x

Iklan

M Ilhamsyah

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 28 November 2021

Minggu, 28 November 2021 16:53 WIB

Karimah


Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Sekolah ini di kelilingi sungai. Pada musim kemarau, air jernih yang mengalir di sela-sela bebatuan menciptakan simfoni alami yang melenakan. Siswa-siswa biasanya tertidur di tengah-tengah pelajaran. Pada musim penghujan, banjir kiriman dari hulu menyerbu sungai kami. Airnya cokelat. Derunya kencang. Walau suaranya mengerikan, siswa-siswa juga tertidur di tengah-tengah pelajaran karena kedinginan.

            Seluruh siswa, guru-guru, staf tata usaha, penjaga sekolah, ibu kantin, kurir pengantar paket, tukang galon, orang tua siswa yang dipanggil guru BK karena anaknya tidak memakai jilbab ke sekolah padahal tidak ada peraturan tentang ketentuan berseragam muslimah, orang tua siswa yang dipanggil guru BK karena anaknya bercanda pakai nama ayah, orang tua siswa yang dipanggil guru BK karena anaknya memprotes jawaban guru yang salah, mahasiswa-mahasiswa semester akhir dan fresh graduate yang datang untuk melamar pekerjaan tetapi kalah telak oleh sanak famili kepala sekolah meskipun IPK-nya jauh lebih rendah, semuanya mencintai sungai yang mengelilingi sekolah. Kecuali, satu orang. Namanya Karimah.

            Sudah seminggu terakhir ini, siswa-siswa tidak lagi tertidur di tengah pelajaran. Tak peduli sungai sedang mendendangkan musik syahdu atau arusnya tengah menderu. Semua perhatian tertuju pada kasus Karimah. Siswi kelas tujuh. Ia pingsan saat aku sedang mengawasi anak-anak praktik tolak peluru. Kami menggotongnya ke UKS. Lima belas menit selanjutnya, petugas UKS keluar dengan muka pucat dan tangan sedingin es. Ia berbisik, “Ada yang tidak beres.”

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

            Petugas UKS berderap secepat kijang menuju ruang kepala sekolah. Ia menjelaskan apa yang terjadi dengan napas terengah-engah. Kepala sekolah naik pitam. Mukanya merah padam. “Minta Pak Nanang mengantarnya pulang. Minta Bu Nespa membuat surat panggilan. Umumkan di TOA kita rapat sekarang!” perintah Kepala Sekolah dengan geram.

Guru-guru pun rapat. Tepat pukul sepuluh lewat seperempat. Para PNS yang merupakan guru-guru senior sibuk adu argumen terkadang bertengkar. Dalam hati, aku sibuk berkomentar.

“Ya berhentikan saja! Untuk apa lagi dimusyawarahkan. Sudah tertera di peraturan sekolah kan bahwa siswi hamil termasuk pelanggaran berat,” kata Bu Jenni, guru PPKN, tanpa simpati.

“Anda juga harus berhenti jadi warga negara Indonesia. Tidak taat Pancasila.”

“Anak itu memang bermasalah. Pantas saja masuk BK beberapa waktu lalu karena tidak patuh untuk memakai jilbab. Ternyata begitu kelakuannya,” kata Bu Jannah, guru PAI, tanpa hati.

“Dia kan sudah bilang bahwa seragamnya lengan pendek dan tidak mampu membeli seragam baru. Mau dilapis jaket juga dilarang karena sekolah tidak mengizinkan siswa memakai jaket baik di luar maupun di dalam kelas. Jadi siapa yang bermasalah? Karimah atau peraturan sekolah?”

“Kita harus tanya dulu kepada yang bersangkutan kenapa bisa terjadi kehamilan. Siapa tahu dia korban kekerasan. Tidak bisa asal menyimpulkan,” Bu Belinda berucap tenang tapi sengit untuk menangkis  argumen Bu Jannah. Ia satu-satunya guru honorer yang selalu berani bersuara saat rapat. Aku dan guru-guru honorer lainnya seringkali memilih tidak bicara. Suara kami tak pernah berarti di telinga guru-guru lainnya.

“Kamu guru IPA tapi bodohnya keterlaluan! Dia hamil ya karena berzina. Apalagi?!! Memang kamu pikir sperma bisa masuk dengan sendirinya tanpa ada yang mengangkangkan paha?!” Serapah Pak Jusuf memenuhi ruangan rapat. Ia guru paling tak senonoh sedunia. Aku selalu membencinya. Namun, Bu Belinda sudah terbiasa. Ia hanya menggelengkan kepala.

“Saya setuju! Dia harus dikeluarkan. Dia sudah mencoreng nama baik sekolah!” Pak Jabir ikut berpendapat.

“Kenapa nama baik sekolah selalu lebih penting daripada esensi dari pendidikan itu sendiri? Apakah sekolah negeri sudah berubah menjadi perusahaan komersial yang harus berlomba-lomba mendapat siswa sebanyak-banyaknya setiap tahun ajaran baru tiba?”

Meskipun belum diputuskan, tetapi kebanyakan peserta rapat hari itu berpihak pada premis bahwa Karimah harus dikeluarkan dari sekolah. Tidak ada yang memihak Karimah selain aku, Bu Belinda, dan teman-teman honorer lain yang berkomunikasi secara sembunyi-sembunyi melalui grup whatsapp. Kami kecewa karena senior-senior kami lebih mementingkan nama sekolah ketimbang mental Karimah yang harus mengandung di usia yang belum genap tiga belas.

Aku memandang sungai. Di tepiannya, kulihat seekor gagak hitam tengah mengunyah bakung putih sambil membuang tinja.

***

            Kabar kehamilan Karimah segera saja menjadi topik panas di sekolah. Guru-guru terus-terusan membicarakannya sambil mengoreksi nilai siswa-siswa. Siswa-siswa terus-terusan membicarakannya sembari menyantap mi goreng di kantin tepi sungai. Sungai terus-terusan disinggahi burung-burung gagak yang mengunyah bakung-bakung putih sembari berak di atasnya.

Orang tua Karimah baru saja datang ke sekolah. Ibu tirinya menangis keras. Bapaknya mencambuki anaknya di ruang BK. Guru-guru PNS memanas-manasi sang bapak agar mencambuk lebih keras. Karimah bisa saja mati di tempat jika tak ada Bu Belinda yang pasang badan.

“Anak setan!” kutuk Sang Bapak.

 “Ini ayahmu, Karimah. Bukan jamban. Tega sekali kamu berak di mukanya,” decak Pak Jusuf, mengipasi bara.

“Malu saya. Malu! Bapak capek-capek jadi kuli panggul di pasar supaya kamu bisa sekolah. Tapi kamu balas pengorbanan Bapak dengan jadi pelacur seperti ini!”

“Ampuni, Imah, Pak!” Karimah meratap-ratap di pelukan Bu Belinda. Ia ingin meraih tangan bapaknya namun lelaki itu menepisnya.

“Ibumu baru saja meninggal, Mah. Kamu bukannya memperingan dia di akhirat, tetapi malah membuatnya susah masuk surga.” Bu Jenni bersuara.

“Lah, dosa tanggung masing-masing, Bu!”

“Bapak, Ibu, saya memohon ampun yang sebesar-besarnya atas kejadian ini. Saya tahu perbuatan Karimah tak bisa diampuni. Ia telah mencoreng nama baik sekolah ini. Tapi, saya menyerah. Saya tidak sanggup lagi memelihara anak yang tak tahu terima kasih ini. Bapak Ibu mau apakan Karimah, saya tidak akan ikut campur. Dan Karimah, kamu tidak usah pulang ke rumah. Saya tidak pernah punya anak pelacur!”

Sang Bapak dan Ibu tiri Karimah sudah akan angkat kaki dari ruang BK ketika Karimah berucap dengan tersedu, “Bapak, saya diperkosa, Pak. Imah diperkosa.”

            Sang Bapak dan Ibu tiri Karimah tertahan sebentar di pintu ruang BK. Ibu tiri Karimah memegang lengan suaminya, meminta Sang Bapak untuk tidak beranjak dari sana.

            “Kita pergi,” titah Sang Bapak tegas. Hati batunya makin mengeras.

***

            Setelah pengakuannya beberapa saat lalu, Karimah diintegorasi. Setengah jam berikutnya, guru-guru rapat lagi. Kali ini lewat tengah hari.

            “Masa kita harus lebih percaya omongan anak itu?! Dia tidak punya bukti. Harusnya dia dirajam sampai mati karena berani-beraninya memfitnah orang berbuat zina padanya!” Pak Januari memekik emosi. Di ruang BK tadi, ia juga menampar Karimah di pipi. Keras sekali. Ia selalu melakukan itu pada siswa bermasalah dengan dalih untuk mengeluarkan iblis yang ada di dalam diri anak tersebut. Bu Belinda ingin menampar balik Pak Januari tetapi tangannya ditangkap Bu Jenni.

Menurut pengakuan Karimah, ia diperkosa Jerman, adik kandung Pak Januari yang merupakan pembina ekskul dan guru honorer Prakarya. Tepat di tepi sungai, pada malam inisiasi anggota pramuka.

            “Saya setuju. Kita tidak bisa begitu saja menelan mentah-mentah pengakuan Karimah,” timpal Pak Jusuf.

            “Sudah saya bilang, kan, Bapak-Bapak, Ibu-Ibu. Sudah seharusnya kita melakukan perombakan aturan seragam. Namanya saja laki-laki, siapa sih yang tidak tergoda dengan perempuan, apalagi kalau pakaiannya minim.” Bu Jannah benar-benar membuat amarahku naik. Bagaimana bisa ia bersikap victim blaming begitu padahal sama-sama perempuan.

            “Bu, Karimah bilang ia memakai seragam pramuka. Tidak ada minim-minimnya sama sekali.” Bu Belinda juga sama marahnya denganku mendengar pendapat asal Bu Jannah. Bedanya, ia cukup berani untuk mengutarakan kekesalannya.

            “Tangan, rambut, leher, memang itu tidak menggoda laki-laki ya, Bu? Agama kita sudah sangat sempurna lho mengatur perempuan agar menutup seluruh tubuhnya kecuali muka dan telapak tangan. Tujuannya buat apa? Ya salah satunya supaya laki-laki tidak terpancing untuk berbuat yang tidak-tidak.”

            “Lho? Kalau laki-laki yang tidak bisa menjaga nafsu dan kemaluannya, kenapa perempuan yang disalahkan?!” teriak Bu Belinda hilang kesabaran.

            “Otak Bu Belinda memang sudah tercuci pemikiran orang barat,” tanggap Bu Jannah santai yang makin membuat Bu Belinda naik darah.

            “Oke, daripada kita debat kusir begini, lebih baik kita hadirkan Jerman di sini.” Bu Belinda menatap garang ke arah Pak Januari. “Lagipula, sudah dua bulan ini saya lihat ia tak nampak di sekolah. Jangan mentang-mentang adik Bapak ya sehingga ia bisa seenak hati mau mengajar mau tidak.”

            “Ya... dia harus menyelesaikan kuliahnya,” jawab Pak Januari tergagap.

            “Kuliahnya kan di kota ini juga, Pak.” Bu Belinda memicingkan mata curiga. “Bisa kan Pak Januari menghubungi Jerman untuk segera berhadir ke pertemuan ini?”

            “Bu Belinda,” Pak Kepala Sekolah tiba-tiba bersuara lalu berdiri dan berkacak pinggang. “Tentang Jerman, itu wewenang saya. Saya yang akan bertanya langsung pada Jerman tentang hal ini. Ingat, semuanya! Jangan sampai ada yang berani-berani membeberkan pengakuan Karimah ke luar dari sekolah ini. Semuanya belum terbukti! Tidak hanya siswa, guru yang mencemarkan nama baik sekolah juga akan mendapat sanksi yang berat. Ingat kata-kata saya!”

            Rapat ditutup.

***

            Semalaman, aku dan kawan-kawan honorer lainnya tak henti-henti membicarakan Karimah. Seperti yang diultimatum ayahnya siang tadi, Karimah tak lagi diizinkan untuk pulang ke rumah, dan ketika para guru rapat, Karimah yang kami tinggal di ruang BK, lenyap. Sepulang kerja, aku dan beberapa honorer lainnya mulai menyisir kota mencari anak itu. Menjelang malam, langit mengutus hujan yang amat lebat. Ruas-ruas jalan mulai tergenang. Pohon-pohon tumbang. Karena kami sadar bahwa tubuh kami tak didesain untuk menerjang badai, kami memutuskan untuk melanjutkan pencarian dengan mobil. Usaha itu jelas tak terlalu membuahkan hasil mengingat mobil hanya mampu menjangkau jalan-jalan yang cukup luas, tak bisa sampai ke sudut kota.

            Jam sebelas lewat lima, Karimah masih tak kami temukan di mana-mana. Akhirnya, kami kembali ke rumah, mandi, naik ke dipan, lantas berdoa semoga Karimah bisa mencari tempat berlindung dan baik-baik saja.

            Keesokan paginya, badai yang mengamuk tadi malam meninggalkan pekerjaan ekstra bagi tenaga tata kota juga warga. Daun, ranting, dan dahan pohon bergelimpangan. Bak-bak sampah terjungkal dan isinya berserakan. Ruas-ruas jalan yang tergenang belum surut. Namun, ada satu anomali yang menyita perhatian warga. Air sungai dekat sekolah mengalir bening dan tenang. Tak ada deru kecokelatan seperti yang biasa ditampakakan sungai tersebut selepas hujan.

            “Woi! Ada mayat!!!”

            Teriakan seseorang dari arah sungai, membuat warga yang tengah bersih-bersih, warga yang tengah mengamati keganjilan pada sungai, siswa-siswa yang kerja bakti, guru-guru yang mengawas siswa-siswa yang kerja bakti, kontributor akun berita lokal di media sosial yang tengah memotret kegiatan warga dan siswa melalui kamera ponselnya, dan seluruh manusia yang entah kenapa pagi itu menyemut di sekitar sungai, berhamburan ke asal suara.

            “Masya Allah!”

            “Ya Allah!”

            “Inna lillah!”

            “Tuhan Yesus!”

            “Demi Dewa!”

            “Anjing!!!”

            “Fuck you!”

            “Motherfucker!”

            Semua pekikan tak habis pikir dan sumpah serapah belingsatan meluncur dari mulut orang-orang yang menyaksikan kejadian pagi itu. Aku dan beberapa guru menyibak kerumunan tersebut. Siswa-siswa yang lebih dulu tiba di sana mulai berjatuhan. Ada yang pingsan. Ada yang muntah-muntah.

            “Karimah membunuh bayinya!” teriak salah satu siswa yang sontak saja memancing sorot penasaran warga. Kontributor akun berita lokal langsung mewawancarainya di tempat.

            “Namanya Karimah. Kelas 7. Dia hamil, Kak. Dia sahabat akrab saya. Orangnya alim tapi saya tidak mengerti kenapa dia bisa hamil dan menggugurkan bayinya,” ucap sang siswa sambil memasang mimik prihatin yang palsu.

            “Guru-guru tahu kalau dia hamil?”

            “Sepertinya tahu.”

            Setelah itu, giliran kami yang diserbu kontributor tersebut. Dan cepatnya informasi yang tersebar melalui status whatsapp dan instagram story membuat kerumunan warga kian bertambah-tambah. Polisi-polisi dan tenaga medis mulai berdatangan. Kepala Sekolah kami diwawancarai sepuluh jam di dalam kantor. Kepala Dinas Pendidikan datang dengan tergesa setengah jam berikutnya. Wajahnya merah karena berang. Aku ingin sekali berkata jujur padanya bahwa guru-guru tua di sini sungguh tidak berperikemanusiaan. Tapi sayangnya aku tak punya keberanian. Sebelum aku pulang, berita terakhir yang kudengar, Kepala Sekolah akhirnya digelandang ke kepolisian.

            Sebulan penuh, berita Karimah yang menghanyutkan bayi prematurnya di sungai menjadi headline di berbagai berita. Para warganet terbagi menjadi dua kubu: mereka yang merasa miris dengan nasib Karimah yang tidak mendapat perlindungan dari sekolah sebagai korban kekerasan seksual dan mereka yang mengutuk perbuatan Karimah karena tega membunuh anaknya sendiri.

            Sebulan penuh pula, sekolah kami tak henti dihampiri wartawan. Meminta keterangan mengapa kasus Karimah tidak ditangani dengan profesional sampai-sampai anak tersebut harus mengalami depresi parah. Guru-guru senior lebih sering bersembunyi di dalam kantor. Tampaknya malu karena sedikit banyak, apa yang menimpa Karimah juga akibat dari perbuatan mereka. Akhirnya, Bu Belinda yang maju untuk melayani pertanyaan para wartawan.

            “Katanya, Anda diundang ke Mata Najwa ya minggu depan?” tanya salah satu wartawan.

            “Iya, benar sekali,” jawab Bu Belinda.

            “Kalau bisa diberi bocoran, apa yang akan Anda sampaikan di sana?” tanya wartawan lain.

            Bu Belinda berkata lugas. “Pemerkosa Karimah ada di sekolah ini dan tampaknya, ia dilindungi.”

            Terdengar kasak-kusuk para pencari berita setelah mendengar penuturan Bu Belinda.

            “Yuk, warga. Segera jemput anak-anak kalian. Pindahkan mumpung ada kesempatan. Di sini, mereka dilatih untuk menjadi pecundang, bukan calon pemimpin dan ilmuwan.”

            Bu Belinda tersenyum menang.

           

           

           

           

Ikuti tulisan menarik M Ilhamsyah lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler