x

Siswa sedang melakukan pencatatan dari hasil kegiatan mengukur

Iklan

Andree Sunsafarin

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 29 November 2021

Selasa, 30 November 2021 13:38 WIB

Merdeka Belajar bagi Siswa Asli Papua

Merdeka belajar bagi siswa asli Papua adalah merdeka dari kurikulum 2013 yang menyediakan sedikit ruang untuk pembelajaran kontekstual. Anak-anak Papua adalah anak-anak yang memiliki realitas yang jauh berbeda dengan anak-anak di pulau Jawa. Oleh karenanya dibutuhkan sebuah model pembelajaran yang sesuai dengan realitas mereka dan model pendidikan yang mampu mempersiapkan mereka menghadapi tantangan modernisasi dan globalisasi yang tak terbendung. Artikel ini mengulas Pengkajian Budaya Papua dan Modernisasi (PBPM) sebagai model pembelajaran kontekstual alternatif untuk menjawab permasalahan tersebut. PBPM mengggunakan jembatan budaya untuk memperkenalkan anak-anak Papua konsep modern ilmu pengetahuan.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Merdeka Belajar bagi Siswa Asli Papua

Oleh Adrianus Safarin

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

 

 Sudah hampir tiga tahun saya mengajar di sekolah Anak Indonesia. Sekolah ini menampung anak-anak asli Papua SD-SMA yang dikirim oleh Pemerintah daerahnya untuk merasakan kualitas pendidikan dasar dan menengah di tanah Jawa. Anak-anak yang dikirim ini sungguh sangat berbeda, tidak hanya berbeda dari segi budaya tetapi juga dari segi worldview yakni cara mereka memaknai realitas di sekelilingnya.  Ada anak yang baru pertama kali melihat komputer, ada anak yang hanya bisa menghitung sejauh jumlah jari tangan dan kakinya karena tidak pernah belajar konsep-konsep angka dalam hitungan modern, ada anak yang tidak bisa membedakan waktu, karena tidak terbiasa dengan pembagian waktu, jam, menit dan detik di kampungnya.  Belum lagi beberapa anak berdebat dengan saya terkait alat mengukur yang benar, karena berdasarkan pengalaman mereka di kampung, alat mengukur yang benar adalah menggunakan langkah kaki, jengkal dan depa. Pengukuran menggunakan meteran sama sekali asing buat mereka.  Berhadapan dengan realitas ini Sekolah Anak Indonesia menawarkan sebuah kurikulum kontekstual berbasis budaya, yang disebut Pengkajian Budaya Papua dan Modernisasi (PBPM). Sekolah berkeyakinan bahwa sebenarnya anak-anak ini bukan anak-anak bodoh, mereka hanyalah anak-anak ketinggalan kereta peradaban yang bergerak menuju arus perubahan. Mereka datang dari latar belakang budaya peramu yang sangat jauh berbeda dengan kita. Budaya peramu inilah yang mengubah dan membentuk cara berpikir mereka memandang realitas yang ada di sekitarnya. Oleh karena itu, membangun jembatan budaya, yakni mengkaji latar belakang bahasa, budaya, sosial, agama, dan politik orang asli papua adalah alat pembelajaran yang ampuh yang bisa memudahkan mereka masuk ke dalam ilmu pengetahuan modern dalam ruang globalisasi.

Merdeka dari Kurikulum Nasional 2013 (K-13)

 Tidak dapat dipungkiri bahwa kurikulum 2013, menyediakan formula pembelajaran yang komprehensif dan siap pakai. Namun demikian formula ini lebih cocok diterapkan untuk siswa-siswa di daerah Jawa dimana pemahaman tentang pendidikan secara subtantif dan praktis sudah menjadi bagian penting dari kesadaran kolektif masyarakatnya.  Sebagian besar siswa diperkenalkan dengan pendidikan sejak usia dini yakni di usia 3-5 tahun. Lingkungan keluarga dan masyarakat juga turut andil dalam membentuk kesadaran anak akan pentingnya pendidikan. Di samping itu juga, ketersedian sarana dan prasarana, kemudahan akses untuk teknologi juga turut menjadi support system bagi efektivitas penerapan kurikulum 2013.

Akan tetapi, lain halnya dengan anak-anak Papua. Anak- anak Papua datang dari peradaban peramu yang sama sekali asing dengan term atau konsep tentang pendidikan. Hidup mereka sepenuhnya bergantung kepada alam, sederhana, dan praktis. Pendidikan seperti tidak punya relevansi dan ugensinya, karena toh aktivitas hidup mereka sehari-hari berputar sekitar berburu dan menanam ubi atau memangkur sagu di hutan. Masalah hidup terselesaikan jika dua kebutuhan pokok hidup itu terpenuhi. Satu-satunya pendidikan yang mereka miliki adalah ketika orang tua juga mengajarkan anaknya life skill yakni cara berburu dan memangkur sagu. Kesadaran akan pentingnya pendidikan untuk orang Papua justru lahir dari orang luar yang peduli, bahwa modernisasi yang tidak terbendung mengharuskan orang Papua untuk mengenyam pendidikan modern jika tidak ingin tersingkir ke persimpangan peradaban. Membawa orang Papua pada kesadaran akan pentingya pendidikan adalah bagian yang tidak tersentuh oleh kurikulum 2013. Oleh karenanya dibutuhkan sebuah kurikulum tersendiri yang bisa melakukan pengkajian terhadap aspek budaya mereka, menjembatani gap peradaban yang terjadi dan pada akhirnya memperkenalkan mereka pada konsep pengetahuan modern.

Pengkajian Budaya Papua dan Modernisasi (PBPM) sebagai Contextual Learning Alternative

            James Modow dalam artikelnya, “Infusing Culture in English Learning: An Attempt to Preserve Cultural Heritages in Jayapura Municipality, Papua”, mengatakan bahwa pembelajaran yang paling efektif untuk orang Papua adalah pembelajaran dengan menggunakan barang budaya mereka. Barang budaya yang dimaksudkan di sini bisa berbentuk barang konkrit, atau segala aktivitas, kebiasaan, local-wisdom, system nilai yang sudah menjadi bagian tak tepisahkan dari hidup orang asli Papua. Di sekolah Anak Indonesia, dikenal konsep pembelajaran berbasis budaya sebagai bagian dari kontekstual learning yang yakni Pengkajian Budaya Papua dan Modernisasi (PBPM). Dalam PBPM, barang budaya dipakai sebagai entry, tools, media yang mengantarkan mereka untuk masuk ke dalam konsep-konsep modern ilmu pengetahuan (Biologi, Matematika, Fisika, Imu sosial, Ekonomi dll). Berikut adalah beberapa contoh model pembelajaran PBPM yang saya bagikan.

 a. Belajar tentang Perhitungan dan Pengukuran dengan Media “Bedeng”

Perhitungan dan pengukuran adalah konsep yang asing bagi anak-anak Papua. Realitas angka yang mereka kenal juga sangat terbatas sesuai dengan realitas mereka yang sangat sederhana. Suku Ngalum misalnya, hanya mengenal angka sejauh angka tiga puluh lima. Untuk mengantar mereka kepada konsep berhitung secara modern, bedeng yang adalah barang budaya dipakai sebagai tools atau entry.  Bedeng adalah barang yang tidak asing bagi anak-anak Papua. Di situlah tempat mereka menanam ubi, keladi dan jagung, bahkan juga menjadi tempat mereka bermain. Untuk mengukur luas dan lebar bedang biasanya mereka menggunakan langkah, depah, dan jengkalan tangan. Ukuran ini tentu saja tidak valid karena besarnya        

Pembelajaran Papua1

Siswa sedang mengukur tinggi tanaman dengan menggunakan mister pengukur                         

langkah, depah dan jengkal tidak sama untuk semua orang. Oleh karena itu, diperkenalkan alat ukur yang valid yaitu meteran atau mistar pengukur dengan satuan ukur yang berlaku universal. Dalam kegiatan ini mereka juga belajar mengenal realitas angka dengan menghitung lebar, panjang, tinggi bedeng. Di samping belajar tentang menghitung dan mengukur, melalui media bedeng anak-anak juga dapat belajar langsung biologi yakni tentang jenis tanaman yang mereka tanam, perawatan, pupuk organik, hama tanaman, proses pertumbuhan dan perkembangan tanaman sampai nanti ia dipanen. Peran Guru adalah membantu siswa memfasilitasi, menghubungkan, menjembatani dan mengafirmasi melalui proses mengabstraksikan data-data yang sudah mereka peroleh dari dilapangan ke dalam konsep yang sudah ada dalam ilmu pengetahuan modern.                                                                                                      

Pembelajaran Papua2

Siswa sedang melakukan pencatatan dari kegiatan menghitung

 

Pembelajaran Papua3

Siswa berdiskusi/memproses hasil kegiatan pembelajaran tentang struktur tanah

Pembelajaran Papua3

Siswa memantau pertumbuhan keladi dan patatas dalam pembelajaran Biologi tentang pertumbuhan tanaman

 b. Belajar Ekonomi/Business langsung di Pasar/Kiosk Penjual

Orang asli Papua tidak mengenal konsep tentang                                                           entrepreneurship, yakni bagaimana mengubah suatu barang menjadi barang yang bernilai secara ekonomis.  Kebudayaan peramu membentuk cara berpikir mereka bahwa hidup akan selalu cukup karena alam akan selalu menyediakan. Ubi ditanam semata-mata untuk kebutuhan konsumsi dan untuk makanan babi. Beberapa dijual ke pasar tradisional tanpa konsep bisnis yang jelas, tidak ada pembukuan dan perencanaan tabungan (saving). Realitas seperti inilah yang harusnya menjadi tolak pembelajaran ekonomi, yakni bagaimana supaya dengan belajar ekonomi

Pembelajaran Papua4

Siswa sedang belajar tentang pembukuan di warung

orang orang Papua bisa memecahkan persoalan hidup yang nyata akan dihadapinya dalam konteks modernisasi yang tak terbendung.  Jika mereka tidak memiliki entrepreneurship skill, maka kekayaan alam mereka yang berlimpah akan diberdayagunakan oleh orang-orang dari luar. Dengan belajar langsung di lapangan, di pasar dan di kiosk, anak-anak tidak hanya mempelajari tentang konsep untung rugi, bookkeeping, market study business plan, supply chain, mereka juga diperkenalkan secara langsung dengan realitas hidup yang nyata yang akan dihadapinya jika ingin membangun Papua yang maju.

      Merdeka Belajar: Redefenisi dan Rekonstruksi

            Jika menteri Nadin mendefenisikan merdeka belajar sebagai upaya menciptakan suasana belajar yang “bahagia” yang menunjang tercapainya kompetensi maksimal siswa dan memungkinkan anak untuk “merdeka berpikir”, maka merdeka belajar bagi anak-anak Papua adalah ruang nyata yang memungkinkan “mereka ada dan berpikir”. Merdeka berpikir adalah next level yang kita mau capai, jika eksistensi anak-anak Papua yang unik, dengan konteks yang jauh berbeda dengan kita dikenal, diakui dan dikaji. Harus ada ruang yang merangsang mereka untuk berpikir yakni realitas budaya dan permasalahan yang mereka hadapi dikonteks globalisasi. Pembelajaran di kelas harus mampu memecahkan persoalan dan realitas yang mereka hadapi sekarang ini.  

Pengkajian Budaya Papua dan Modernisasi (PBPM) adalah salah satu terobosan alternatif dari contextual learning yang mencoba memberikan treatment yang berbeda kepada siswa-siswa asli Papua setelah pengenalan dan pengakuan terhadap realitas mereka yang unik. PBPM memfokuskan pembelajaran pada dua hal, yakni mengedepankan pendekatan budaya dan mengekspos mereka terhadap realitas modern yang kompleks yang harus mereka hadapi sekarang ini. Kekayaan budaya, realitas yang akrab dengan hidup mereka sehari, adalah titik tolak, entry, tools yang bisa dipakai untuk memudahkan mereka masuk dan memhami konsep-konsep ilmu pengetahuan modern. Pembelajaran tidak hanya berpusat di dalam ruang ruang kelas, tetapi ruang kehidupan yang lebih luas yang menyentuh aspek life-skill or skill-based yang sudah menjadi bagian dari hidup mereka. Dengan cara inilah saya yakin, anak-anak ini akan benar-benar MERDEKA BELAJAR.                           …………………….

Sumber Pendukung:

  1. Charles HUDSON, Clemente. Contextual Teaching and Learning for Practitioners. Diakses pada 27 November 2021, dari pdf (iiisci.org)
  2. Grady, Roberts. (2003). An Interpretation of Dewey's Experiential Learning Theory. Florida: US Department of Education. Tersedia di ERIC - ED481922 - An Interpretation of Dewey's Experiential Learning Theory., 2003-Aug
  3. (2014). Konsep dan Implementasi Kurikulum 2013. Diakses pada 26 November 2021, dari PowerPoint Presentation (kemdikbud.go.id)
  4. Modow, James & Yektiningtyas, Wigati. 2017. “Infusing Culture in English Learning: An Attempt to Preserve Cultural Heritages in Jayapura Municipality, Papua” in Language and Language Teaching Journal, 20, No. 1, April 2017, 40-48.

 

 

Penulis adalah guru Bahasa Ingris dan Seni Lukis di Sekolah Anak Indonesia, Sentul Bogor. Sekolah Anak Indonesia adalah sekolah yang dikelolah oleh Yayasan Alirena yang bermitra dengan Pemerintah Daerah Papua dalam membangun pendidikan yang berkualitas bagi anak-anak asli Papua. Yayasan Alirena memiliki visi membangun anak asli Papua yang mencintai dan memiliki daerahnya.

 

Ikuti tulisan menarik Andree Sunsafarin lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler