Yang pertama kali terngiang di dalam kepala ini ketika mendengar gaung Merdeka Belajar adalah membuncahnya rasa optimis bahwa pendidikan di Indonesia akan menuju fase idealnya. Mengapa saya begitu optimis? Bukan. Saya bukan penggiat pendidikan atau praktisi pendidikan. Kebetulan saja nama saya adalah 'Didik' yang merupakan kata dasar dari 'pendidikan'. Kebetulan lagi, saya memiliki jabatan sebagai bapak dari dua orang anak yang saat ini masih berusia dini. Wajar rasanya kalau saya optimis.
Kata merdeka bagi bangsa ini serupa japa mantra yang sangat sakti. Kata merdeka seperti memiliki sihirnya sendiri. Penjajahan yang konon (versi pelajaran di sekolah) berlangsung 350 tahun ini membuat kata merdeka menjadi kata yang begitu sakral, wingit, dan kata yang sangat bernilai bahkan sangat dramatis. Lihat saja bagaimana pekik kemerdekaan di podium-podium upacara tujuhbelasan. Dada saya masih merasakan getar yang cukup kuat ketika mengingat pekik kemerdekaan yang disuarakan pembina upacara semasa sekolah dulu. Bagaimana anak-anak berduyun-duyun berpawai ikut merayakan kemerdekaan. Kemerdekaan yang berujung pada freedom atau kebebasan.
Bebas menentukan apa saja sesuai dengan jati diri bangsa. Bebas mengelola aset-aset, sumber daya alam dan manusianya tanpa ada tekanan dan ancaman dari pihak asing. Bebas menentukan bagaimana pilihan sikap politik bangsa ini. Masih ingat kan dengan Politik luar negeri Bebas Aktif? Begitu bebasnya sehingga bangsa ini merasa sangat siap bersaing dan berkontribusi di kancah pergaulan global.
Maka saya sangat bungah ketika model pendidikan di Indonesia akan berjenis Merdeka Belajar. Sebagaimana yang kita tahu, bahwa di galaksi Bima Sakti ini sekolah adalah satu-satunya intitusi yang memiliki tanggung jawab paling berat (mungkin Maha Berat) untuk mewujudkan pendidikan yang ideal di negara ini. Sekolah menjadi tempat untuk mendidikan dengan berbagai jenjangnya. Semakin tinggi sekolahmu, turut membumbung pula kadar intelektualitasmu, turut terbang tinggi pula martabatmu di masyakarat. Karena orang berpendidikan disamakan dengan orang berilmu. Pendidikan tinggi, ilmu tinggi. Terlepas dari nilai moral, dan habitusmu yang sebenarnya.
Kata 'merdeka' kawin dengan kata 'belajar'. Maka saya sudah membayangkan betapa bahagianya anak-anak pergi ke sekolah. Pulangnya tak kalah riang. Karena mungkin saja pekerjaan rumahnya, bukan sekedar menyelesaikan soal-soal yang ada di lembar kerja siswa alias LKS.
"Baik anak-anak, untuk pe-er Pkn nya minggu depan, ibu Guru minta kalian untuk membantu memasak orang tua kalian di rumah ya. Dari menyiapkan sampai membereskan perabot kalian harus terlibat membantu. Menunya apa? Bebas. Menu yang biasa kalian konsumsi. Tetapi jangan lupa dicatat bagaimana proses memasaknya. Dicatat pula berapa uang yang harus dikeluarkan untuk menu tersebut. Syukur kalian buat juga video singkatnya. Boleh kalian bagikan di youtube kalau ada kuota internet. Kalau enggak, yang penting semua kalian catat serinci mungkin. Nah besok pagi, syukur lagi kalau kalian membawa menu tersebut untuk bekal di sekolah. Sesampai di sekolah kalian boleh bertukar bekal dengan teman kalian. Sebelum bertukar kalian bercerita dulu di depan teman-teman kalian tentang menu kalian. Apa nama menunya, apa saja bahan yang dibutuhkan, apa manfaatnya bahan-bahan tersebut untuk kesehatan tubuh kita. Begitu ya. Baik untuk hari ini ibu Guru cukupkan sekian. Jangan lupa pe-ernya yak..."
Begitu wujud bayangan yang ada di dalam kepala saya. Sebagai orang tua sepertinya saya akan cukup bahagia melihat kesibukan anak-anak kami di dapur. Sibuk memperhatikan, dan mungkin sesekali sibuk mencatat kegiatan apa saja sedang terjadi di sana.
Lantas apakah ini memberatkan bagi sekolah utamanya bagi guru? Menurut saya justru karena kebebasan yang diberikan guru tidak akan kewalahan. Guru cukup menggerakkan, membuat anak mau bergerak melakukan aktivitas. Bahkan bisa jadi setiap anak memiliki pe-er yang berbeda antara satu denagn yang lain. Misalnya karena orang tua tidak pernah memasak atau sedang jauh dari orang tua, pe-er itu bisa diganti dengan aktivitas apa saja yang memiliki kompetensi inti dan kompetensi dasar yang sama. Intinya apa? Membantu orang tua. Dipersempit lagi, cukup membantu orang yang lebih tua. Atau yang penting anak memilik kesadaran dan tergerak untuk membantu.
Anak-anak diberi kebebasan untuk menemukan batasnya masing-masing dengan kesadaran. Karena setiap pilihan dari apa yang kita lakukan memiliki akibatnya sendiri-sendiri.
"...merdeka, berdaulat, adil, dan makmur."
Merdeka setelahnya harus berdaulat. Bukan hanya bebas, tetapi berdaulat. Yang mirip artinya dengan bahagia. Dengan bahagia, diharapkan keadilan merupakan akibatnya, menuju kemakmuran tentu.
Seperti itu cara mengakali merdeka belajar ala bapak-bapak ini. Sekali lagi, salam kenal dari saya, bapaknya Kya dan Bana.
Ikuti tulisan menarik Didik W. Kurniawan lainnya di sini.