x

Iklan

Dodo Hinganaday

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 November 2021

Selasa, 30 November 2021 22:38 WIB

Guru Gagal, Guru Sukses

Dilema seorang guru yang kesuksesan atau kegagalannya diukur lewat kecemerlangan anak didiknya, bukan dari upayanya bersama berbagai pihak untuk menjadikan anak didiknya cemerlang.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Seperti sepiring nasi goreng gila, guru itu komplit. Ia dibenci dan dicintai. Ia dihormati di depan, sekaligus dibicarakan di belakang. Saat pembelajaran tatap muka, ia harus melihat beragam wajah anak didiknya: mulai dari yang cerah, mengantuk, sampai tertidur (bahkan ngeces) di kelas. Ketika pembelajaran online, ia menghadapi baik murid yang semangat belajar, maupun murid off-camera yang tidak pernah menjawab karena kabur entah ke mana. Masih lumayan bila ia menerima gaji tetap sebagai seorang guru. Kalau tidak, alias masih jadi guru honorer, mungkin ia hanya bisa berkata sambil mengelus dada, “Ya Tuhan, gini amat jadi guru….”

Seorang guru tidak pernah dinilai sukses semata-mata karena prestasi pribadi, misalnya juara 1 lomba panjat pinang atau memenangkan kontes kecantikan antarguru. Kesuksesan seorang guru selalu dilihat dari performa orang-orang yang sedang atau pernah dididiknya. Guru dianggap berhasil jika ada muridnya yang menonjol. Ia, misalnya, akan disanjung-sanjung bila muridnya memenangkan kompetisi tingkat tinggi. Ia juga akan menjadi kebanggaan sekolah ketika ada mantan muridnya yang diangkat sebagai menteri (apalagi presiden).

Padahal, mungkin saja guru tersebut tidak pernah serius mengajar dan mendidik. Bisa saja memang muridnya itulah yang cerdas dan pintar dari sono-nya. Siapa tahu juga kegemilangan sang murid merupakan hasil polesan orang lain, yang lalu diaku-akukan sebagai jasa sang guru. Menghadapi guru semacam ini, pendidik yang serius dan pekerja keras akan membatin, “Betapa beruntungnya guru semacam ini.”

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Bagaimana nasib seorang guru kalau siswa-siswinya banyak yang nakal, tidak naik kelas atau tidak lulus, padahal sudah susah-payah mendidiknya? Kalau hoki, ia “cuma” akan dievaluasi oleh petinggi sekolah. “Mungkin metode pendidikannya kurang tepat,” begitu kata para pengevaluasi. Mulai sedikit menyakitkan bila ia dicap “tidak bisa mengajar” atau “tidak bisa mendidik”. Mulai agak cemas ketika ada orang tua murid yang mengeluh karena mereka bisa membuatnya jadi viral, entah di media sosial ataupun sampai ke pengadilan.

Memang, harus diakui, ada murid yang tidak dapat mengaktualisasikan potensinya karena guru yang tidak berkualitas. Akan tetapi, ada pula kenyataan lain yang memperlihatkan bahwa ketidakmampuan siswa-siswi berprestasi di sekolah tidak selalu disebabkan oleh ketidakbecusan sang guru. Persoalan-persoalan di rumah tidak jarang menjadi sumber “kegagalan” utama para murid. Anak-anak broken home, misalnya, kerap menjadi siswa atau siswi yang sulit berkembang atau beradaptasi dengan peraturan sekolah. Belum lagi kalau anak-anak ini terjun ke dalam pergaulan yang salah.

Sampai pada tahap ini, kita bisa berhenti sejenak dan bertanya, “Lalu, sejatinya guru yang sukses itu seperti apa? Dan, guru yang gagal itu macam apa?” Jika ditanya seperti itu, saya sendiri akan menjawab, “Sebenarnya tidak ada guru gagal atau guru sukses. Yang ada adalah guru yang mau atau tidak mau melihat muridnya maju.”

Lha, kok bisa? Mengikuti petuah seorang Guru Besar yang berkata “Bukan orang sehat yang memerlukan tabib, tetapi orang sakit,” bagi saya justru anak-anak yang merasa dirinya gagal, tidak berarti, dan tidak diperhatikan itulah yang paling membutuhkan sosok seorang guru. Entah murid itu sangat sulit dididik ataupun harus bolak-balik dipanggil guru Bimbingan Konseling. Siapa lagi yang mau mengurusi anak-anak semacam ini, selain seorang guru yang ingin melihat mereka menjadi pribadi yang lebih baik?

Demi kemajuan anak-anak yang butuh perhatian ini, seorang guru tidak hanya akan mengandalkan dirinya sendiri. Mengapa? Karena proses pendidikannya tidak akan pernah mudah. Jika bisa ditangani sendiri ya syukur. Jika tidak, ia akan menggalang kerja sama dengan berbagai pihak. Baik itu sesama guru, maupun teman, orang tua dan keluarga sang murid. Kalau perlu, psikolog dan psikiater juga dilibatkan.

Jika siswa-siswinya berkembang, sang guru tidak akan membanggakannya sebagai torehan emas pribadi. Mengapa? Karena yang ada di pikiran dan hatinya hanyalah kemajuan murid-muridnya. Melihat anak-anak didiknya menjadi pribadi yang lebih baik cukup menjadi kebahagiaan batinnya, tanpa harus dipamerkan sebagai suatu prestasi.

Seorang teman pernah berkata bahwa guru sejati itu “tidak mengubah emas menjadi emas, tapi sampah menjadi emas”. Bukan “gold ingold out”, melainkan “trash ingold out”. Karena mereka itulah guru menjadi suatu panggilan, bukan sekadar profesi untuk cari cuan. Walaupun demikian, pada saat yang sama, biarlah guru yang penuh dedikasi itu juga mendapat apresiasi selayaknya dari para pemangku kebijakan. Pekerjaannya sulit lho…kalau tidak percaya, coba saja sendiri.

Ikuti tulisan menarik Dodo Hinganaday lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler