yang sudah lama mendiami kulkasnya kurang enak untuk dimakan. Bahkan lebih tidak enak dari mendoan Mbok Minah. “Bagaimana, masih mau memberi makanan itu pada orang? Kalau niatnya mau berbagi boleh-boleh saja, tetapi harus tahu apakah pantas untuk diberikan kepada orang lain,” kata Mbok Minah. “Berbagilah dengan sesama yang sekiranya diri sendiri juga mau menerimanya, jangan sampai malah membuat mereka tersinggung dan dipandang buruk,” Mbok Minah melanjutkan.

     Terdiam, merenungi apa yang telah diperbuat. Mungkin hanya itu yang dapat dilakukan Bu Ipeh selepas kakaknya pulang. Ia tidak bisa memutar waktu untuk memperbaiki semuanya, atau menghilangkan ingatan orang-orang yang telah ia buat kecewa. Bu Ipeh khawatir akan pandangan orang-orang terhadap dirinya. Ia menerka-nerka bahwa dirinya sudah menjadi buah bibir di kampungnya.

     Aku merasa perubahan sikap Bu Ipeh setelah perbincangannya dengan kakaknya. Belakangan ini Bu Ipeh jarang keluar rumah dan tak banyak bicara di perkumpulan. Ia juga sering menunduk bila bertemu denganku, membuang muka seolah tak ingin menatapku. Sesekali aku juga mencoba untuk memulai obrolan dengannya, tapi hanya jawaban singkat yang keluar dari mulutnya. Sebenarnya aku tidak senang dengan perubahan sikap Bu Ipeh yang membuatnya kurang berbaur dengan sesama, namun aku juga tidak bisa mengatur urusan beliau.

 

Ikuti tulisan menarik Fatimah Nur Azizah lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler