x

Iklan

sangpemikir

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 6 Oktober 2021

Senin, 29 November 2021 05:57 WIB

Pegiat Sosial: Perjuangan Suci Mencegah Pernikahan Dini

Namanya Suci Apriani. Pada usianya yang 22 tahun, mahasiswi tingkat akhir Program Studi Kimia Fakultas MIPA (Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam), Universitas Mataram, Lombok itu, mau mengambil peran sosial yang tidak mudah di kampung kelahirannya di Desa Kediri, Lombok Barat. Meski berstatus desa, Kediri ialah kota kecamatan yang berpenduduk lebih dari 10 ribu jiwa, yang tersebar di 8 dusun. Lokasinya tak jauh dari Kota Mataram.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Suci cukup dikenal di sebagian  kalangan warga Kediri. Namanya sering muncul di berbagai media online dan medsos, termasuk sebagai salah satu dari  peraih penghargaan 12 Women of The Year 2021 versi Majalah Wanita Her World Indonesia, awal November lalu. Penghargaan ini disematkan atas kiprah Suci Apriani  sebagai aktivis perempuan yang tegas melawan tradisi pernikahan dini di lingkungan masyarakatnya.

‘’Sudah menjadi cerita klasik, perkawinan dini itu sering ditimpa  banyak masalah,’’ kata Suci dalam sebuah diskusi santai  bersama sejumlah  remaja putri di  Sekretariat KPAD (Kelompok Perlindungan Anak Daerah) Desa Kediri  pertengahan 2021. Sebagai Ketua KPAD Desa kediri, Suci Apriani  sering mengundang kelompok remaja puteri dan ibu-ibu untuk mendiskusikan isu perkawinan dini.

Perkawinan dini setelah sekian tahun berjalan sering berujung pada krisis rumah tangga. Persiapan yang seadanya, membuat biduk rumah tangga pasanga muda  mudah oleng oleh masalah ekonomi dan sosial. Buntutnya terjadi kekerasan dalam rumah tangga. Tak jarang krisis itu berujung ke kasus perceraian. Si ibu muda acap kali harus menerima kenyataan harus menjanda dan dibebani  sekian anak, dan harus menjalani kehidupan tanpa topangan ekonomi yang memadai.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Sejak usia 17 tahun, Suci sudah sering  terjun sebagai relawan yang mencegah praktik perkawinan dini. Sesuai ketentuan pada Undang-Undang (UU) Nomor  16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, usia minimal pernikahan saat ini  ialah 19 tahun, baik untuk perempuan maupun laki-laki.

Dalam praktiknya, ketentuan itu harus menenggang terhadap pengecualian-pengecualian seperti kasus  kehamilan di luar nikah atau tuntutan adat dan agama (menghindari perzinahan). Situasi ini yang kemudianmenjaga keberlanjutan tradisi  pernikahan dini di sebagian masyarakat.  Suci sudah menjadi pegiat sosial yang menentang pernikahan dini itu sebelum UU Nomor 15/2019 itu lahir.

Pada sebagian masyarakat Indonesia perkawinan pada usia muda itu masih jamak terjadi. Catatan tahun 2018 menunjukkan, bahwa 1 dari 9 anak Indonesia menikah pada yang masih usia di bawah 18 tahun. Secara aktual, pada tahun 2018 ada 1,2 juta perempuan berusia di bawah 18 tahun yang statusnya menikah. Selama 10 tahun, antara 2008 – 2018, prevalensi pernikahan usia bocah hanya turun 3,5 persen. Jangan heran  bila Indonesia masuk dalam 10 negar a di dunia dengan prevalensi pernikahan anak tertinggi di dunia.

Situasi pandemi Covid-19, yang diwarnai dengan pembelajaran secara online di sekolah-sekolah di Indonesia, ikut menyuburkan pernikahan dini. Pengajuan dispensasi usia  pernikahan di Indonesia. Walhasil, pernikahan usia dini naik dari 23.700 pada tahun 2019 menjadi 34.000 kasus pada 2020.

Biasa menyaksikan kasus pernikahan dini yang kandas di tengah jalan, dan menimbulkan persoalan yang lebih berat di sisi kaum perempuan, Suci Apriani menganggap, kondisi itu tidak adil. Lebih baik, katanya, perkawinan  dilakukan jika kedua pihak sudah cukup umur, dewasa, mandiri, dan  sanggup menghadapi situasi terburuk. ‘’Kasus kekerasan  dalam rumah tangga sering terjadi pada pasangan yang menikah di usia dini,’’ katanya.

Khusus di kalangan masyarakat Lombok, tutur  Suci, pernikahan dini itu sering berlindung di balik tradisi merarik, yakni  tradisi tradisi anak laki-laki melarikan anak kekasihnya, sebagai jalan pintas menuju pernikahan. Dengan cara merarik,  pihak laki-laki terbebas dari prosesi lamaran, yang tak menjamin bisa mendapat persetujuan dari keluarga perempuan.

Ketika sang dara dilarikan kekasihnya, keluarganya mencari. Namun, pelarian itu didukung pihak lelaki, sehingga pasangan itu bisa menyingkir ke tempat yang aman. Setelah tiga hari berlalu, dari pihak lelaki menemui tetua adat di lingkungan keluarga perempuan dan menyatakan bahwa sang dara dalam proses merarik.

Sesepuh adat itu kemudian akan menyampaikan kabar itu ke pihak perempuan. Dalam situasi ini, pihak keluarga perempuan suka atau tidak suka biasanya menerima niat perkawinan itu, lantaran menganggap sang dara sudah tercabut kesuciannya. Ujungnya, sang dara dikembalikan ke rumah dengan diantara arak-arakan kecil dan tetabuhan. Perkawinan resmi pun tingggal menunggu hari.

Sialnya, banyak pelaku merarik itu adalah remaja kencur. Suatu kali, sebagai pegiat di KPAD Kediri, Suci menerima laporan, ada remaja pria 17 tahun merarik  gadis 15 tahun. Suci cepat bergerak. Ia berinisiatif melakukan mediasi untuk membatalkan niat pernikahan dini itu. Suci mengajak Kepala Dusun setempat ikut terjun dalam memediasi antara pihak laki-laki dan perempuan.

Sabagai aktivis KPAD, Suci dengan lantang menyampaikan pandangannya tentang resiko yang bisa muncul dari perkawinan dini itu. Walhasil, kedua belah pihak bisa menerima. ‘’Perkawinan itu usia dini itu batal,’’ ujarnya. Bukan hanya sekali ia melakukannya. Bersama, organisasi pemuda di desa Kediri, ia telah melakukannya sejak usianya 17 tahun. Untuk mendapatkan legalitas bergerak, Suci dan teman-temannya pun membentuk KPAD.

Toh, upaya mediasi tak selalu berhasil. Di laman rudgers.id (edisi 4 November 2020), ia menuliskan kisahnya, bahwa ia bersama  Kepala Dusun dari Kediri dan seorang tokoh agama, mendatangi desa lain. Mereka berniat membawa sang gadis,yang sedang dalam proses merarik pulang ke rumahnya. Awalnya, mereka bisa membujuk sang tuan rumah mengembalikan si dara.

Namun, sesepuh adat setempat yang hadir dalam mediasi ngotot agar merarik berlanjut ke jenjang perkawinan, meski kedua sejoli di bawah umur. ‘’Mereka membawa golok dan mendesak pihak pria melanjutkan proses merariknya. Keluarga pria terpengaruh,’’ tulis Suci. Mediasi beranjak panas dan mentok. Suci dan rombongan pulang dengan tangan hampa.

Kalau pun mediasi berhasil, resiko tetap ada. ‘’Mereka yang merasa dirugikan sering kesal, dan saya tidak ditegor lagi meski kami saling mengenal,’’ ujarnya.

Suci Apriani tak mau hanya menunggu kasus datang dan  baru melakukan mediasi. KPAD Kediri telah berkolaborasi dengan  pemuda Karang Taruna dan Ibu-Ibu  PKK setempat untuk melakukan tindakan pencegahan. Di antara mereka sering melakukan kegiatan bersama, dalam bentuk pelatihan praktis posyandu (pos pelayanan terpadu) terkait kesehatan reproduksi, pencegahan penyakit menular dan ketrampilan yang terkait dengan kegiatan ekonomi rumah tangga.

Aktivitas KPAD Kediri ini rupanya bergaung sampai jauh. Kiprahnya menjadi rujukan KPAD lain, yang bahkan dari luar Lombok, juga dari daerah lain. Suci Apriani sempat mendapat Anugerah Perempuan Hebat 2021 pada momen hari Kartini, (21/4/2021) dari Liputan6.com, dalam kategori pegiat edukasi pencegahan perkawinan anak.

Sebagai anak muda yang terdidik, Suci dianggap telah berani melakukan langkah menuju perubahan. Ia  dinilai telah memberikan kontribusi nyata dari seorang perempuan untuk kaumnya. Suci sendiri mantab bergerak karena didukung penuh oleh keluarganya.

Ikuti tulisan menarik sangpemikir lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Establishment

Oleh: Taufan S. Chandranegara

Rabu, 10 April 2024 09:18 WIB

Terkini

Terpopuler

Establishment

Oleh: Taufan S. Chandranegara

Rabu, 10 April 2024 09:18 WIB