“Anak-anak, yuuuk kita belajar ke mushalla, pelataran kelas, taman, lapangan futsal bahkan ke kantin” seru sang guru. Dengan wajah ceria penuh semangat, siswa-siswi bergegas menuju ke tempat belajar yang diinstruksikan guru. Dalam kondisi dan materi tertentu, siswa sering kuajak untuk belajar keluar dari sekatan dinding kelas. Aksi sedehana ini ternyata menjadi magnet menggembirakan. Jika ini dimaknai “Merdeka Belajar” sebagaimana yang dikemukakan oleh Ade Erlangga dalam Diskusi Polemik tentang 'Merdeka Belajar’ bahwa: Concentnya Pak Nadiem ingin menciptakan suasana belajar di sekolah suasana yang happy. Maka tag-nya merdeka belajar" (Detiknews: 14/12/2019). Berarti jauh sebelum policy dan regulasi muncul, ternyata merdeka belajar sudah menjadi bagian yang menempel dari profesiku.
Mushalla, pelataran kelas, taman, lapangan futsal bahkan kantin adalah ruang terbuka yang memberi peluang kepada peserta didik untuk mengeksplorasi dan mengekspresikan diri secara bebas. Mereka menemukan suasana yang berbeda; diskusi, game, kompetisi, performance dan aktualisasi diri. Tentu, desain pembelajaran seperti ini diperlukan kesiapan optimal dari guru agar proses yang dinginkan dapat terarah dengan baik.
Tiba-tiba suasana pembelajaran berubah seratus delapan puluh derajat.
Badai pandemi tidak terbendung lagi, melanda sebagian dunia bahkan menyasar ke Indonesia. Sebagaimana dikemukakan Subandi Sardjoko selaku Deputi Bidang PMMK, Kementerian PPN/Bappenas bahwa tanggal 2 Maret 2020 memproyeksi Covid-19 pertama dikonfirmasi di Indonesia. Semua lini kehidupan menjadi galau terguncang, termasuk dunia pendidikan. Berbagai formulasi dan jurus jitu pun menjadi alternatif untuk keberlangsungan pembelajaran. Para penggiat pendidikan juga diramaikan dengan berbagai tawaran platform digital.
Ternyata Covid-19 menghipnotis mindset kita untuk tetap membangun optimisme terhadap derasnya kemajuan teknologi. Kini, mau tidak mau, dengan segala keterpaksaan dari keterbatasan harus beradaptasi dengan kenyataan. Semua bergerak memburu menu-menu teknologi digital sebagai media dan sarana terjalinnya interaksi belajar mengajar.
Seiring suasana yang kurang menguntungkan, terbit kebijakan pemerintah yang menetapkan pembelajaran di rumah (BDR) atau yang disebut juga belajar daring. Saya sebagai pendidik berupaya mencari kemasan-kemasan inovasi yang tidak sebatas mentransfer ilmu pengetahuan juga memberikan asupan-asupan motivasi, inspirasi dan spirit agar siswa dapat belajar happy dengan nuansa merdeka belajar. Akhirnya, berbagai aplikasi yang ada saya gunakan sebagai media dan sarana untuk terlaksananya proses belajar mengajar.
Setelah tiga bulan beradaptasi belajar mengajar dalam masa pandemi, saya menggali informasi sekaligus menjadi bahan introsfeksi diri, yakni melakukan survey walaupun kecil tapi berdampak besar. Survey menyasar pada 269 responden melalui google form dilakukan secara objektif tanpa mencantumkan identitas siswa.
Dari survey ( https://www.youtube.com/watch?v=6UxtaZybT44 ) tergali informasi, teriakan siswa : Bagaimana tanggapanmu tentang pembelajaran daring PAI selama ini: senang (57,25 %), biasa saja (32,34 %), kadang senang kadang bosan (9,67%) membosankan (0,74%)
- Selama ini apa yang membuatmu merasa senang dari pembelajaran daring PAI: konten materi pembelajaran yang disampaikan: (67,29%), strategi pembelajaran yang digunakan (25,27%), variasi tugas yang diberikan ke siswa (6,70%), durasi waktunya (0,74%)
- Menurutmu pembelajaran daring PAI selama ini lebih elegan menggunakan aplikasi: instagram atau sejenisnya (66,91%), zoom, gmeet atau sejenisnya (14,87%), youtube (12,65%), email, googleform (5,57%)
- Terkadang tugas diberikan dalam bentuk yang familiar dengan duniamu, seperti tanggapan langsung di instagram/ youtube: senang karena lebih simple dan praktis (95,54%), biasa saja karena memiliki keunggulan juga kelemahan (3,71%), kurang senang karena tidak relevan dengan materi ajar (0,75%), sangat merugikan siswa ( - )
- Apa yang menjadi kendalamu selama pembelajaran daring PAI: saya tidak mengalami kendala (50,92%), gangguan jaringan dan kehabisan kuota (33,10%), sering lupa dengan jadwal pembelajaran daring (15,98%), tugas yang diberikan sulit dan membingungkan ( - )
Berdasarkan survey yang saya lakukan setelah tiga bulan awal berlangsungnya pandemi. Sebagian besar siswa masih tetap memiliki komitmen untuk belajar walau dalam keterbatasan. Peran guru mendesain pembelajaran yang menyenangkan menjadi salah satu kunci terjadinya komunikasi yang baik menuju merdeka belajar. Pada hakikatnya, sekolah yang berhasil memproduk pendidikan berkualitas adalah siswanya mampu menganalisis, menalar serta memahami pembelajaran untuk mengembangkan dirinya.
Ikuti tulisan menarik Untung Surya lainnya di sini.