x

ilustr: DNA India

Iklan

Zainul Muttaqin

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 30 November 2021

Rabu, 1 Desember 2021 15:16 WIB

Tungku Kematian

Muna datang pada hari kematian seseorang untuk membuat tungku, suatu hari dia pergi ke rumah Masyari, istri kedua suaminya untuk membuat tungku kematian. Padahal jelas-jelas Masyari masih hidup.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Tergesa-gesa Muna, tangan kirinya menyingkap ujung rok yang ia kenakan. Lekas ia berjalan, mengenakan sandal jepit, bunyinya terdengar mirip suara kaki kuda yang sedang ketipak-ketipuk. Orang-orang yang berpapasan dengannya menampakkan raut panik, pasti ada yang meninggal, begitu dugaan semua orang. 
Ketika Muna bertemu seorang ibu di tengah jalan, bertanyalah ia pada Muna.
“Mau kemana kau Mun?”
 “Ke rumah Bun Saliha.”
“Siapa yang meninggal?”
Muna tidak punya banyak waktu, tak sempat ia menjawab pertanyaan itu, keburu pergi. Matahari belum sepenuhnya naik ke permukaan langit. Basah embun di atas daun tembakau, dingin masih mengancam. 
Seorang lelaki setengah tua yang bersiap naik ke atas pohon siwalan, menyadap nira, tak mengenakan baju, kebal tubuh dari serangan dingin maupun panas. Ia tercengang melihat Muna yang terburu-buru, ingin bertanya pada Muna, kemana hendak membuat tungku? Tapi melihat gerak tubuh Muna yang seolah tak ingin diganggu, urung ia melontakran tanya, tersenyum saja ia pada Muna. 
Pelan lelaki setengah tua itu memanjat, membawa ember yang terbuat dari daun siwalan. Sesampainya di atas pohon, ke bawah ia melihat, curam sekali dalam pandangannya. Jika ia terjatuh, kemungkinan kecil bisa bernapas lagi dan mungkin Muna akan membuatkan tungku kematian untuknya. 
Ngeri sekali lelaki setengah tua itu membayangkan kematiannya sendiri. Ia bertaruh nyawa demi keluarga, hidup dari menjual gula merah adalah takdir yang harus ia jalani. Bila pun ia harus mati, inginnya mati dalam keadaan mencari nafkah, tidak mati sia-sia. 
Dari atas pohon siwalan menjulang tinggi, angin menggoyang, tak goyah nyali lelaki setengah tua itu, tetap menyadap nira. Terlihat tubuh Muna olehnya, kecil dalam penglihatannya dari atas pohon. Lambat laun Muna menghilang ditelan pengkolan jalan, turun ia membawa air nira sebanyak dua ember.
Muna sudah tiba di rumah duka, subuh tadi seseorang datang ke rumahnya, minta bantuan dibuatkan tungku. Muna bilang akan segera menyusul, pergilah orang suruhan dari rumah duka. Sekitar lima belas menit kemudian Muna membuka pintu, keluar rumah menuju rumah duka. 
Langkah Muna terhenti di halaman, sang suami mencegahnya. Dul Gappar, demikian orang memanggil nama suami dari Muna. Lelaki berkumis tipis, jenggot tinggal lima helai dan hitam legam kulitnya bertanya pada Muna yang hendak pergi pagi-pagi sekali.
“Mau kemana kamu?”
“Ke rumah Bun Saliha.”
“Untuk apa?”
“Apa perlu saya jelaskan lagi pekerjaan saya?”
“Membuat tungku?”
“Iya.” Muna ingin segera pergi, tapi suaminya masih terus melontarkan tanya. 
“Apa tidak ada orang lain selain kamu yang bisa buat tungku di kampung sana?”
“Tidak ada.”
Muna harus pergi ke kampung sebelah, cukup jauh jarak rumah duka. Dul Gappar masih berdiri di hadapannya seperti seorang polisi yang memeriksa kelengkapan surat-surat pengendara. 
“Jangan lama-lama,” tegas Dul Gappar bicara.
“Kalau sudah selesai saya pasti langsung pulang.”
“Saya lapar. Apa kau sudah masak?”
“Kau hanya pulang ketika lapar. Begitu kenyang kau pergi lagi.”
Tidak lagi peduli Muna tentang suaminya yang masih mengoceh. Dul Gappar pulang dari rumah istri keduanya yang dinikahi satu tahun silam. Sebelum menikah untuk kedua kalinya, bicara memang Dul Gappar pada Muna. Tapi pembicaraan itu bukan meminta persetujuan, melainkan pemberitahuan. 
Seakan jantung terlepas dari tangkainya, Muna  mendengar pengakuan dari Dul Gappar bahwa ia telah menikah. Dul Gappar menjelaskannya rinci sekali, tidak kurang tidak lebih. Ia menikahi seorang perempuan yang ditinggal mati suaminya. Suami dari perempuan itu adalah kawan dekat Dul Gappar. Kasihan Dul Gappar melihat perempuan itu berjuang sendiri, menghidupi dua anaknya yang masih kecil. 
Kecantikan perempuan itu sungguh luar biasa, meskipun sudah anak dua. Dul Gappar bilang pada Muna, semua itu dilakukan semata karena menolong si janda itu sebagaimana yang dilakukan nabi. Muna tidak banyak membantah, percuma melawan suaminya, khawatir juga dibilang istri durhaka. 
Hari itu juga Muna ingin berpisah dari Dul Gappar, meminta sang suami menceraikan saja. Dul Gappar menolak, Muna tak berdaya. Sebanyak apapun kalimat cerai diucap Muna, tidak akan pernah terjadi talak. Ia pun menjalani garis takdir yang menjerat hidupnya. Seiring berjalannya waktu, Dul Gappar sering di rumah istri keduanya.
“Mun.” Seorang perempuan, salah seorang keluarga almarhum menepuk pundak Muna. Kaget Muna, buyar lamunannya. 
Orang-orang berkumpul di rumah Bun Saliha, membikin dapur sementara di belakang rumah. Terop dari terpal dipasang di halaman. Kematian suami Bun Saliha mengundang semua tetangga berdatangan, tanpa diminta, ikhlas membantu sebagaimana suami Bun Saliha semasa hidup yang selalu sigap menolong tetangga. 
Sebagian lelaki mengupas kelapa, sebagian lagi bersiap menyembelih seekor sapi. Gaduh suara para perempuan mengobrol di dapur, mengulek bumbu dengan cobek yang dibawa dari rumah masih-masing. Satu tungku pun belum dibuat, orang-orang melihat Muna seperti banyak pikiran. 
Muna harus menyelesaikan tungku itu dengan cepat. Tungku-tungku itu nantinya akan digunakan untuk memasak daging, menanak nasi dan segala kebutuhan yang akan disuguhkan kepada pelayat saat pemakaman nanti sore. 
Muna bertanya pada keluarga almarhum, “Berapa banyak tungku yang harus saya buat?”
“Empat,” jawabnya.
“Jangan,” kata Muna. 
“Kenapa?”
“Harus ganjil.”
“Ya sudah lima.”
Suami Bun Saliha adalah pedagang sapi yang sukses. Ia juga memiliki sepuluh ekor sapi, dua dipelihara sendiri, sisanya dipelihara orang dengan sistem bagi hasil. Satu ekor sapi disembelih untuk kematiannya sekarang. Mengaluh sapi itu, ngorok terdengar suaranya saat putus urat nadi di lehernya. 
Muna mengaduk-aduk tanah, dicampurnya dengan takaran air yang pas, tidak boleh lebih tidak boleh kurang. Tidak sembarangan membuat tungku, butuh keahlian khusus membuatnya. Muna satu-satunya orang yang hingga kini pandai membuat tungku. Namun orang-orang tidak ingin Muna datang ke rumah mereka membuat tungku, sebab itu artinya ada yang meninggal di rumah tersebut. 
Cepat Muna membuat tungku, tiga selesai sudah, tinggal dua lagi. Muna membayangkan membuat tungku untuk kematian istri kedua suaminya, lelah berbagi cinta dengan perempuan lain. Seandainya, Muna mulai berandai-andai seraya tangannya mengucek tanah, mungkin Dul Gappar tidak akan menikah lagi jika ada seorang anak dalam keluarganya. 
Sepasang paha sapi dibawa ke dalam dapur, digantung sungsang. Semua tungku telah selesai dibuat, Muna membasuh tangan. Kematian dirayakan, kata Bun Saliha semua itu untuk yang meninggal. Sapi yang disembelih dan semua hidangan istimewa yang diberikan tuan rumah semata pahala dihaturkan pada yang meninggal. 
Orang-orang kampung kini tak memliki satu pun tungku di dalam dapur, tidak seperti zaman dulu. Kompor gas adalah pilihan praktis, tidak repot mencari kayu bakar. Tungku hanya dibuat ketika ada kematian atau hajatan pernikahan. 
“Kau mau langsung pulang Mun?” Tanya seorang perempuan, keluarga almarhum. 
“Tidak. Saya mau ikut bantu-bantu dulu.”
Kemudian Muna ikut duduk bersama perempuan-perempuan lainnya, mengupas bawang, mengulek bumbu. Diam-diam ada yang ngobrolin Muna, lirih mereka bicara agar tidak kedengaran Muna. Mereka bilang, Muna itu sabar menghadapi suaminya yang menikah lagi, dan yang lain bilang Muna itu bodoh karena masih mau dengan Dul Gappar. 
Muna tidak menanggapi, diam saja ia meskipun jelas mendengar obrolan mereka. Muna masuk ke dalam dapurnya Bun Saliha, betul tidak ada tungku di sana, terlihat satu kompor gas saja. Muna sendiri juga tidak punya tungku. Ia menggunakan kompor gas sebagaimana orang-orang kampung lainnya. 
Sebelum ashar Muna pamit pulang pada tuan rumah, menolak ia ketika diselipkan uang untuk upah dirinya membuat tungku. Muna tidak pernah menerima uang sepeser pun bila ia membuat tungku untuk kematian. Sembako saja yang ia terima, itu pun setelah dipaksakan. 
Muna pulang membawa langkahnya pelan, lelah sudah melingkari wajahnya. Sesampainya di rumah, Muna tidak melihat suaminya. Padahal lelaki itu biasanya duduk selonjor kaki di atas meja, mengisap sebatang rokok. Muna memanggil nama suaminya berulang kali, tidak ada jawaban. 
Seorang tetangga yang melihat Muna kebingungan, bilang pada Muna, “Barusan suamimu pergi. Katanya mau ke rumah Masyari.”
Tanpa Muna bertanya, orang itu menjelaskan, “Tadi ada orang kesini menjemput Dul Gappar. Katanya Masyari jatuh di kamar mandi. Dul Gappar langsung pergi bersama orang itu.” 
Masyari adalah nama istri kedua Dul Gappar. Orang itu pergi, barulah kemudian Muna duduk pada kursi kayu, di beranda rumahnya. Angin datang dari timur membelai tubuh Muna sampai ia terlelap cukup lama, terbangun tiba-tiba karena bermimpi Masyari minta dibuatkan tungku. 
Tiga puluh menit lagi matahari akan tenggelam, Dul Gappar belum juga datang. Muna semakin gelisah, teringat dengan mimpinya barusan. Dengan menahan sesak dada, Muna terpaksa berangkat ke rumah Masyari. Belum pernah selama ini Muna bertandang ke rumah Masyari karena sempat bersumpah Muna bahwa tidak akan pernah menginjakkan kaki di rumah Masyari, kecuali istri kedua suaminya itu meninggal dunia. 
Mengenakan rok batik bunga warna merah, tergesa-gesa Muna membawa langkahnya ke rumah Masyari. Orang-orang yang berpapasan dengannya pasti mengira Muna akan membuat tungku untuk kematian seseorang. Gelap mulai mengancam di depan mata, Muna gegas melangkah. 
“Kemana lagi kau akan membuat tungku Mun?”
“Di rumah Masyari.”
“Masyari meninggal?”
“Iya.”

Kedatangan Muna di rumah Masyari membuat orang-orang berpandangan aneh. Pikiran mereka bermacam-macam dan bertanya-tanya sendiri dalam hati. Untuk apa Muna datang ke rumah Masyari? Bukankah ia telah bersumpah tidak akan menginjakkan kaki di rumah istri kedua suaminya?
Muna langsung minta seseorang menemaninya pergi ke belakang rumah Masyari. Diterangi lampu teplok, Muna membuat tungku. Ia bahagia sekali membuatnya, sumringah wajahnya. Tiga tungku yang dibuatnya selesai dengan cepat. 
Mendadak Dul Gappar muncul dari balik pohon pisang, menyeringai giginya. Menodong istrinya dengan pertanyaan, “Untuk apa kau buat tungku-tungku ini?”
“Saya membuatnya tanpa perlu kau minta. Apakah kau masih bilang saya membenci Masyari? Di hari kematian dia saja, saya membuatkan tungku untukknya. Nanti atau besok orang-orang bisa langsung memasak, menanak nasi di tungku ini tanpa perlu memanggil saya lagi. Saya membuatkan tungku ini dengan hati yang ikhlas.”
“Masyari masih hidup.” Dul Gappar berkacak pinggang, matanya menyala seperti  mata seekor kucing dalam gelap.
“Tapi tungku-tungku ini sudah selesai dibuat. Lagi pula bukankah Masyari sedang tidak sadarkan diri. Mungkin sebentar lagi dia akan mati.”
Muna mengucapkannya enteng sekali, tanpa merasa bersalah. Dul Gappar hanya bisa menahan amarah. 
Pulau Garam,  2021

*)Zainul Muttaqin lahir di Batang-Batang, Sumenep, Madura Jawa Timur, pada 18 November 1991. Kini ia tinggal di Pamekasan Madura. Alumnus Pondok Pesantren Annuqayah, Sumenep. Cerpen-cerpennya dimuat di pelbagai media lokal dan nasional. Buku kumpulan cerpennya; Celurit Hujan Panas (Gramedia Pustaka Utama, 2019).  Neraka Pemikat (Jagat Litera, 2021)

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

 

Ikuti tulisan menarik Zainul Muttaqin lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler