x

Iklan

Wahyu Kris

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 23 November 2021

Rabu, 1 Desember 2021 15:11 WIB

Guru Merdeka, Murid Merdeka

Syarat mutlak merdeka belajar meniscayakan guru merdeka dan murid merdeka. Merdeka belajar ibarat sekeping koin yang dua sisinya adalah guru merdeka dan murid merdeka. Menghilangkan salah satu sisi berarti menghilangkan kedua sisinya. Guru dan murid  mesti bersinergi saling memerdekakan, berkelindan dalam satu tarikan napas mewujudkan merdeka belajar. 

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

GURU MERDEKA MURID MERDEKA

Wahyu Kris

Syarat mutlak merdeka belajar meniscayakan guru merdeka dan murid merdeka. Merdeka belajar ibarat sekeping koin yang dua sisinya adalah guru merdeka dan murid merdeka. Menghilangkan salah satu sisi berarti menghilangkan kedua sisinya. Guru dan murid  mesti bersinergi saling memerdekakan, berkelindan dalam satu tarikan napas mewujudkan merdeka belajar. 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

 

“Sekolah baru bukan sadja didasarkan pada anggapan bahwa anak2 dapat berpikir, melainkan djuga kepada pendapat bahwa daja berpikir anak2 itu disekolah harus dikembangkan se-dapat2-nya. Djadi sekolah memberi anak2 suatu kebebasan ruhani yang besar: sekolah menjuruh anak2 sendiri mengamati sesuatu dan memberi kesempatan untuk pengamatan itu. Sekolahpun memberi mereka kebebasan djasmani dan membiarkan mereka bekerdja sendiri untuk mempraktekkan pengamatan itu. Anak2 segera djuga diberi masalah jang mudah2, jang harus diperhatikan, dipikirkan baik2, dan diselesaikannja sendiri, yang memaksanja selalu mengambil keputusan sendiri.”

Ada dua alasan mengapa saya terhenyak membaca paragraf di atas. Pertama, pentingnya berpikir kritis dan kesanggupan menyelesaikan masalah sudah menjadi kesadaran bersama. Alasan kedua, paragraf di atas saya baca dari buku yang terbit pada tahun 1955, lebih dari setengah abad sebelum jargon merdeka belajar digaungkan!

Buku berjudul Ulangan dan Kontrol pada Pengadjaran dan Pendidikan tersebut diterbitkan oleh Penerbit Ganaco N.V. Pada sampul depan tertulis tiga nama kota: Bandung, Djakarta, dan Amsterdam. Buku setebal 52 halaman ini ditulis oleh A. de la Court, J. Jonges, Soewondo, C.H. Donker, P. Post, E.J. Lodewijks, A. Gazali, Drs. Oei Tjin San, dan Mevr. C.C.C. de Koning. Melihat nama-nama penulis tersebut, sangat mungkin buku ini lahir dari rahim dialektika dimana keberagaman pemikiran dirayakan dan kepelbagaian gagasan diproklamasikan. 

Buku ini ditulis sepuluh tahun sesudah proklamasi dikumandangkan. Indonesia masih bayi sebagai negara merdeka, tapi sudah dewasa dalam konsep pendidikan merdeka. Kebebasan berpikir, berpikir kritis, daya pikir, dan daya kritik adalah kosakata yang mewakili betapa penting memusatkan pendidikan pada anak. 

Jadi, apabila hari ini pembelajaran kita masih berlari kencang demi mengejar muatan kurikulum maka sebenarnya pendidikan kita sedang berlari mundur. Apabila hari ini pembelajaran kita masih berfokus pada hafalan dan ingatan maka kita belum merdeka sebagai guru. Apabila hari ini kita masih melaksanakan ujian secara direktif—murid harus begini harus begitu—maka penilaian  kita belum merdeka. Bisakah kita menyebut pendidikan merdeka jika gurunya belum merdeka? Bisakah murid merdeka belajar jika gurunya belum merdeka? Mustahil! 

Pandemi adalah titik kritis dimana kemerdekaan guru dipertanyakan sekaligus dipertaruhkan. Konsep pendidikan mendadak didefinisikan ulang ketika pandemi memaksa sekolah tutup. Metode-metode pembelajaran langsung menjadi usang ketika pandemi menghadang. Strategi-strategi pembelajaran tetiba tak berfungsi ketika pandemi menjadi harga mati. 

Meski sudah belasan tahun menjadi guru, saya masih belajar dan terus belajar menjadi guru merdeka. Pandemi bisa membatasi aktivitas, tapi tak bisa membatasi kreativitas. Satu hal yang pertama saya tanamkan dalam diri saya adalah growth mindset. Saya meyakinkan diri bahwa saya bisa mengubah pandemi menjadi kesempatan menemu-kembangkan metode dan strategi baru dalam pembelajaran. Kecanggihan teknologi menyediakan daya dukung melimpah. Kita hanya perlu berkolaborasi saling bertaut keberanian untuk mengolah dan menerapkannya. Gagal coba lagi, jatuh bangkit lagi. 

Pada semester ganjil tahun ajaran 2021/2022, pembelajaran tatap muka mulai dilaksanakan terbatas. SMPK Pamerdi dimana saya berkarya menggelar pembelajaran dalam bentuk proyek terintegrasi. Pembelajaran proyek terintegrasi ini adalah upaya mewujudkan merdeka belajar. Para guru curah gagasan dan urun pendapat merancang proyek pembelajaran. Kami mengajak murid untuk belajar bersama sekaligus merdeka bersama. 

Mata pelajaran PKN, IPA, IPS, Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Bahasa Jawa, SBK, dan TIK berkolaborasi dalam satu aktivitas pembelajaran. Proyek pembelajaran itu mengangkat Covid-19 sebagai tema utama.  Murid merdeka menentukan media dan cara mengerjakan tugas belajar. Tugas utama murid adalah menciptakan poster bertema covid-19. Mereka dibagi dalam kelompok yang terdiri dari 2 – 3 murid. 

Konten yang diintegrasikan dalam poster adalah cara penularan virus yang menjadi pembelajaran IPA. Ada protokol kesehatan 5M yang ditulis dalam Bahasa Jawa. Ada juga paragraf persuasif sebagai ajakan disiplin protokol kesehatan (Bahasa Indonesia). Untuk mewujudkan poster, murid bebas menggunakan aplikasi Canva, Powerpoint, Word, ataupun Paint (TIK). Komposisi warna dan elemen desain menjadi pembelajaran SBK. Murid mempresentasikan poster mereka dalam Bahasa Inggris. Murid juga diberi kebebasan menambahkan satu halaman poster untuk menuangkan riset sederhana. Mereka bisa mengulas fakta-fakta perubahan sosial (IPS) ataupun upaya-upaya membangun persatuan bangsa dalam suasana pandemi (PKN). 

Pembelajaran proyek terintegrasi ternyata tak sekadar mewujudkan merdeka belajar, tapi juga mendatangkan bonus tak terduga. Selama belajar menciptakan proyek, murid belajar secara kontekstual. Covid-19 bukan lagi virus yang menakutkan, melainkan fenomena yang perlu dijadikan obyek pembelajaran. Murid juga mempraktikkan Profil Pelajar Pancasila. Mereka bergotong-royong berbagi tugas dalam proyek. Masing-masing murid mandiri mengatur waktu. Kreativitas pun pasti terasah. Akhlak agama, akhlak pribadi, akhlak alam, akhlak sesama, dan akhlak negara berpadu dalam satu kegiatan belajar.   

Upaya di atas adalah setetes air dalam samudera pendidikan kita. Namun, setetes air mengalir bisa memberi kesegaran daripada sebongkah batu tak bergerak yang hanya menjadi sandungan. Artinya, merdeka belajar mesti menjadi ikhtiar kita bersama. Seluruh komponen bangsa mesti bergerak bersama mewujudkan merdeka belajar. Pendidikan terlalu besar untuk diserahkan pada sekolah. Politisi, pegiat media sosial, orang tua, pebisnis, dan profesional bisa bergerak mendukung merdeka belajar di ladang karyanya masing-masing.   

Ini adalah momentum melihat merdeka belajar sebagai jalan untuk menyiapkan murid sebagai pemimpin masa depan. Buku yang saya ceritakan di awal tulisan ini menegaskan: 

“Sekolah baru tjotjok dalam masjarakat jang melihat kedepan dan ingin, supaja anak2 menjiapkan diri untuk ikut pada hari depan itu. Sekolah baru menuntut supaja anak2 mengembangkan daja-kritiknja, jang kelak akan memberi kesanggupan kepadanja ikut membantu mengembangkan masjarakat.”

“Sekolah itu memberikan pengajaran jang bersifat mendidik. Kita memerlukan sekolah baru itu dan berhak atas sekolah baru itu, sekolah jang pertjaja pada daja berpikir anak2 kita dan ingin mengembangkannja.” 

Sampul buku lawas itu menggambarkan anak-anak belajar dalam suasana gembira. Ada yang bermain bola, membaca buku, melukis, bermain mobil-mobilan, dan menggunting kertas. Kebahagiaan terpancar dari siluet wajah mereka. Bukankah kebahagiaan itu adalah puncak sejati dari merdeka belajar? 

Ikuti tulisan menarik Wahyu Kris lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler