x

Iklan

Jagaddhita Pradana

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 11 November 2021

Kamis, 2 Desember 2021 15:44 WIB

Di Dunia yang Tidak diketahui

Cerpen fiksi

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Bara. Panggil saja aku Bara. Kamu boleh mengartikannya bara api karena semangatku, atau kamu juga boleh mengartikannya sebagai pengembara. Meskipun tidak pernah menggembara dalam arti sebenarnya tapi percayalah jiwaku ini jiwa pengembara. Sudahlah. Itu bukan pokok masalahnya kenapa aku bercerita.

Kisah yang sangat membingungkanku, ini yang menjadi pokok permasalahannya yang ingin aku ceritakan padamu.

***

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Mula-mula seperti biasanya. Setiap malam aku selalu mengecek tugas-tugas kuliahku, mengerjakan jika ada yang belum selesai. Ah, baiklah biar pembaca bisa mengimajinasikan linkungan sekitarku. Aku ceritakan saja tanpa beranonim tempat, aku kuliah di Malang, rumahku juga di Malang, Kecamatan Blimbing tepatnya. Lalu terlepas dari semua rutinitas yang cukup menjemuhkan, aku selalu mencari pelarian. Membaca novel atau cerpen, kadang menulis dengan menciptakan dunia sendiri dalam tulisanku ini. Dan sebelum benar-benar tertidur lelap aku mendengarkan musik, dengan tempo santai sebagai pengantar tidur.

Malam itu, alunan musik Taylor Swift yang mengantarkanku tidur.

Cursing my name, wishing I stayed
Look at how my tears ricochet  

***

Baru saja terlelap. Aku sudah terlempar ke dalam dunia alunan musik itu. Tentunya dengan apa yang aku lihat dikeseharian dengan imajinasiku sendiri. Aku menatap jendela kamar, menatap keluar dimana kebun bapak masih sangat luas. Turun hujan begitu lebatnya pada saat musik itu tetap bermain, entah dimana tapi aku masih bisa mendengarnya. Pohon belimbing, jambu merah, mangga, durian, jeruk, dan beberapa yang lain lagi. Jumlahnya yang masing-masing satu, mereka bergoyang seperti menikmati alunan musik ini.

Seandainya aku buka jendela kamarku, tentu aku akan mengerti bahwa pohon-pohon tersebut tidak bergoyang karena alunan musik ini. Dengan suara hujan deras, angin, dan petir yang cukup mengerikan. Mungkin pohon-pohon itu bergedek kedinginan atau bahkan seandainya pohon bisa bersuara, ia sedang berteriak meminta tolong dengan suara yang memekikkan karena ketakutan.

Ah, baiknya aku tetap tutup jendela. Memandang dunia luar dari dalam jendela ini. Tetap menganggap bahwa para pohon-pohon itu bergoyang karena alunan musik ini. Alunan musik itu masih tetap saja ada. Letaknya seperti ada pada kepala, tepat pada dalam otak, selalu tergiang-ngiang. Kemanapun aku pergi. Bahkan, saat aku keluar kamar untuk membuat secangkir kopi. Musik itu tetap terasa dekat. Rasanya ada tepat di atas ubun-ubun kepalaku.

“Kemana perginya semua orang? Bapak, Ibu dan Adikku?” gumamku, saat aku kembali duduk di kamar tiga-kali-tiga meter ini menikmati hujan dari balik jendela. Pohon yang bergoyang tertiup angin kencang seperti menari-nari karena alunan musik ini. Tapi tariannya tidak karuan, kadang makin kencang saat musiknya pelan.

Muluk-muluk untuk aku ceritakan kalau saja aku mencari kemana semua anggota keluargaku. Karena sekarang tahun berapa, bulan berapa, hari apa, dan sedang jam berapa aku tidak tahu. Yang jelas awan tetap kelabu dengan pohon yang tetap bergerak-gerak itu. Yang dapat aku pahami hanyalah usia pohon itu. Bapak menanamnya sekitar sepuluh tahun yang lalu. Saat aku masih duduk di sekolah dasar, aku ikut menanam pohon mangga yang dulunya cukup munggil. Hanya setinggi badanku waktu itu, tapi sekarang? Sekarang tingginya melebihi tinggi badanku. Bagaimana bisa? Padahal kita tumbuh bersama, kenapa aku tidak setinggi pohon mangga itu sekarang?.

Memang lamunanku jika tetap dibiarkan seperti ini akan melantur kemana saja. Apalagi sayup-sayup suara musik ini sudah tidak terdengar. Ini akan sangat meliarkan lamunanku. Untuk itu, untuk menjaga lamunan ini agar tidak buas. Aku ajak pembaca cerita ini sekalian untuk membaca juga bersamaku.

Aku ambil buku bersampul warna ungu dengan gambar candi yang seperti tersengat Matahari. Candinya mengeluarkan asap, dibalik gunung Matahari mulai menunjukkan keberadaannya. Dan tetap, seperti pohon mangga yang aku tanam bersama Bapak, ada di bagian kanan sampul depannya. Majapahit: Surya Wilwatikta karya Langit Kresna Hariadi. Buku ini bercerita tentang pasca keruntuhan kerajaan sebelumnya yaitu Singasari.

Dan lagi-lagi. Aku terlempar pada dunia yang ada dalam imajinasiku mengenai buku ini.

***

Runtuhnya Singasari menyebabkan penjarahan besar-besaran dari pasukan Kediri. Banyak rakyat Singasari yang berlarian tidak karuan, seperti pohon-pohon yang aku lihat pada dunia imajinasi sebelumnya. Pohon-pohon dibalik jendela kamar yang memekikkan jerintan meminta tolong. Tapi sekarang teriakan meminta tolong itu terdengar nyata, keras dan mengerikan.

“Tolong!!!” suara laki-laki warga Singasari dengan sangat keras dan lantang. Melihat seluruh anggota keluarganya dibunuh di depannya begitu saja tanpa berani melawan.

“Tolong aku, suamiku.” Suara putus asa dari istri laki-laki itu. Bahkan tak sanggup untuk berteriak dengan jelas, diselingi isak tangis. “Ayah…” anaknya tak mengerti situasi apa ini, tapi ia merasakan kengerian yang terjadi.

“Cepat lari! Bawa saja kudaku, yang penting kita menyelamatkan diri dulu. Kerajaan ini hancur. Cepat!”. Pembawa kuda itu meneriakan ke arahku, yang tentu aku tidak mengerti kenapa bisa seperti itu. Aku tidak mengenalinya sama sekali. Bagaimana dia bisa me-…

“Bodoh. Cepatlah! pasukan Kediri tidak pandang bulu. Meskipun baju kisanak itu, baju yang tidak pernah aku temui di kerajaan manapun. Tapi cepatlah!”

“Haaa?!”

Seorang dengan pedang dan baju pasukan kerajaan belari ke arahku. Sebelum, sempat meraih badanku yang masih kaku dan kebingungan ini. Pembawa kuda itu menyeretku, membawaku naik dalam Kuda putih dan gempal ini bersamanya.

Kisanak bodoh sekali.” Ketusnya, kuda ini tetap berlari ke arah hutan belantara yang tidak aku mengerti. Sekelebat aku mengerti sedang berada dimana ini, sekelebat lagi aku sudah lupa. Tapi sebelum lupa itu menguasai semuanya, sempat aku tanyakan padanya kalau kita sedang berkuda dengan cepat menuju Gunung Kawi,

Perjalanan menuju Gunung Kawi sangat diam. Kengerian di Singasari perlahan mulai memudar. Di jalan besar yang sangat sepi dan sekelilingnya hanya pepohonan ini aku merasa lebih damai. Bahkan kengerian yang baru saja terjadi sudah terdamaikan. Apalagi dunia menjemuhkan penuh dengan bangunan-bangun, dunia dimana sebelum aku masuk ke dalam imajinasi ini. Dunia kerajaan dengan keasriannya ini mengagumkan.

Kami sampai di lereng kaki Gunung Kawi yang masih sepi. Langit sudah tampak senja dengan kemerah-merahan menuju gelap. Kuda-kuda lain milik orang itu tetap membuntuti kami, bahkan orang itu mengelus satu persatu kudanya yang jumlahnya ada sekitar delapan kuda itu.

“Bagaimana bisa kisanak tetap berdiam diri ketika kerusuhan Singasari tadi terjadi? Kisanak berasal dari mana?”. Melihat apa yang dilakukannya dengan sebatas pengetahuanku dapat ditafsirkan dia bukan orang biasa. Setidaknya untuk memiliki kuda sebanyak ini, pastilah dia anggota kerajaan. Tapi kerajaan mana dengan ciri khas seperti dia, aku tidak tahu.

“Saya Bara, Tuan. Tuan pasti tidak akan percaya jika saya ceritakan saya berasal darimana. Tapi, jika Tuan mau percaya, saya berasal dari tahun 2021 (seingat saya), dari Blimbing, kota di Malang yang baru saja kita lewati.”

Dia tidak menjawabku. Tetap dengan asik mengelus kuda-kudanya. Pemandangan yang sangat sulit aku dapatkan di duniaku. Lebih-lebih mereka yang hidup di duniaku akan mengelus mobil, sepeda motor, atau bahkan pesawatnya sendiri. Benda mati yang disayang layaknya benda hidup. Sedangkan hewan-hewan yang benar-benar hidup satu persatu mulai punah.

“Jangan panggil saya ‘Tuan’, sama sepertimu kisanak, saya orang biasa. Bahkan saya tidak ada di dunia cerita yang kisanak baca itu. Beliau, Bapak Langit Kresna Hariadi tidak menceritakanku.”

“Bagaimana tuan, em…, maaf?”

“Saya tidak punya nama, sudah saya katakan kepada kisanak, saya tidak ada pada dunia cerita yang kisanak baca.”

“Baiklah, bagaimana, tu... anda bisa tahu dan percaya saya terlempar dari dunia cerita yang saya baca?”

“Sudah banyak yang seperti itu. Saya bahkan banyak menemui mereka di dunia kerajaan yang damai. Hanya beberapa kali bahkan jarang saya menemui pada saat yang genting seperti ini. Mungkin mereka terlalu ngeri untuk membayangkannya. Jadi tidak sampai terlempar di dunia yang seperti sekarang ini. Kalaupun ada, biasanya mereka akan mati begitu saja. Untungnya kisanak, Bara, bisa selamat.”

“Itu berkat anda, Tu-… “

“Memangnya ada apa dengan dunia kisanak Bara? Sebagian orang yang hendak saya selamatkan di situasi yang sama gentingnya. Kadang melongo begitu saja”

Aku menceritakannya. Menceritakan kengerian yang sampai bingung harus melakukan apa disaat genting seperti itu. Karena hari yang sudah gelap dan tidak ada salahnya kami menyalakan perapian. Kami membakar singkong yang baru saja dicabut dengan sembarang oleh orang tanpa nama itu.

“Biasanya orang yang terlempar akan melongo begitu saja melihar pemandangan yang ada. Belum sampai pada Gunung ini mereka sudah hilang. Mungkin dipanggil ibunya, sudah terlalu ngantuk, atau perpustakaan akan tutup. Saya tidak tahu apa yang terjadi dengan dunia kisanak, tapi mereka sudah hilang. Barangkali kisanak Bara mau menjelaskan kepada saya, kenapa mereka melongo dan melamun? Dan seperti apa Blimbing, Malang atau sekarang di dunia yang sedang kita alami ini sebutannya Mameling?” kata orang tanpa nama itu.

“Di dunia saya. Tidak banyak pohon-pohon rindang seperti yang kita lewati tadi. Semua sudah tidak ada, atau bahkan kalaupun ada sudah cukup sedikit. Tidak seperti yang baru saja itu. Mereka yang ingin berwisata akan mengunjungi tempat yang seperti itu tadi untuk berfoto kemudian menarunya di instagram. Foto di antara pepohonan yang lebat. Maaf untuk istilah yang mungkin anda belum mengetahuinya. Yang jelas hutan yang rindang seperti ini pun sudah tidak ada kalau tidal benar-benar berapa di pegunungan. Saya merasa sangat senang bisa terlempar—untuk waktu yang saya tidak tahu sampai kapan—di dunia anda ini. Rasanya seperti healing, pemuda TikTok di dunia saya sedang gencar dengan istilah healing tersebut.

Healing mereka itu biasanya ya ke tempat yang sangat alam begini. Makanya mereka melongo ketika melewati tempat yang seperti ini. Atau mungkin otak mereka sudah mengarah ke hal lain dimana mencari tempat yang pas untuk foto.”

“Kenapa harus mengabadikan tempat yang sangat alam? Kisanak?” Dari pancaran matanya yang memakan singkong bakar, dia sangat ingin tahu dan menyimak ceritaku dengan seksama seperti pembaca sekalian ini.

“Tidak ada lagi tempat yang sangat asri seperti ini. Sudah saya ceritakan sebelumnya, semua ini akan berganti menjadi bangunan-bangunan. Rumah, gedung, hotel atau bangunan megah lainnya. Alamnya akan rusak. Bahkan saat hujan deras terjadi akan banjir besar. Tidak ada jalanan tanah yang meresap air, pembangunan sudah sangat maju. Di dunia kami ada jalanan beraspal. Kendaraannya pun bukan hewan yang bisa dimanfaatkan tenaganya seperti ini, yang ada sepeda motor dan mobil sebagai sumber polusi.

Pohon saja sudah sangat jarang tumbuh. Tapi tanpa kesadaran dunia kami, mobil dan sumber polusi lainnya seperti pabrik semakin banyak. Untuk semata-mata untuk memenuhi kebutan manusia yang semakin banyak juga jumlahnya. Di kaki gunung seperti ini sudah banyak bangunan berdiri. Bahkan saya pernah bermain ke kaki Gunung Kawi seperti ini, ke rumah teman saya, tentu di dunia saya. Lereng ini sudah berbentuk perumahan. Bahkan kalau sembarangan mengambil singkong seperti ini tanpa tahu siapa pemiliknya kita bisa dituntut, kalau kasusnya sampai mbulet kita bisa dipenjara gara-gara singkong ini”

“Mengerikan.” Sekarang orang—tanpa nama—itu yang berganti melongo mendengar ceritaku. Diam sebentar, lalu ia mulai mengambil lagi singkong bakar yang tersisa di perapian

“Lebih mengerikan kericuhan Singasari”

“Mengerikan kehidupan kisanak, bagaimana bisa hidup tanpa pepohonan seperti ini? Pasti akan sangat panas sekali, untunglah kisanak Bara tetap bisa bernapas. Pembangunan yang besar selain memajukan juga mengerikan. Lebih lagi makan singkong seperti ini saja mengapa bisa sampai di penjara? Benar-benar ngeri dunia kisanak Bara ini”

***

Mengerikan?

Benar kata orang—tanpa nama—itu. Dunia ini sangat mengerikan jika dibandingkan dengan dunia Kerajaan Singasari yang sangat asri. Dunia ini sudah kekurangan udara bersih karena pohon-pohon yang ditebangi. Sawah-sawah yang sudah habis menjadi wilayah perumahan. Jangankan udara bersih. Beras untuk makan sehari-hari pun sudah sangat mahal karena sawahnya yang semakin lama, semakin sedikit. Ngeri.

Baiklah pembaca yang baik hatinya. Bagaimana kalau kita membaca buku yang lain saja?. Buku ini ditulis pada tahun 2780. Maukah?

Ah tidak, tidak. Jangan. Di dunia yang sekarang saja Pohon dan sawah sudah semakin sedikit. Bagaimana pada tahun 2780 itu nanti? Aku tidak ingin terbawa atau terlempar ke dunia itu. Pasti lebih mengerikan lagi. Bagiamana manusia pada zaman itu nanti mendapatkan oksigen untuk bernapas? Mengerikan sekali kalau manusia harus berevolusi lagi menjadi makhluk yang sangat sulit kita bayangkan. Tanpa oksigen, tanpa beras atau nasi. Lebih-lebih akan jadi apa kebun bapak yang luas ini ditahun 2780 itu nanti.

Lalu, benarkah masih ada tahun 2780 itu? Kita semua tidak tahu. Yang jelas jika semakin rusak alamnya, kemungkinan tahun itu tidak ada lagi. Apalagi manusia yang serakah ini kabarnya sudah mencoba untuk tinggal di planet lain? Mars. Bukan begitu?. Akan berbuat merusak yang seperti apa lagi manusia ini di planet lain?.

Aku mau mencari Bapak, Ibu dan Adikku dulu.

***

And I can go anywhere I want
Anywhere I want, just not home

Saat suara Taylor Swift dalam lagu itu sayup-sayup terdengar lagi di dalam otakku, tepat di atas ubun-ubun kepalaku. Aku mulai tertidur dengan pulas

Ikuti tulisan menarik Jagaddhita Pradana lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB

Terkini

Sengketa?

Oleh: sucahyo adi swasono

6 jam lalu

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB