x

Investasi Emas

Iklan

Romi Assidiq

Sajak, Puisi, Novel dan Cerpen
Bergabung Sejak: 29 November 2021

Selasa, 30 November 2021 22:25 WIB

Emas itu Luka

Cerita ini adalah tentang dia, si logam mulia. Yang telah merenggut banyak hal baik dari kami.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

                                      Emas Itu Luka

Padahal kemilau logam mulia itu sudah lama padam di mata kami, bahkan mungkin sudah terlalu jauh untuk dilihat jejak-jejaknya di atas tanah meskipun lubang-lubang yang berjejer tak karuan berbagai ukuran masih terpampang jelas di permukaan tanah yang dahulunya merupakan sawah dan ladang kami.

Bertahun-tahun hitam juga sudah lama menghapus kenangan pahit manisnya. Peristiwa yang kadang menjadi penolong juga kadang menjadi lubang kematian itu. Orang-orang tidak pernah lagi bercerita ataupun sekadar menyebut namanya. Namun, sekelabat di sana, masih ada banyak sekali bayangan kelam yang terasa pahitnya sampai saat ini meskipun selalu berusaha diabaikan dan dilupakan, terutama kami yang hanya menggantungkan hidup pada sawah dan ladang.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Sendi-sendi dan urat sarafku seakan memuai saat mengingat masa itu. Tahun 2008, tepatnya aku masih duduk di bangku kelas 6 SD.

...

Mentari pagi menerpa perkampungan. Tak seperti biasa, kali itu Bapak mengurungkan niat untuk pergi menengok padi yang kami tanam di sawah. Dia juga melarangku pergi ke sekolah. Tak hanya Bapak, hari itu kakak, ibu, bahkan tetanggaku juga berbondong-bondong pergi meninggalkan kebiasaan mereka menengok padi dan tanaman-tanaman mereka di ladang.

Anak-anak yang biasanya tampak ramai-ramai di jalanan berangkat ke sekolah pun sepi. Hanya mereka, para PNS dan pegawai-pegawai swasta yang tetap mengimbau agar anaknya tetap bersekolah seperti biasa dan tidak mengikuti jejak kami.

Pasar juga begitu sepi tanpa pembeli, tanpa penjual. Hanya ada kambing, kucing, anjing, dan tempat kosong nan hampa yang diterpa angin beserta sampah yang beterbangan.

Warung-warung kecil di pinggir jalan tutup. Bahkan, kampung seakan menjelma tanah mati yang ditinggal hijrah para penduduknya.

Usai menenuaikan salat Subuh, orang-orang di rumahku sudah mulai sibuk mempersiapkan segala hal. Kulihat ibu menyiapkan bekal. Beberapa liter beras dimasukkan ke dalam karung. Kakakku yang hanya seorang juga memasukkan baju-bajunya dan bajuku ke dalam ransel besar. Bapak sendiri kulihat membongkar peralatan dapur ibuku yang sejak dulu tidak pernah dia pakai. Beberapa wajan dimasukkan ke dalam karung.

Aku yang tidak tahu apa-apa hanya bisa bengong melihat mereka.

"Apa ko bikin di situ, pergi mi cepat mandi baru makan. Baru siap-siap, kita mau berangkat mi ini," tegur kakakku yang melihatku berdiri seperti tiang di depan pintu kamar.

Ah, apalah aku ini. Kendatipun diajak bicara, paling hanya berupa perintah. Begitulah anak bungsu dan memiliki satu kakak laki-laki.

Jang ko pergi mandi di kali, Nak. Nanti ko lama. Kita buru-buru ini,” timpal ibu.

Padahal, ah, rasanya ingin sekali aku menceburkan diri di sungai yang terletak tak jauh dari rumahku itu. Air yang jernih dan batu-batu yang besar selalu membuatku segar di kala pagi dan sore hari.

Usai makan dan bersiap, aku pun turut mereka dengan menggunakan sepeda motor dibonceng kakakku, dan bapak bersama ibu. Yang aku sendiri tidak ketahui, mau ke mana tujuan kami. Yang pasti, hari itu jalanan tidak seperti biasanya. Kendaraan tiba-tiba ramai. Orang-orang memacu kendaraan secepat mungkin seakan sedang balapan. Berlomba-lomba siapa yang harus berada di posisi paling depan.

...

“Oh, Tuhan apa ini?”

Aku terkesiap melihat lautan manusia terhampar di hadapanku. Ada ratusan, bahkan mungkin ribuan manusia. Sumpah, itu sangat ramai, kugambarkan seperti jamaah haji di Padang Arafah dalam pandangan yang sering kulihat di poster depan ruang tamu rumah kepala desa. Namun, ini bukan rombongan haji melainkan sekumpulan manusia berpakaian kotor dengan wajan di tangan kiri dan sekop di tangan kanan.

Dari berbagai daerah, ada bermacam-macam suku, berupa-rupa ciri khas wajah, warna rambut dan logat. Hari itu adalah awal mula kami bersatu dan berlomba mendulang emas di daratan kabupatenku. Logam mulia yang terkenal mampu membeli kekayaan. Dan, bahkan, ia sendirilah kekayaan itu.

...

"Ibong, sudah-sudah pi ko cerita itu masa kecil ta yang suram. Kita di kota mi tapenda[1] ini," ucap Buna dengan logat Moronene[2] yang khas.

Ah, temanku yang satu ini, dia selalu mengacau saat aku bercerita tentang masa kecil kami di kampung yang sudah kami tinggalkan sejak beberapa tahun lalu. Aku dan Buna sudah berumur 24 tahun, kami pergi ke kota untuk menimba ilmu, meninggalkan segala kenangan di kampung kami.

Sebenarnya, kepergianku menimba ilmu ini bukanlah sekadar sekolah dan belajar. Ada segelintir kelabu yang ingin kuputihkan, terkait kenangan tambang emas di kampungku sana.

...

Memang, tempo hari kami meninggalkan sawah dan ladang untuk mendulang emas. Sesuatu yang amat berharga setelah nyawa dan harga diri di dunia. Pundi-pundi rupiah pernah berhasil kami raup. Rumah, kendaraan, bahkan pertokoan sempat banyak yang berubah naik taraf lebih baik. Semenjak tahun 2008 silam, perputaran ekonomi seakan dipompa dengan tenaga kuda. Ekonomi melejit. Perputaran ekonomi sempat balapan karung mengantongi harumnya uang merah dan biru.

Namun, semua itu sudah usai masanya dan kini sebuah masalah telah terbit secerah mentari pagi yang menerpa silau mata seorang anak SD yang hendak beranjak ke sekolah.

Kemilau emas tempo hari kini telah menjadi luka. Sumber daya alam itu terbatas, kejayaannya hanya bersifat sementara. Hanya bertahan 7 tahun saja. Tidak ada lagi yang bisa kami raup. Jangankan emas, sawah milik bapak saja kini sudah berubah wujud jadi deretan lubang-lubang gajah, eh, maksudku marmut megalitikum yang merupakan bekas galian para pencari emas dahulu.

Emas-emas yang didulang tempo hari tak hanya berada di permukaan, di dasar kedalaman puluhan meter, isinya lebih menyilaukan mata. Sebab itulah, segala-gala di kampung kami hancur tanpa sisa. Semua digali lebih dalam sampai tidak ditemukan lagi kuning-kuning keemasan. Dan akhirnya kini, tak ada lagi ladang tempat menumbuhkan benih-benih kehidupan. Semua rata menjadi lubang yang setara tempat marmut sang raksasa purba berkubang.

Sungaiku yang jernih dan menyegarkan kini telah mendangkal dengan dasarnya yang disesaki genangan lumpur tanpa batu. Airnya, jangan tanyakan lagi. Hanya ada secuil tetesan yang tak mengalir, itu pun sudah berwarna cokelat bagaikan susu tanpa rasa manis.

Tak urung, tempo hari, lubang-lubang itu juga kerap memakan korban. Tanah yang digali di kedalaman beberapa meter yang basah dan curam kadang longsor dengan tiba-tiba, sementara di bawah sana ada beberapa orang yang tengah asyik mendulang. Innalillahi, seketika lubang-lubang itu menjadi kuburan untuk mereka. Bersyukur jikalau ada yang melihat dan segera meminta pertolongan. Jika tidak ada, selesai sudah ceritanya. Keluarga yang menunggu di seberang sana hanya menerima kabar kalau keluarganya hilang dan tak ditemukan lagi.

Sungguh, kekacauan kilauan emas tempo hari bukan hanya berdampak pada lahan pertanian di masa kini. Kenikmatan sesaat itu juga telah merusak pendidikan sebagian dari anak-anak kampung sebayaku.

Karena mereka merasa mampu menghasilkan uang yang nilainya lebih dari cukup, rekan-rekan sebayaku pun memilih untuk menetapkan diri sebagai pendulang emas. Meninggalkan sekolahnya. Awalnya, mereka hanya pergi sehari karena disuruh orang tua, tetapi hasil terus bergelimpangan. Maka, jadilah seminggu, sebulan, dan berujung dikeluarkan dari sekolah karena tidak pernah lagi mengikuti mata pelajaran. Bahkan, belum sampai umur 20 tahun kebanyakan dari mereka sudah menikah.

...

Logam mulia yang menyilaukan mata itu telah habis masanya. Tak ada lagi cahaya di dalam tanah. Tak ada lagi orang-orang yang mendulang. Kini hanya luka-luka yang tersisa. Beruntungnya, aku tak terpengaruh pada orang tua dan kakakku yang menyarankan berhenti sekolah agar lebih banyak menghasilkan emas tanpa ada gangguan.

Aku berhenti mendulang, kembali aktif bersekolah dengan mereka anak-anak beruntung lainnya. Dan hari ini. Aku telah jauh meninggalkan kampung halamanku. Gelar magister sebentar lagi kusandang. Aku berjanji pada diri sendiri, Suatu saat nanti, seiring matahari yang terbit menyilaukan mata. Jika ada lagi sesuatu ditemukan, di kampung halamanku. Entah itu sesuatu yang jauh lebih berkilau dari emas sang logam mulia. Akan kuubah pola pikir mereka. Akan kubuat mereka menjaga dan membuatnya jauh lebih berharga bahkan menghasilkan lebih banyak rupiah tanpa harus merusak lahan-lahan yang semestinya jadi sumber daya alam tak terbatas dan bisa terus diperbaharui jumlahnya.

 

 

[1] Tapenda : Sejenis pelafalan kata “kasihan” yang biasa diucapkan suku Moronene.

[2] Moronene : Salah satu suku di Sulawesi Tenggara.

 

Ikuti tulisan menarik Romi Assidiq lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB

Terkini

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB