x

Iklan

Arifah Mutawaffika

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 November 2021

Rabu, 1 Desember 2021 21:52 WIB

Tempat yang Hilang


Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Sore itu kampung Bubuhan dibuat terkejut oleh peraturan baru para tetua. Larangan membuka lahan di hutan barat dekat hilir sungai. Tanpa aba-aba, protes warga langsung saja terdengar. Ramai-ramai mereka menyeru ketidaksetujuan atas peraturan itu.

Sudah sejak lama, hutan barat dijadikan sebagai tempat bercocok tanam. Selain karena tanahnya yang subur, letaknya juga strategis, berada di antara pemukiman warga dan diapit oleh dua anak sungai yang mengalir dari hulu. Medan yang rata dan sedikit gundukan tanah sebagian sudah ditanami pohon cokelat, pisang, tebu, tanaman sayur, dan nilam. Orang-orang akan bersuka cita menyambut setiap musim di mana pohon-pohon itu mengeluarkan banyak buah, menjualnya ke pasar, dan sisanya untuk mengasapi dapur rumah. Di siang hari pada waktu-waktu tertentu, gerombolan anak-anak kecil akan memenuhi bibir sungai, melepas baju, kemudian dari atas sebuah batang kayu yang menjorok ke sungai, anak-anak itu berebut melompat ke bagian anak sungai yang lebih dalam.

Hari-hari berlalu dengan menyenangkan. Hingga peraturan baru itu diumumkan, semuanya berubah. Protes warga hanya angin lalu. Separuh kehidupan telah direnggut, menyisakan ratapan pada penunjang kelangsungan hidup. Dan tepat hari ini para tetua menyampaikan bahwa lahan akan dibuka untuk pembangunan pabrik. Sebanyak tujuh hektar tanah digunakan. Tentu dengan menebang pohon-pohon yang ada di sana.

"Kau dengar itu, Mai?" Anak-anak juga tak luput merutuki keputusan para tetua. Di bawah sinar hangat matahari, di sebuah dangau yang berada di tengah kebun cokelat, dua orang anak perempuan dan seorang laki-laki terlihat sedang membuat bubu ikan dari bambu. Tangannya lincah menganyam bambu satu-persatu.

"Para tetua memang bodoh." Namanya Mai. Dia paling tidak suka dengan manusia bertangan besi yang kerjanya merusak alam. Menurutnya, semestinya saat ini orang-orang bekerja sama untuk mengatasi pemanasan global yang semakin meningkat akibat perubahan iklim. Bukannya berlomba-lomba menyumbang polusi karbondioksida.

"Kita harus bertindak, Mai." Anak laki-laki yang sedari tadi diam menyimak, kini membuka suara.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Memang pertanian juga merupakan salah satu sektor yang menghasilkan emisi gas rumah kaca. Di sekolahnya Mai dan kedua temannya belajar bahwa tanah berperan sebagai sumber karbon, melepaskan dan menyimpan gas rumah kaca dari atmosfer, dan ketika tanah terganggu, karbon akan dilepaskan sehingga mengakibatkan menipisnya lapisan ozon. Namun, di kampungnya warga melakukan reboisasi. Berpuluh pohon ditanam di pinggiran sungai. Di kampungnya tak ada pendingin ruangan, tak ada pengharum ruangan, semuanya aman dari gas aerosol.

"Kurasa kita perlu menemui tetua." usul Mai. Dia tak gentar jika harus melawan para tetua. Sudah cukup perkotaan menghasilkan karbon yang berlebihan, Mai tak ingin bumi ini rusak.

"Aku setuju. Sebelum penebangan hutan dilakukan, bagaimana pun kita harus menghentikannya." tambah Raff yang diangguki keduanya.

Sebenarnya, masih banyak pertanyaan yang memenuhi kepala Mai. Perihal tetua, ini kali pertama mereka menyetujui pembukaan lahan tanpa perlawanan. Mai yakin yang dihadapi tetua bukanlah orang sembarangan. Sebelumnya, bertahun-tahun lalu banyak orang asing yang datang meminta lahan pada tetua, namun ditolak. Pembangunan demi pembangunan terus direncanakan dengan kampungnya sebagai sasaran lokasi. Dan selama itu pula, para tetua dengan keras menentangnya. Entah apa yang harus Mai lakukan, yang jelas dia ingin melindungi kampungnya dan menyelamatkan bumi.


 

Malam tiba, hasil keputusan mereka mengantarkan ketiganya pada sebuah rumah yang cukup besar dengan banyak ukiran kayu mahogani di dinding. Mereka mengernyit bersamaan kala melihat halaman rumah tetua yang didatanginya dipenuhi oleh tiga mobil sedan hitam yang terparkir rapi.

"Ada apa di rumah tetua?" tanya Tsu spontan.

"Kuyakin ini ada hubungannya dengan rencana pembukaan lahan di hutan barat."

Karena penasaran, Mai, Tsu, dan Raff mengendap-endap masuk ke dalam dan mulai mencari celah dinding untuk mengintip. Samar-samar mereka mendengar sebuah suara asing mendominasi. Mai semakin merapatkan telinganya ke dinding kayu, mencoba menangkap isi pembicaraan orang-orang yang ada di dalam. Namun hasilnya nihil, semilir angin mengaburkan suara mereka.

"Bagaimana ini?" tanya Raff berbisik.

"Diam Raff! Nanti kita ketahuan." sahut Tsu menempelkan telunjuk di bibir.

Di tempatnya Raff bergerak grasak-grusuk, mengundang tatapan geram dari Mai dan Sui.

"Raff!" sentak keduanya dengan suara sepelan mungkin.

"Aku digigit semut!!" Karena sudah tidak tahan dengan kakinya yang gatal, Raff berlari meninggalkan tempat itu. Naasnya dia tidak melihat sebuah guci tanah liat yang berdiri di sana.

BRUK !!

"Siapa itu?!"

Tanpa menunggu perintah, Mai langsung menarik tangan Tsu berlari meninggalkan tempat persembuyian bersamaan dengan seorang pria tua yang keluar dari dalam rumah sambil celingak-celinguk di depan pintu.

"Siapa?" Keluar seorang pria dengan kemeja biru.

"Mungkin hanya tikus lewat. Mari masuk."

Keheningan malam kembali tercipta. Di atas sana purnama menggantung sempurna. Kesiur angin terdengar jelas mengiris daun-daun, menambah kesan malam yang mencekam.

Di lain tempat, Mai melepaskan genggaman tangannya dari Tsu kemudian berusaha mengatur nafasnya yang terengah-engah. Mereka gagal bertemu tetua. Dan yang lebih penting, mereka sama sekali tak memperoleh informasi dari obrolan tadi.

"Ini semua salahmu, Raff!" Nafasnya masih memburu, namun kedua mata Tsu menatap tajam ke arah Raff.

"Aku juga tidak sengaja," bantah Raff pada Tsu yang terlihat kesal setengah mati. Kakinya masih gatal, semut merah itu benar-benar menggigitnya sangat dalam.

"Sudah, sudah. Aku punya ide, bagaimana kalau..."

Dan malam itu, ketiganya kembali tersenyum penuh arti.

 

 

"Mai kau dari mana?" Itu suara ibunya.

"Dari luar, bu. Bertemu Raff dan Tsu."

"Sana masuk tidur, besok kau harus sekolah."

Sebelum meninggalkan tempatnya, Mai menatap sang Ibu lalu berujar, "Bu, Mai mau tanya, Ibu setuju tidak dengan peraturan baru itu?"

"Setuju tidak setuju pembangunan akan tetap berlangsung."

Mai menggeleng, "Tapi bu, kita punya kekuatan. Kita bisa melawan."

Wanita paruh baya itu memperbaiki letak sarung yang dijadikannya sanggul kepala, "Mai, zaman sekarang tak ada kekuasaan paling tinggi melebihi uang."

Telak. Mai terdiam. Detik itu dia menyadari satu hal. Ya, uang.

"Sudah. Kau tak perlu memikirkan hal itu, lebih baik kau tidur."

Mai mengangguk. Dengan langkah gontai dia menghampiri bilik kecilnya. Di otaknya masih berputar-putar mengenai kejadian tadi, dan sepenggal kalimat yang diutarakan ibunya barusan.

"Aku harus berbuat sesuatu." gumamnya membatin.




Sepulang sekolah, di sini lah mereka berada. Di antara pohon-pohon tinggi yang menjulang, rumput-rumput hijau segar, dan kicauan burung-burung pada ranting kering pepohonan. Di depan sana, sebuah feller buncher menyita perhatian mereka.

"Itu apa?" Tsu bersuara meski matanya masih melotot. Mai diikuti Tsu dan Raff berjalan mendekati alat itu, "Ini feller buncher, mesin bermotor yang dapat memotong batang pohon dengan cepat."

"Kau tahu dari mana?" Mai melirik Raff yang sedang mengitari alat raksasa itu.

"Aku pernah baca di buku."

Hening menguasai sejenak. Mereka masih setia memandangi alat raksasa itu.

"Kemajuan teknologi memang menyeramkan." timpal Mai, fokusnya masih pada alat berat di depannya.

"Kita tidak bisa menghindarinya. Teknologi sudah menyatu dalam diri manusia."

Benar. Mai sangat setuju dengan apa yang dikatakan Raff, karena kemajuan teknologi juga yang menyebabkan bumi dalam bahaya. Sayangnya, hanya dua dari sepuluh orang yang peduli. Yang lain hanya fokus pada infrastruktur, ekonomi, persaingan antar negara, permainan harga pasar, dan teknologi. Pabrik dibangun di mana-mana, penebangan liar terus-menerus dilakukan, material sisa pembuangan pabrik ditumpahkan ke sungai menyebabkan ekosistem rusak. Limbah-limbah plastik menyebar di laut, yang pada akhirnya kembali merusak habitat dan ekosistem. Mai berharap manusia segera sadar dan melakukan perubahan.

"Apa yang akan kita lakukan ke buldoser itu?"

"Bukan buldoser, Tsu. Namanya feller buncher." Raff protes lantaran Tsu salah menyebut.

Tsu terkekeh sebentar, sebelum kemudian Mai kembali membuka suara, "Aku juga tak tahu. Semalam kupikir mereka akan menggunakan gergaji mesin lalu kita akan menjebaknya."

"Apa tak ada sesuatu yang dapat kita rusak di dalam? Alat kemudi misalnya."

Penuturan Raff kontan membuat mereka menoleh bersamaan, "Ide yang bagus Raff! Akhirnya nilai merah di rapormu mempunyai harga diri." Raff tak menanggapi, dia hanya melirik Tsu dengan wajah kesal.

Sedang Mai, otaknya tengah berpikir. Ia bersedekap sembari tangan kanannya memegang dagu, "Kita terlalu lemah untuk alat sekuat itu."

"Lebih baik kita memeriksanya langsung. Ayo!"

Dengan sigap Mai, Tsu, dan Raff menaiki alat raksasa itu. Alat kemudinya tak jauh berbeda dengan buldoser bahkan nyaris sama. Mai menekan salah satu tombol yang ada di sana. Kemudian beralih pada tombol yang lain.

"Ini bagaimana? Apa yang bisa kita rusak?" tanya Tsu, tangannya menggerakkan steering gear maju mundur. Di tempatnya Raff menggaruk tengkuk yang tidak gatal. Semua alat yang ada di sini sangat kuat dan keras, mustahil untuk dihancurkan dengan tangan kosong.

"Raff apa kau punya ide?" Mai melirik Raff yang dijawab dengan gelengan kepala oleh anak laki-laki itu.

Mai mencoba memukul tombol-tombol itu. Hasilnya tak ada yang berubah. Mai menghela napas berat. Mencoba memikirkan cara yang lain. Di tengah kediaman mereka, terdengar derap langkah kaki yang berjalan mendekat. Mai menahan napas, tak salah lagi pasti orang-orang yang tadi malam.

"Mai! Apa yang harus kita lakukan sekarang?!" Tsu mulai panik. Dia menggigit ujung kuku, kakinya ikut gemetar.

"Tenang Tsu." Raff bersuara.

"Raff, bagaimana aku bisa tenang situasi begini?" Kepanikan Tsu semakin menjadi saat derap langkah itu semakin keras terdengar.

"Mai, apa kau tak takut pada mereka?"

Mai melirik Raff kemudian menggeleng.

"Raff bisa mengatasinya."

Dan kini mereka berhadapan dengan tiga orang berjas hitam dengan raut terkejut yang tercetak jelas. Salah satu dari mereka maju, "Apa yang kalian lakukan di sini anak-anak? Cepat turun!"

Tsu masih gemetar, kemudian tangannya diseret Mai dan melompat turun. Bisa Mai tebak, tiga pria ini berasal dari kota. Tentu saja, selama ini hanya orang-orang kota yang datang meminta lahan.

"Jadi, anak-anak seperti kalian sedang apa di sini?" kembali pria tadi bertanya.

"Kami hanya bermain. Tadi kami tak sengaja melihat mobil ini. Karena kagum dan penasaran kami menaikinya." Alibi Raff.

"Apa yang akan kalian lakukan dengan pohon-pohon ini?" Pertanyaan menjurus Mai membuat semua orang terkejut. Termasuk Raff dan Tsu.

Tiga pria itu memandang Mai tajam kemudian menyapukan pandangannya pada seluruh pohon yang ada di depan.

"Kami akan menebangnya tentu saja. Lahan ini akan digunakan untuk pembangunan pabrik."

"Saya keberatan!" sentak Mai. Suaranya meninggi.

"Anak kecil tak usah ikut campur. Kalian lebih baik bermain layangan." Pria yang lain turut menimpali. Raff dan Tsu hanya diam, mereka tak berani bersuara.

"Kalian semua orang-orang kota apakah pernah sekolah? Saya pikir karena tinggal di kota kalian bergelimang ilmu pengetahuan, ternyata tidak." sinis Mai. Tiga pria itu menggeram, terlihat mulai tersulut emosi.

"Apa maksudmu anak kecil?!"

"Saya tidak tahu sudah berapa banyak pohon yang anda tebang. Apa anda tidak mengetahui dampak yang disebabkan oleh perbuatan Anda?! Anda tinggal di bumi namun sama sekali tidak peduli dengan kondisi bumi yang semakin buruk. Saya rasa anda tahu pohon adalah penghasil oksigen terbesar, pohon menyerap karbondioksida di udara. Tanpa pohon kondisi bumi akan semakin panas. Sebelum bertindak, anda tahu itu kan?"

"Kami tahu. Kami lebih tahu dari kalian. Anak-anak seperti kalian masih terlalu kecil untuk mengerti dunia orang dewasa. Kami orang-orang bisnis, apa pun yang kami inginkan pasti terlaksana. Jadi, berhenti menghalangi kami!"

Raff yang melihat kemarahan pada pria itu lantas menarik lengan Mai, hendak menjauh. Namun segera ditepis oleh Mai.

"Saya tidak akan membiarkan kalian merusak tempat kami. Kami menjaganya bertahun-tahun dan dengan seenak jidat kalian ingin merampas dan merusaknya? Saya tidak akan tinggal diam."

"Silakan. Jika kalian bisa. Zaman sekarang uang bisa membeli segalanya." Setelah berujar demikian, kedua pria yang lain langsung naik ke feller buncher, kemudian mulai menjalankannya.

Mai tak berkutik. Kalimat itu, kalimat yang persis dikatakan ibunya semalam. Dan hari ini, Mai benar-benar mengerti maksud sebenarnya. Apa yang harus dia lakukan, dirinya tak berdaya. Pria yang ada di depannya hanya diam. Seulas senyum tipis terukir di wajahnya kala melihat alat berat itu mulai menyentuh sebuah pohon dan dengan cepat langsung memotongnya.

 

 

Mai, Raff, dan Tsu bergeming. Mata Mai berkaca-kaca. Lagi-lagi dia gagal.

Ikuti tulisan menarik Arifah Mutawaffika lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB

Terkini

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB